- Poros “Netzarim” membentang dari perbatasan paling timur Jalur Gaza hingga pantai di barat dan berpotongan dengan Jalan Salah al-Din.
- Tentara Israel menguasai poros “Netzarim” pada awal November 2023 untuk memisahkan wilayah Gaza Utara dari bagian tengah dan selatan.
- Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebelumnya berjanji tidak akan mundur dari “Netzarim” setelah memperkuatnya secara militer dan logistik.
Pada hari ke-22 penghentian genosida yang dilakukan Israel dengan dukungan Amerika Serikat (AS) di Jalur Gaza, tentara Israel sepenuhnya menarik diri dari koridor “Netzarim,” yang sebelumnya memisahkan bagian utara dan selatan Gaza. Ini dilakukan sebagai bagian dari tahap pertama perjanjian gencatan senjata dengan faksi-faksi Palestina.
Koridor “Netzarim” membentang dari perbatasan timur Gaza hingga pantai di barat dan berpotongan dengan Jalan Salah al-Din, jalur utama di wilayah tersebut.
Penarikan pasukan Israel
Malam tadi, kendaraan militer Israel keluar dari poros yang dibangun selama genosida sebagai garis pemisah di tengah Gaza, setelah lebih dari setahun 3 bulan menduduki wilayah timur Gaza.
Tentara Israel pertama kali menguasai poros “Netzarim” pada awal November 2023, dengan tujuan memisahkan Gaza Utara dan Gaza Tengah dari bagian selatan. Langkah ini memaksa sekitar 1 juta warga Palestina mengungsi ke selatan Wadi Gaza akibat serangan udara dan artileri intensif Israel.
Pada 27 Januari lalu, tentara Israel mulai mundur dari poros yang membentang antara Jalan Rashid (jalan pesisir) di barat hingga Jalan Salah al-Din di timur, memungkinkan lebih dari setengah juta pengungsi Palestina kembali ke Gaza Utara secara bertahap.
Menurut media Israel, saat pemulangan itu dimulai, mereka berjalan kaki melalui jalan pesisir, sementara kendaraan melintas di Jalan Salah al-Din, di bawah pemeriksaan ketat oleh tiga perusahaan keamanan AS dan Mesir.
Apa itu koridor “Netzarim”?
Nama “Netzarim” berasal dari pemukiman Israel yang pernah berdiri di Jalur Gaza sebelum pemukiman tersebut dibongkar pada tahun 2005. Poros ini adalah jalur strategis yang membelah Gaza menjadi dua bagian, dikelilingi oleh berbagai wilayah seperti lahan pertanian, kamp pengungsi Palestina, dan pemukiman padat penduduk.
Di sebelah utara, poros ini dekat dengan lingkungan Zaytoun di Kota Gaza, salah satu daerah tertua dan terpadat di Jalur Gaza.
Sementara dari selatan, poros ini melintasi Wadi Gaza, sebuah jalur air yang memisahkan Gaza dari wilayah tengah, serta melewati daerah Maghazi dan Kamp Nuseirat, yang merupakan salah satu kamp pengungsi terbesar di wilayah tengah Gaza.
Di timur, poros ini berbatasan dengan Juhor ad-Dik, sebuah daerah pertanian dekat perbatasan Israel, yang sering menjadi sasaran serangan militer karena lokasinya yang terbuka.
Di sepanjang koridor, terdapat lahan pertanian luas yang sebelumnya digunakan sebagai zona penyangga selama pendudukan Israel di pemukiman “Netzarim,” yang pernah memisahkan Gaza Utara dan Selatan.
Di barat, koridor ini terhubung dengan jalan pesisir melalui persimpangan Sheikh Ajlin, menjadikannya jalur utama bagi pergerakan warga antara Gaza dan wilayah selatan.
Perluasan koridor
Selama beberapa bulan terakhir, tentara Israel menghancurkan ratusan bangunan di sepanjang poros ini dalam upaya menciptakan zona penyangga di tengah Gaza. Israel juga membangun jaringan pos militer, menara komunikasi, dan benteng pertahanan, mengubahnya menjadi garis militer utama.
Israel mulai menyerang koridor “Netzarim” ketika melancarkan invasi darat ke Jalur Gaza pada 27 Oktober 2023.
Tujuannya menguasai poros ini adalah untuk membagi Gaza menjadi dua bagian, memisahkan wilayah utara dan selatan dengan kekuatan militer, serta membatasi pergerakan warga Palestina dan kendaraan mereka.
Pada awal invasi darat, panjang poros ini sekitar 8 kilometer dengan lebar beberapa ratus meter. Namun, Israel kemudian memperluasnya hingga mencapai luas total sekitar 56 kilometer persegi.
Reaksi terhadap penarikan Israel
Pada 20 Agustus 2024, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa Israel tidak akan meninggalkan Poros Netzarim (yang memisahkan Gaza Utara dan Selatan) serta Poros Philadelphi di perbatasan Gaza-Mesir, yang disebut sebagai “aset strategis” bagi negaranya, dalam kondisi apa pun.
Pada hari Minggu, Hamas menyatakan bahwa penarikan tentara Israel dari “Poros Netzarim” di tengah Gaza adalah kelanjutan dari kegagalan tujuan perang genosida Israel di Gaza selama 15 bulan.
“Kembalinya para pengungsi Palestina, keberlanjutan pertukaran tahanan, serta penarikan Israel dari Netzarim membuktikan bahwa klaim kemenangan penuh Netanyahu atas rakyat kami adalah kebohongan,” kata Juru bicara Hamas, Abdul Latif al-Qanou, dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu, analis militer Israel, Noam Amir, mengatakan bahwa penarikan tentara dari Poros Netzarim berarti Hamas kembali menguasai Gaza Utara dan bahwa Israel secara permanen kehilangan “keberhasilan” perangnya.
“Pasukan kami mulai mundur dari Koridor Netzarim di Gaza Tengah tadi malam (Sabtu malam),” katanya dalam laporan untuk Channel 14 Israel.
Ia menambahkan bahwa poros tersebut pada dasarnya adalah zona penyangga antara Gaza Utara dan Selatan, serta merupakan titik strategis yang sangat penting dalam perang melawan faksi-faksi Palestina di Gaza.
Menurut Amir, penyerahan kembali koridor ini kepada Hamas memungkinkan kelompok tersebut bergerak bebas di Gaza Utara.
“Ini berarti kita benar-benar kehilangan pencapaian perang di Gaza Utara, dan membiarkan Hamas kembali bergerak bebas dengan cara apa pun yang mereka pilih,” tegas Amir.
Pada 19 Januari lalu, kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel mulai berlaku, dengan mediasi dari Qatar, Mesir, dan dukungan AS.
Kesepakatan ini terdiri dari tiga tahap, masing-masing berlangsung selama 42 hari, dengan negosiasi untuk tahap kedua dan ketiga dilakukan selama tahap pertama, hingga mencapai penghentian penuh perang genosida.
Dengan dukungan Amerika Serikat, Israel melakukan genosida di Gaza antara 7 Oktober 2023 hingga 19 Januari 2025, yang mengakibatkan lebih dari 159.000 warga Palestina tewas atau terluka, mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan wanita. Selain itu, lebih dari 14.000 orang hilang, menjadikannya salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia.