Thursday, August 14, 2025
HomeBeritaKunci pulang dan Kufiyah: Simbol perjuangan dan identitas Palestina

Kunci pulang dan Kufiyah: Simbol perjuangan dan identitas Palestina

Di setiap jengkal tanah Palestina, melekat simbol-simbol perjuangan yang mencerminkan keterikatan rakyatnya pada tanah air, serta tekad untuk melestarikan identitas budaya dan warisan leluhur.

Simbol-simbol ini diwariskan lintas generasi, sebagai benteng dari upaya penghapusan dan pelupaan sejarah.

Selama puluhan tahun, pendudukan Israel berusaha membungkam suara rakyat Palestina melalui berbagai cara, demi menghapus hak mereka atas tanah dan sejarahnya.

Namun, seperti bunga za’atar liar dan pohon zaitun yang tetap tumbuh di ladang, rakyat Palestina teguh mempertahankan lambang-lambang yang mewakili perlawanan dan jati diri nasional mereka.

Kunci pulang: Simbol perlawanan dan harapan kemenangan

Bagi rakyat Palestina, “kunci pulang” bukan sekadar potongan besi tua, melainkan simbol kuat yang menegaskan hak untuk kembali ke tanah kelahiran.

Simbol ini berakar dari peristiwa Nakba 1948, ketika lebih dari 750.000 warga Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka akibat operasi militer, pembunuhan, dan pengusiran massal.

Banyak pengungsi menyimpan kunci asli rumah mereka, dibawa sejak hari-hari kelam pengusiran, dengan keyakinan bahwa kepergian mereka hanya sementara.

Benda itu menjadi warisan turun-temurun, diserahkan dari orang tua kepada anak cucu sebagai pengingat akan hak yang tidak dapat dihapus.

Kini, replika kunci raksasa berdiri di berbagai kamp pengungsi Palestina, menjadi monumen harapan dan perlawanan.

Dalam demonstrasi pro-Palestina di seluruh dunia, kunci pulang hadir berdampingan dengan kufiyah sebagai penanda identitas.

Di Doha, Qatar, bahkan dibuat replika kunci terbesar di dunia di kawasan budaya Katara—panjang 7,8 meter, lebar 2,8 meter, dan berat 2,7 ton—yang kemudian masuk Guinness World Records.

Kufiyah: Dari pelindung petani menjadi ikon dunia

Kufiyah—selendang berwarna putih dengan motif hitam—awalnya dikenakan petani untuk melindungi diri dari terik matahari dan badai pasir.

Namun, seiring perjalanan sejarah, ia berubah menjadi simbol perlawanan terhadap pendudukan.

Popularitas kufiyah melejit berkat Presiden Palestina Yasser Arafat yang memakainya dalam setiap penampilan publik, termasuk pidato bersejarah di Sidang Umum PBB tahun 1974.

Sejak itu, kufiyah menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan pembebasan Palestina, dikenakan di setiap intifada dan aksi unjuk rasa di seluruh dunia.

Kufiyah memiliki beberapa sebutan di kalangan rakyat Palestina, seperti hattah atau syal.

Dulu, pemakaiannya identik dengan kalangan petani, sedangkan kelas menengah dan atas lebih memilih tarbush.

Perubahan terjadi pada perlawanan 1936 melawan pendudukan Inggris, ketika kelompok bersenjata—yang sebagian besar berasal dari kalangan miskin—menjadikan kufiyah sebagai seragam resmi.

Untuk menghindari identifikasi mudah oleh tentara Inggris, para pemimpin perlawanan menyerukan agar seluruh laki-laki Palestina meninggalkan tarbush dan mengenakan kufiyah, sebagai wujud solidaritas dan pemersatu barisan.

Dabkah Palestina: Perlawanan dalam langkah dan irama

Bagi rakyat Palestina, dabkah bukan sekadar tarian rakyat yang mengiringi pesta pernikahan dan perayaan panen.

Ia adalah warisan budaya yang mengikat generasi, dijaga agar tidak tergerus waktu, dan menjadi peneguh identitas di tengah upaya penghapusan sejarah.

Asal-usul dabkah berakar pada tradisi pertanian kuno. Di masa lalu, para petani bekerja beriringan di ladang, menggenggam tangan sambil menjejak tanah pada musim panen sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil jerih payah bersama.

Menurut catatan Kantor Berita Palestina (WAFA), sebelum masa pendudukan, dabkah memiliki nuansa murni perayaan.

Namun, pasca Nakba 1948, ia bertransformasi menjadi simbol perlawanan nasional.

Mulai awal 1980-an, pertunjukan dabkah diorganisasi lebih rapi, tak sekadar hiburan, tetapi sebagai media untuk memperkenalkan budaya Palestina di forum Arab dan dunia. Pada 2023, UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya takbenda umat manusia.

Gerak yang menyampaikan pesan

Dabkah kerap diiringi nyanyian bernuansa patriotik—tentang kerinduan pada kampung halaman, kisah pengusiran, hingga tekad mempertahankan tanah air.

Gerakannya sarat makna: genggaman tangan melambangkan persatuan, hentakan kaki di tanah mencerminkan keberanian dan keteguhan hati.

Tari ini menuntut kekompakan penuh: irama langkah yang sinkron, gerakan bahu yang selaras, dan hentakan kaki yang mantap.

Para penari mengenakan busana rakyat khas Palestina, terinspirasi dari pakaian pedesaan tradisional.

Dalam formasi, seorang pemimpin berada di ujung barisan, memegang tasbih atau tongkat kecil.

Ia kerap keluar dari barisan untuk menampilkan gerakan solonya, yang kemudian diikuti seluruh penari.

Pendudukan Israel berulang kali berusaha mengaburkan identitas Palestina dengan mengklaim dabkah sebagai bagian dari budaya mereka—menerjemahkan lagu-lagunya ke bahasa Ibrani atau mengambil melodinya. Namun, upaya itu gagal menghapus jejak sejarahnya.

Hingga kini, dabkah tetap hadir di setiap perayaan nasional, festival budaya, dan panggung diaspora Palestina di seluruh dunia.

Ia menjadi salah satu ikon terkuat warisan budaya Palestina—perlawanan yang diungkapkan bukan lewat senjata, melainkan lewat irama, hentakan, dan kebersamaan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular