Tuesday, July 29, 2025
HomeBeritaKonferensi PBB dorong solusi dua negara, Amerika Serikat menolak keras

Konferensi PBB dorong solusi dua negara, Amerika Serikat menolak keras

Seruan untuk mewujudkan solusi dua negara demi mengakhiri perang di Gaza dan konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina menggema dalam konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang digelar di New York, Amerika Serikat (AS).

Acara yang diselenggarakan dengan dukungan Prancis dan Arab Saudi ini menjadi ajang diplomasi intensif untuk menata kembali arah penyelesaian politik atas tragedi kemanusiaan di Gaza.

Meski demikian, AS mengkritik keras konferensi tersebut, menyebutnya sebagai “pertunjukan propaganda”.

Penolakan ini menunjukkan jurang pandang antara Washington dan sejumlah negara mitra utamanya dalam menilai akar dan penyelesaian konflik Timur Tengah.

Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noël Barrot, dalam sambutannya menegaskan bahwa konferensi ini harus menjadi “titik balik” menuju implementasi nyata solusi 2 negara.

Ia menyampaikan bahwa Prancis telah menginisiasi sebuah momentum yang tak bisa dihentikan untuk menciptakan perdamaian politik jangka panjang di kawasan tersebut.

“Tidak dapat diterima bahwa anak-anak dan perempuan menjadi sasaran serangan saat mereka tengah mencari bantuan kemanusiaan,” ujarnya, merujuk pada kondisi memprihatinkan di Gaza.

Barrot mendesak adanya gencatan senjata permanen dan menyatakan bahwa akhir dari perang di Gaza harus menjadi awal dari penyelesaian menyeluruh atas konflik Israel-Palestina.

Ia juga mengungkapkan bahwa salah satu tujuan utama konferensi ini adalah menggalang komitmen dari negara-negara Eropa yang telah menyatakan niat untuk mengakui Negara Palestina.

“Pasca konferensi ini, kita akan memiliki visi bersama mengenai masa depan Gaza,” tegasnya.

Nada serupa disampaikan Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud, yang menyebut forum tersebut sebagai peristiwa bersejarah dalam mendorong realisasi solusi dua negara dan mengakhiri pendudukan Israel atas Palestina.

Pangeran Faisal menyambut baik pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang akan secara resmi mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.

Ia menekankan bahwa kestabilan kawasan tak akan terwujud tanpa penghormatan atas hak-hak rakyat Palestina.

Ia pun mendesak dihentikannya segera “bencana kemanusiaan” yang tengah berlangsung di Gaza akibat agresi Israel.

“Inisiatif Perdamaian Arab adalah fondasi yang menyatukan bagi solusi yang adil dan komprehensif,” ujar Faisal.

Ia memastikan bahwa Saudi dan Prancis bertekad untuk mewujudkan konsensus internasional soal solusi 2 negara menjadi kenyataan konkret.

Baru sebuah harapan

Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, menilai bahwa konferensi ini memberikan “seberkas harapan” di tengah situasi genting yang dihadapi kawasan akibat agresi Israel ke Gaza.

Ia menyatakan bahwa Qatar sepenuhnya mendukung tujuan konferensi dan menegaskan bahwa tidak ada alternatif lain selain penyelesaian adil dan menyeluruh atas konflik Palestina.

Sheikh Mohammed juga menyampaikan bahwa mediasi yang dilakukan Qatar bersama Mesir dan Amerika Serikat telah menghasilkan kemajuan, khususnya dalam memasukkan bantuan kemanusiaan ke Gaza.

“Namun, bagaimana mungkin perdamaian lahir di tengah kelaparan, penghinaan, dan pembunuhan? Gambar-gambar dari Gaza adalah noda bagi kemanusiaan,” ucapnya tegas.

Ia juga menekankan bahwa Qatar menolak dengan tegas standar ganda, terutama dalam penggunaan makanan sebagai alat dalam perang.

Sementara itu, Menteri Negara di Kementerian Luar Negeri Qatar, Mohammed bin Abdulaziz Al Khulaifi, menegaskan bahwa negaranya berkomitmen mendorong nilai-nilai perdamaian dan keadilan melalui dialog dan koeksistensi.

Ia menyatakan bahwa narasi perdamaian harus berlandaskan prinsip hukum internasional dan solusi 2 negara.

“Kami berharap konferensi ini dapat mendorong terwujudnya negara Palestina yang merdeka dengan batas tahun 1967,” ujarnya.

Titik balik

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, António Guterres, menyampaikan keprihatinan mendalam atas semakin jauhnya prospek terwujudnya solusi 2 negara.

Dalam sambutannya pada Konferensi PBB di New York, ia menegaskan bahwa solusi dua negara adalah satu-satunya kerangka penyelesaian yang memiliki dasar hukum internasional dan legitimasi dari Majelis Umum PBB serta dukungan luas komunitas global.

“Namun saat ini. Solusi itu lebih jauh dari jangkauan dibandingkan waktu-waktu sebelumnya,” ujarnya.

Guterres mendesak agar konferensi ini menjadi “titik balik” dalam mengakhiri pendudukan Israel dan menciptakan perdamaian yang adil dan permanen di kawasan.

Ia juga menyinggung dampak luas dari perang Gaza, yang menurutnya tak hanya mengguncang stabilitas regional, melainkan juga menggoyang perdamaian dunia.

Guterres mengecam kebijakan Israel melakukan aneksasi bertahap di Tepi Barat, menyebutnya sebagai tindakan “ilegal” yang harus segera dihentikan.

Sikap konfrontatif AS

Sementara itu, AS tetap mempertahankan sikap skeptis terhadap forum tersebut.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyebut konferensi itu sebagai “pertunjukan propaganda” yang dinilai justru menghambat upaya penyelesaian konflik.

“Konferensi ini hanya akan memperpanjang perang, memberi angin kepada Hamas, dan melemahkan inisiatif nyata untuk mencapai perdamaian,” ujar Bruce dalam keterangannya kepada pers.

Sikap AS ini memperlihatkan kontras mencolok dengan semangat sebagian besar peserta konferensi yang justru melihat forum tersebut sebagai upaya internasional terakhir untuk menghidupkan kembali jalur politik menuju solusi dua negara.

Konferensi PBB ini sejatinya dijadwalkan berlangsung di New York pada 17—20 Juni lalu, dengan tujuan utama menyusun peta jalan menuju berdirinya negara Palestina.

Namun, agresi militer Israel terhadap Iran pada 13 Juni menyebabkan sejumlah delegasi dari Timur Tengah membatalkan kehadiran, hingga akhirnya konferensi ditunda.

Menurut sumber diplomatik, Pemerintahan Presiden AS Donald Trump juga diketahui melakukan tekanan intensif terhadap sejumlah negara untuk tidak berpartisipasi dalam konferensi.

Serangkaian nota diplomatik bahkan dikirimkan untuk meminta negara-negara sahabat agar tidak hadir.

Di tengah berlangsungnya forum ini, Israel tetap melanjutkan kampanye militer di Jalur Gaza dengan dukungan penuh dari Washington.

Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 204.000 warga Palestina telah menjadi korban, baik tewas maupun luka-luka.

Mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Selain itu, lebih dari 10.000 orang masih dinyatakan hilang, dan ratusan ribu lainnya terusir dari tempat tinggalnya.

Kelaparan ekstrem telah menewaskan banyak warga, menambah panjang daftar penderitaan.

Bagi banyak pengamat dan pelaku diplomasi, konferensi ini adalah secercah harapan di tengah gelapnya prospek perdamaian.

Ketika semua jalur negosiasi buntu, agresi terhadap Gaza dan Tepi Barat—termasuk Yerusalem Timur—terus berlangsung.

Dunia nyaris kehilangan pegangan terhadap kerangka penyelesaian yang adil, maka konferensi ini dinilai sebagai upaya internasional terakhir untuk menyelamatkan kemungkinan berdirinya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular