Friday, April 25, 2025
HomeBeritaKisah-kisah harapan dari Gaza: Bertahan di tengah reruntuhan

Kisah-kisah harapan dari Gaza: Bertahan di tengah reruntuhan

Di tengah agresi militer yang belum mereda dan blokade yang telah melumpuhkan kehidupan, warga Gaza tak menyerah.

Dalam situasi serba terbatas, mereka menghadirkan secercah harapan, menciptakan peluang hidup dari puing-puing kehancuran.

Laporan ini menyoroti tiga kisah inspiratif: seorang pembuat yoghurt rumahan yang bertahan di tengah kehancuran industri ternak, seorang pemilik pabrik yang menghidupkan kembali produksi abaya (jubah wanita), serta petani yang menanam sayuran di tanah yang terpapar gempuran udara dan kekeringan.

Produksi rumahan di tengah ketiadaan

Dengan mobil tuanya, Amin Ali menyusuri jalanan Gaza, mendistribusikan yoghurt dan produk susu fermentasi hasil produksi sendiri.

Ia memulai usahanya setelah peternakan sapi dan kambing dihancurkan serangan udara Israel.

“Awalnya hanya untuk konsumsi keluarga, tapi setelah kehilangan mata pencaharian, saya mulai memproduksi untuk dijual,” kata Ali.

Ali mengandalkan susu bubuk, satu-satunya bahan yang tersedia, meski harganya melonjak dari 17 menjadi 52 shekel per bungkus (sekitar Rp 208.000).

Harga jual yoghurt pun harus dinaikkan menjadi 20 shekel per liter, namun itu pun nyaris tak menutupi biaya produksi yang membengkak.

Kelangkaan listrik memaksanya mengikuti jadwal produksi ketat setiap pagi untuk segera dijual, guna menghindari kerusakan produk.

Sementara biaya distribusi melonjak karena harga solar mencapai 70 shekel per liter. Dalam sehari, ongkos pengantaran bisa mencapai 800 shekel.

Meski rumahnya di Jabalia berada di zona evakuasi, Ali tetap melanjutkan usaha kecilnya dengan sistem produksi darurat — sebuah perlawanan sunyi di tengah bayang-bayang invasi.

Menjahit harapan

Sementara itu, “Abu Ahmad”, pemilik pabrik abaya di Gaza, berjuang menjaga produksi meski sebagian besar peralatannya hancur.

Ia memperbaiki mesin dengan alat seadanya dan terus memproduksi jubah perempuan, meski bahan baku sangat langka karena larangan masuknya kain ke Gaza sejak lebih dari setahun lalu.

“Kami membayar jauh lebih mahal untuk kain yang tersisa di pasar lokal,” ujar Abu Ahmad.

Ia juga mengandalkan generator berbahan bakar solar untuk menjalankan pabrik, dengan biaya operasional mencapai 1.500 shekel per minggu.

Harga produk melonjak. Jika sebelumnya satu abaya dijual seharga 80 shekel, kini harus dijual sekitar 200 shekel karena lonjakan biaya bahan baku dan operasional. Namun, di tengah kelangkaan barang impor, produk lokal tetap dibutuhkan.

Abu Ahmad mengaku tetap menjalankan usahanya demi menopang ekonomi keluarga dan beberapa pekerjanya.

“Produksi jauh lebih lambat dari biasanya, tapi kami harus tetap berjalan,” katanya.

Bertani di lahan terlarang

Di Abasan al-Kabira, timur Khan Younis, Maher Tabash mencoba mempertahankan lahan pertaniannya.

Ia menanam kacang panjang, labu, paprika, dan terong di kawasan yang dekat dengan garis konflik.

Namun tantangan yang dihadapi sangat besar: benih langka dan mahal, pupuk kimia tidak tersedia, serta air irigasi datang hanya setiap empat hari sekali.

“Kami kehilangan segalanya dalam hitungan hari saat perang dimulai. Tentara Israel menggusur lahan tomat saya seluas 6.000 meter persegi. Kini kami bekerja di bawah ancaman pengusiran setiap saat,” ujar Tabash.

Juru bicara Kementerian Pertanian Gaza, Muhammad Abu Auda, menyatakan bahwa para petani berhasil menanami sebagian kecil lahan sebagai upaya menghindari bencana kelaparan.

“Petani Gaza berhasil menggunakan benih lokal dan pupuk organik untuk menyambung hidup,” ujarnya.

Namun, tantangan tetap besar. Sekitar 80 persen dari 185.000 dunam lahan pertanian rusak, 95 persen peternakan hancur, dan 97 persen sektor perikanan lumpuh akibat serangan.

Bahkan, wilayah pertanian strategis di sepanjang koridor Morag kini berada di bawah kendali militer Israel, memutus akses petani ke lahan mereka.

Data dari Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat bahwa agresi selama satu setengah tahun terakhir telah menghancurkan 88 persen infrastruktur, rumah, dan sektor ekonomi dengan total kerugian awal mencapai 42 miliar dollar AS.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular