Wednesday, May 28, 2025
HomeBeritaKoalisi dari 32 negara rencanakan long march menuju Gaza

Koalisi dari 32 negara rencanakan long march menuju Gaza

Dalam langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, aliansi yang terdiri dari serikat-serikat pekerja, gerakan solidaritas, dan lembaga hak asasi manusia internasional dari lebih dari 32 negara mengumumkan inisiatif “Long March ke Gaza”.

Gerakan ini bertujuan memasuki Jalur Gaza dengan berjalan kaki sebagai respons atas krisis kemanusiaan akut yang melanda wilayah itu akibat blokade Israel selama hampir 20 bulan.

Ketua Koalisi Internasional Melawan Pendudukan Israel, Seif Abu Khashk, menyatakan bahwa inisiatif ini secara langsung bertujuan menghentikan genosida terhadap rakyat Palestina.

Mereka juga mendesak pengiriman bantuan kemanusiaan secara langsung dan segera. Ia juga menekankan pentingnya mengakhiri blokade yang dinilai telah memperparah penderitaan warga Gaza.

“Peserta berasal dari berbagai latar belakang, dan mayoritas justru berasal dari negara-negara Barat, bukan hanya dari komunitas Arab atau Muslim,” ujar Abu Khashk kepada Al Jazeera.

Ia menyebut, hingga kini lebih dari 10.000 orang telah menyatakan minat untuk bergabung.

Koordinasi logistik dan komunikasi dibagi berdasarkan wilayah geografis guna menjamin efektivitas dan jangkauan pesan dalam berbagai bahasa.

Tujuan utama

Penyelenggara menetapkan lima tujuan utama dari aksi damai ini. yang terpenting adalah menyelamatkan penduduk Jalur Gaza dari bencana kelaparan yang kini terlihat jelas dalam semua laporan dan foto yang beredar di Jalur Gaza.

Dalam berbagai wawancara dengan Al Jazeera Net, penyelenggara menjelaskan bahwa tujuan langsung pawai tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama, menghentikan genosida yang tengah berlangsung di Gaza. Langkah ini dilakukan dengan mendorong upaya kolektif untuk menghentikan kejahatan dan pelanggaran yang terus dilakukan Israel, terutama penggunaan kelaparan sebagai senjata terhadap warga sipil.

Kekerasan sistematis yang mengancam kehidupan ribuan anak dan masyarakat Palestina secara luas menjadi fokus utama.

Kedua, memastikan bantuan kemanusiaan masuk secara langsung dan tanpa hambatan. Para penyelenggara menyerukan pembukaan jalur bantuan, terutama melalui Perlintasan Rafah, mengingat ribuan truk bantuan masih tertahan di perbatasan.

Gerakan ini juga mendukung setiap upaya kolektif untuk menjamin bahwa bahan pangan, obat-obatan, dan pasokan penting lainnya dapat sampai ke penduduk Gaza tanpa penundaan.

Ketiga, menghentikan blokade dan mencabut berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap Gaza.

Koalisi menyerukan pembukaan jalur kemanusiaan yang aman dan permanen serta penghapusan hambatan terhadap masuknya kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, bahan bakar, dan obat-obatan.

Keempat, menggerakkan opini publik internasional dan mengekspos kejahatan pendudukan.

Dalam hal ini, partisipasi masyarakat sipil dari berbagai negara dinilai penting untuk menekan pemerintah mereka, serta mengarahkan opini publik dan media dunia dalam mendukung keadilan dan hak-hak kemanusiaan rakyat Palestina.

Kelima, menuntut pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran hukum internasional.

Koalisi menegaskan pentingnya menyeret semua pihak yang terlibat dalam kejahatan terhadap rakyat Palestina ke ranah hukum internasional.

Mereka juga mendesak lembaga-lembaga internasional untuk menjalankan tanggung jawab moral dan yuridis mereka.

Selain tujuan-tujuan praktis tersebut, inisiatif ini juga diharapkan menjadi simbol solidaritas global.

Pengacara asal Jerman, Melanie Schweitzer, menyatakan bahwa “Long March ke Gaza” ingin mewakili suara masyarakat sipil dari negara-negara asal para peserta.

Mereka berasal dari serikat pekerja, organisasi kemanusiaan, sektor kesehatan, hingga warga biasa dari berbagai usia dan latar belakang.

Gerakan ini juga menekankan bahwa seluruh peserta adalah relawan yang membiayai sendiri keikutsertaan mereka, tanpa dukungan dari pemerintah mana pun.

Penyelenggara menegaskan bahwa aksi ini bersifat damai sepenuhnya dan terinspirasi dari gerakan-gerakan solidaritas bersejarah.

Dengan menyatukan ribuan orang dari berbagai negara dan budaya, “Long March ke Gaza” tidak hanya menjadi seruan terhadap ketidakadilan yang berlangsung.

Tetapi, juga menjadi bukti nyata kekuatan solidaritas manusia lintas batas dalam menghadapi penderitaan yang tak seharusnya dibiarkan terus berlanjut.

Long march

Karena para peserta aksi “Long March ke Gaza” berasal dari berbagai penjuru dunia, para penyelenggara telah menetapkan jalur khusus yang akan ditempuh menuju perbatasan Rafah, gerbang darat yang menghubungkan Mesir dengan Jalur Gaza.

Ketua Koalisi Internasional Melawan Pendudukan Israel, Seif Abu Khashk, menjelaskan bahwa para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok geografis guna mengatasi tantangan jarak, perbedaan bahasa, serta keragaman budaya.

Setiap kelompok mengadakan pertemuan berkala, dengan rencana bergerak menuju Kairo mulai 12 Juni mendatang.

Edouard Camacho dari Serikat Alternatif Catalan (IAC) menambahkan bahwa seluruh peserta membiayai sendiri keikutsertaan mereka dan hanya mengandalkan dukungan logistik minimum.

Lima tahapan rute

Rute aksi ini dirancang dalam beberapa tahap utama:

  • Penetapan titik awal dan koordinasi lokal.

Para penyelenggara terlebih dahulu menentukan wilayah-wilayah yang menjadi titik awal keberangkatan dan menjalin komunikasi dengan berbagai elemen lokal.

“Kami telah memulai dialog ini sejak lama. Tujuan kami sejak awal adalah melakukan sesuatu yang melampaui batas negara masing-masing,” ujar Abu Khashk.

  • Pembagian peserta ke dalam kelompok negara.

Karena peserta berasal dari 32 negara, mereka dikelompokkan berdasarkan asal negara untuk mempermudah logistik dan koordinasi lintas budaya serta bahasa.

  • Tahap kedatangan dan perjalanan ke Gaza.

Setelah tiba di Kairo, peserta akan melanjutkan perjalanan darat menuju Al-Arish, kota terdekat dengan perbatasan Gaza. Dari sana, aksi jalan kaki dimulai hingga ke gerbang Rafah.

“Kami menyadari bahwa berjalan di gurun tidak mudah. Namun, jika rakyat Gaza telah hidup tanpa makanan, obat-obatan, dan air selama lebih dari 20 bulan, maka kami sanggup menanggung kesulitan ini sebagai bentuk solidaritas,” kata Abu Khashk.

  • Komunikasi dengan otoritas terkait.

Koalisi juga telah berkomunikasi dengan berbagai kedutaan Mesir di negara-negara asal peserta dan mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Mesir.

“Aksi ini mendukung segala upaya Mesir dalam menghentikan genosida di Palestina dan kami melakukan semuanya secara terbuka dan transparan,” ujar Abu Khashk.

  • Aksi damai di gerbang Rafah.

Titik akhir aksi ini adalah Rafah, tempat para peserta akan mendirikan kamp damai sebagai bentuk tekanan agar pintu perbatasan dibuka dan bantuan dapat masuk ke Gaza.

Tumpukan Bantuan Kemanusiaan yang Tertahan

Tujuan utama aksi ini, sebagaimana ditegaskan oleh para penyelenggara kepada Al Jazeera, adalah untuk menembus blokade yang dinilai “tidak manusiawi” dan telah diberlakukan sejak 7 Oktober 2023.

Abu Khashk menyebutkan bahwa sekitar 3.000 truk yang membawa makanan, obat-obatan, bahan bakar, dan pasokan penting lainnya masih tertahan di gerbang Rafah selama berbulan-bulan.

Padahal, saat ini masyarakat Gaza tengah menghadapi kelaparan paksa dalam skala besar.

Koalisi juga menjalin koordinasi dengan beberapa inisiatif serupa yang memiliki tujuan sejalan.

Di antaranya adalah “Konvoi Darat untuk Membuka Blokade Gaza (Sumud)” dan “Koalisi Armada Kebebasan”.

Komunikasi resmi

Karen Moynihan, juru bicara kelompok Irlandia yang turut serta dalam aksi, menyampaikan bahwa koalisi telah menjalin komunikasi dengan pemerintah Mesir dan menghubungi perwakilan diplomatik masing-masing negara.

Ia menegaskan bahwa gerakan ini tidak bermaksud menyalahkan Mesir, melainkan ingin bekerja sama dan meningkatkan tekanan internasional terhadap Israel agar menghentikan pengepungan.

“Sejak awal Maret, bantuan benar-benar terhenti. Kami ingin Israel dimintai pertanggungjawaban dan kejahatan mereka dihentikan,” ujarnya.

Moynihan menambahkan bahwa tindakan Israel yang secara sengaja membiarkan lebih dari dua juta orang di Gaza kelaparan adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Setiap negara atau entitas yang berdiam diri terhadap kekejaman ini berarti turut serta dalam genosida. Sejarah tidak akan memaafkan mereka yang memilih bungkam,” imbuhnya.

Aksi ini digelar di tengah ketidakpastian baru, setelah Israel mengusulkan agar distribusi bantuan di Gaza dikelola oleh perusahaan swasta.

Namun, PBB menolak usulan tersebut, menyatakan bahwa langkah itu akan memperparah pengungsian, membatasi bantuan hanya untuk wilayah tertentu, serta mengaitkannya dengan tujuan politik dan militer yang lebih luas.

Meski menghadapi tantangan besar, “Long March ke Gaza” tetap menjadi sinyal kuat bahwa solidaritas global belum mati, dan bahwa suara masyarakat sipil dunia masih bersatu untuk kemanusiaan.

 

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular