Friday, June 6, 2025
HomeBeritaLana Syarif: Wajah anak-anak Gaza yang direnggut perang

Lana Syarif: Wajah anak-anak Gaza yang direnggut perang

Di Jalur Gaza yang terkepung dan dilanda perang, di mana ketakutan menjadi bagian dari keseharian, Lana Syarif menjadi simbol nyata kepedihan masa kecil yang dirampas oleh konflik berkepanjangan.

Bocah perempuan Palestina berusia sepuluh tahun ini kini dikenal luas bukan karena keceriaan khas anak-anak, melainkan karena luka mendalam yang ia alami, baik secara fisik maupun batin.

Lana sebelumnya hidup tenang di Rafah, sebuah kota di bagian selatan Jalur Gaza. Ia dikenal karena senyum polosnya dan parasnya yang elok.

Namun, semua berubah drastis ketika perang menyapa pintu rumahnya. Sebuah serangan udara Israel menghancurkan rumah di sebelah tempat tinggal keluarganya.

Dentuman bom tak hanya merobohkan bangunan, tetapi juga meruntuhkan dunia kecil Lana.

Trauma mendalam membuat rambutnya memutih di usia dini. Tubuhnya yang mungil ditumbuhi bercak-bercak putih, gejala yang muncul akibat tekanan psikologis luar biasa yang ia alami.

Pasca-insiden itu, Lana dihantui ketakutan. Ia kerap terbangun oleh mimpi buruk yang tak berkesudahan.

Rasa aman yang seharusnya menjadi hak setiap anak, sirna dari hidupnya.

“Orang-orang tidak lagi mencintai aku seperti dulu. Aku bukan lagi anak yang cantik itu,” ucapnya lirih dalam sebuah video yang kemudian viral di media sosial.

Kalimat sederhana itu menggugah banyak hati, membangkitkan gelombang empati di berbagai belahan dunia.

Lana kini menjadi ikon penderitaan anak-anak Gaza. Di berbagai platform digital, banyak aktivis dan jurnalis menyerukan perhatian dunia atas nasib anak-anak di wilayah yang telah lebih dari satu setengah tahun terkepung dan terus-menerus dibombardir.

“Mereka tidak hanya membunuh warga sipil, tapi mereka membunuh masa kecil yang tak berdosa,” tulis salah satu pengguna di platform X.

Menurut aktivis kemanusiaan, wajah Lana bukan sekadar potret seorang anak yang terluka, tetapi juga menjadi saksi hidup atas kekejaman yang menimpa ribuan anak-anak Gaza.

Beberapa bahkan menyatakan bahwa Lana tidak mati oleh bom, tetapi oleh ketakutan dan rasa tidak berdaya dalam dunia yang kehilangan nurani.

Seruan pun disampaikan agar perbatasan Gaza dibuka untuk mengizinkan anak-anak yang memerlukan perawatan medis segera keluar dari wilayah konflik.

Minimnya fasilitas kesehatan di Gaza membuat penanganan terhadap korban anak menjadi nyaris mustahil.

Bagi banyak anak, seperti Lana, luka mereka bukan hanya tampak di permukaan, tetapi tertanam dalam dan mungkin tak pernah sembuh.

Apa yang dialami Lana hanyalah satu dari ribuan kisah serupa. Dalam laporan terbaru dari Kantor Media Pemerintah di Gaza, tercatat lebih dari 11.859 serangan terhadap keluarga Palestina.

Sebanyak 2.172 keluarga dilaporkan musnah sepenuhnya—tidak ada satu pun anggota yang tersisa.

Anak-anak yang selamat dari kematian kini bertahan hidup dalam tenda-tenda darurat yang minim kebutuhan dasar.

Mereka hidup tanpa orang tua, tanpa anggota tubuh, dan tanpa masa depan yang pasti. Dalam situasi serba kekurangan dan di bawah ancaman serangan yang terus berlangsung, setiap hari menjadi perjuangan untuk tetap bertahan.

Di tengah penyebaran luas video Lana yang menyentuh hati banyak orang, muncul satu pertanyaan besar yang terus menggema: Kapan mimpi buruk ini akan berakhir? Kapan generasi anak-anak Gaza dapat kembali merasakan arti kata “masa kecil”?

Perang telah merenggut banyak hal dari Lana: rasa aman, keceriaan, dan keyakinan bahwa dunia bisa menjadi tempat yang baik bagi seorang anak.

Kini, wajahnya menjadi potret luka kolektif yang dirasakan oleh seluruh generasi muda Gaza, ebuah wajah yang seharusnya tersenyum, namun kini hanya bisa diam menatap dunia yang membisu.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular