Di Kota Dura, wilayah selatan Hebron di Tepi Barat, keluarga tahanan Palestina, Azmi Abu Helail, akhirnya harus mengosongkan rumah mereka demi menyelamatkan anak-anak.
Keputusan berat itu diambil setelah otoritas militer Israel mengeluarkan perintah resmi untuk merobohkan bangunan tersebut.
Menurut laporan yang disusun koresponden Al Jazeera, Montaser Nassar, Azmi Abu Helail dituduh terlibat dalam aksi penembakan di pos pemeriksaan terowongan di barat laut Betlehem sekitar setahun lalu.
Sejak saat itu, keluarganya hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran, menunggu kapan saja perintah pembongkaran itu bisa dilaksanakan.
Koresponden Al Jazeera mendampingi keluarga Abu Helail saat mereka mengemasi barang-barang yang masih bisa dibawa.
Mereka meninggalkan rumah yang menyimpan kenangan puluhan tahun, melangkah pergi di bawah hujan yang tak henti turun.
Anak-anak bermain untuk terakhir kalinya di halaman rumah yang akan mereka tinggalkan untuk selamanya.
Bagi ayah Azmi Abu Helail, kepergian itu bukan sekadar perpindahan tempat tinggal. Ia mengatakan telah menghuni rumah tersebut selama lima dekade—tempat berbaurnya suka cita, duka, serta perjumpaan keluarga dan kerabat.
Di kawasan Masafer Yatta, Tepi Barat bagian selatan, kisah serupa juga terjadi. Para pemukim Israel merobohkan rumah seorang sesepuh Palestina dan mengambil alih tanahnya untuk memperluas sebuah permukiman ilegal.
Lelaki tua itu kini tinggal di luar pagar tanahnya sendiri, sementara pemerintah Israel tidak mengambil tindakan apa pun untuk melindunginya atau mengembalikan haknya.
Otoritas pendudukan Israel memang telah memperluas praktik pembongkaran rumah di Tepi Barat dengan berbagai dalih, termasuk alasan “membangun tanpa izin”.
Sejak awal tahun, tercatat 1.280 bangunan dihancurkan atau disita, termasuk 120 bangunan di wilayah Masafer Yatta.
Menurut data Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), sepanjang 2025 lebih dari 1.400 warga Palestina menjadi pengungsi akibat kebijakan tersebut.
Angka yang meningkat 46 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kebijakan pembongkaran itu terus berubah sesuai dalih yang digunakan: mulai dari yang bersifat administratif, perluasan permukiman, hingga hukuman kolektif terhadap keluarga tahanan Palestina.
Banyak di antara rumah yang dibongkar berada di Area C, wilayah yang mencakup 60 persen Tepi Barat dan secara administratif berada di bawah kewenangan Israel berdasarkan Kesepakatan Oslo.
Apa pun alasannya—administratif, ekspansif, atau bahkan represif—rumah-rumah Palestina tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.
Di atas puing-puing itulah warga Palestina berulang kali berusaha membangun kembali masa depan mereka, melawan upaya penguasaan tanah dan mempertahankan keberadaan mereka di tanah yang terus dipersempit.


