Sunday, March 9, 2025
HomeBeritaKisah dokter Palestina: Rumahnya dibom dan kubur bayinya sendiri

Kisah dokter Palestina: Rumahnya dibom dan kubur bayinya sendiri

Hancurnya sistem kesehatan di Jalur Gaza telah menyebabkan banyak ibu hamil kehilangan bayi mereka akibat kekurangan pasokan medis dan serangan terhadap rumah sakit.

Hal ini juga dialami oleh Taghrid Al-Aymawi, seorang dokter spesialis kandungan.

Dalam seri “Mereka Bukan Sekadar Angka” yang diproduksi oleh Pusat Kebebasan Publik dan Hak Asasi Manusia Al Jazeera, Taghrid menceritakan penderitaannya setelah bayinya gugur. Saat perang Israel di Gaza dimulai, ia sedang hamil delapan bulan.

Bagi Taghrid, kehamilan ini adalah kesempatan untuk merasakan secara langsung penderitaan para ibu yang sering mengeluh tentang sulitnya melahirkan di tengah situasi perang.

Penderitaan Taghrid (37 tahun) dimulai pada 27 Oktober 2023, ketika ia melahirkan melalui operasi caesar.

Bayinya harus segera dihubungkan ke alat bantu pernapasan karena paru-parunya belum matang. Sementara itu obat yang diperlukan tidak tersedia akibat situasi darurat di Gaza.

Keadaan semakin memburuk setelah rumahnya dibombardir. Ia pergi ke Rumah Sakit Indonesia dan menemukan suaminya sedang memeluk kedua putrinya.

Saat itu, ia merasa bahwa Allah telah meninggalkan kedua putrinya bersamanya untuk memberinya kekuatan.

Taghrid seharusnya bisa membawa pulang bayinya dalam 72 jam. Tetapi, ia merasa hatinya berkata lain—ia akan melihat anaknya dalam kafan.

Saat kembali ke rumah sakit untuk melihat bayinya, ia mendapati bahwa alat bantu pernapasannya telah dicabut.

Ia membuka ruang perawatan bayi, memeluk anaknya, dan merasakan tubuh mungil itu sudah dingin.

Namun, ia tidak menangis saat itu—hanya satu tetes air mata yang jatuh. Ia meminta pihak rumah sakit untuk membungkus jenazah bayinya.

Taghrid kemudian membawa bayinya ke kamp pengungsian, tempat ia dan beberapa orang lainnya menggali kuburan kecil.

Dengan berat hati, ia meletakkan anaknya di dalam liang lahat. Ia mengaku tidak sanggup melihat saat tanah mulai ditimbun di atas makam anaknya.

“Setiap kali melihat anak kecil berlari, aku membayangkan itu anakku… Seperti apa rupanya? Apakah ia akan berambut pirang seperti kakaknya atau berkulit gelap seperti adiknya?” katanya penuh kesedihan.

Taghrid menegaskan bahwa sistem kesehatan di Gaza telah hancur total. Israel dengan sengaja menargetkan dan membunuh tenaga medis. Hal itu menyebabkan kelangkaan fasilitas dan obat-obatan yang parah.

Meskipun bekerja dengan keterbatasan yang ekstrem, ia tetap membantu para ibu melahirkan di tengah kekurangan sumber daya dan serangan terhadap rumah sakit.

“Aku bukan sekadar angka dan tidak akan pernah menjadi angka. Aku seorang perempuan yang telah bekerja keras sepanjang hidupku… Aku telah menderita, kehilangan bayiku, rumahku, harapanku, dan impianku. Namun, aku masih bertahan. Aku masih ada,” tutupnya di akhir kisah.

Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 1.000 tenaga medis telah gugur sejak perang Israel terhadap Gaza dimulai.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular