Wednesday, April 30, 2025
HomeBeritaKisah para dokter muda Gaza: Di tengah serangan, mereka menjadi harapan

Kisah para dokter muda Gaza: Di tengah serangan, mereka menjadi harapan

Ketika rumah sakit utama di Kota Gaza hancur akibat serangan Israel, para mahasiswa kedokteran dan dokter muda bangkit sebagai garda terdepan.

Mereka mengisi kekosongan tenaga medis yang nyaris lumpuh dan memainkan peran krusial dalam menyelamatkan nyawa ribuan korban luka.

Dokter Mu’taz Hararah, Kepala Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Al-Shifa, mengungkapkan bahwa setelah pasukan Israel menghancurkan rumah sakit tersebut pada November 2023.

Ia harus membuat keputusan cepat: membuka unit gawat darurat darurat di Rumah Sakit Al-Ma’madani.

Namun, kendala besar muncul — jaringan komunikasi lumpuh dan banyak dokter spesialis telah mengungsi ke selatan Gaza atau meninggalkan wilayah.

“Dari 60 dokter gawat darurat sebelum perang, hanya sepertiganya yang masih tersisa, itupun mereka dalam kondisi pengungsian bersama keluarga,” tutur Hararah kepada Al Jazeera Net.

Ia kemudian merekrut dokter muda, mahasiswa kedokteran, serta peserta program magang, dan melatih mereka langsung di lapangan.

Dominasi tenaga muda

Sekitar 70 persen tenaga medis yang kini aktif di unit gawat darurat Rumah Sakit Al-Shifa dan Al-Ma’madani berasal dari kalangan mahasiswa dan dokter baru lulus.

Dengan pengalaman minim, mereka diberi pelatihan cepat menangani kasus-kasus kritis — mulai dari pemasangan selang dada untuk mengeluarkan darah hingga pertolongan pertama pada luka tembak.

“Tim malam kami terdiri dari satu dokter berpengalaman, satu relawan, dan tiga mahasiswa. Kami bekerja tanpa henti,” ungkap Hararah.

Meski terbatas pengalaman, para tenaga muda ini dinilai cepat belajar dan kini menjadi pilar penting dalam pelayanan medis di tengah krisis.

Keteguhan dalam kekacauan

Luqay Qanu’, lulusan baru yang memulai magang tiga bulan sebelum perang, memilih tetap berada di Rumah Sakit Al-Shifa.

Ia mengaku kerap menghadapi situasi yang di luar kapasitasnya. Namun, ia merasa bangga berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan yang mengalami luka berat di kepala.

“Ada pula anak yang tak sempat diselamatkan karena tak tersedianya alat bantu napas. Saya tak bisa melupakannya hingga kini,” ucapnya.

Dalam kondisi serba darurat, Qanu’ bahkan harus menjalani peran di luar keahliannya, termasuk mengoperasikan alat rontgen dan menangani patah tulang.

Belajar di tengah ledakan

Hanine al-Dayya, dokter muda yang lulus pada 2022, menceritakan bagaimana ia berpindah-pindah antara dua rumah sakit besar di Gaza, membantu merawat korban yang datang bertubi-tubi.

“Kami sering menerima puluhan korban luka secara bersamaan, bekerja di ruang sempit, dan bahkan harus merawat pasien di lantai karena tidak ada ranjang tersisa,” katanya.

Ia menambahkan bahwa para dokter senior berupaya memberi pelatihan rutin tiga kali sepekan.

“Awalnya kami diawasi terus-menerus, tapi saat korban membludak, kami dilepas untuk menangani sendiri,” katanya.

Salah satu pasien yang ia selamatkan adalah pemuda yang tak sadarkan diri akibat pecahan bom di dekat jantung.

“Dua hari kemudian, ia kembali dengan senyuman dan ucapan terima kasih,” kenangnya.

Namun, tidak semua kasus bisa ditolong. Al-Dayya menyebut seorang pria yang selamat sendirian dari pembantaian keluarganya — 111 orang tewas — akhirnya juga meninggal karena kondisi medisnya yang buruk dan minimnya peralatan.

Tekanan emosional dan fisik

Mohammed al-Jadbah, dokter magang yang belum mengantongi izin praktik ketika perang pecah, langsung terjun ke Rumah Sakit Al-Shifa.

“Kami belum siap menghadapi korban sebanyak itu. Kami kelelahan dan khawatir akan keluarga kami sendiri,” katanya.

Jadbah harus tinggal di rumah sakit selama sebulan penuh tanpa pulang. Di tengah kelaparan ekstrem di Gaza Utara, ia pernah menyaksikan satu keluarga yang keracunan setelah memakan tanaman liar karena kelaparan.

Dengan pengetahuan terbatas, ia berhasil menurunkan kadar racun dan menyelamatkan mereka.

Mahasiswa tahun ketiga jadi dokter tulang

Mahmoud al-Ghazi, mahasiswa tahun keempat kedokteran, mulai menjadi relawan sejak Januari 2024 saat masih duduk di tahun ketiga.

Ia ditempatkan di unit ortopedi dan menangani rata-rata 120 kasus patah tulang per hari.

“Awalnya saya nyaris tak tahu apa-apa soal praktik klinis, tapi sekarang saya bisa memasang gips dan menangani kasus sendiri. Tekanan perang membuat kami belajar cepat,” katanya.

Di tengah kehancuran dan penderitaan, para mahasiswa dan dokter baru di Gaza tampil sebagai “prajurit tak dikenal” yang menjadi sandaran masyarakat.

Dengan semangat pengabdian dan ketangguhan luar biasa, mereka mengisi kekosongan sistem medis dan menjaga nyawa tetap bernyawa.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular