Ketika Paus Leo XIV memulai masa kepemimpinannya, umat Katolik di seluruh dunia—termasuk di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara—menantikan arah kebijakan yang akan diambil oleh Paus Amerika pertama tersebut.
Khususnya terkait perang yang masih berlangsung di Gaza, konflik Israel-Palestina yang lebih luas, serta ketegangan regional lainnya.
Meski hingga kini Paus Leo XIV belum mengeluarkan pernyataan khusus mengenai Palestina atau kawasan Timur Tengah, latar belakangnya, kedekatannya dengan Paus Fransiskus, serta isyarat awal yang menunjukkan kesinambungan, memberi petunjuk akan sebuah kepausan yang berkomitmen pada perdamaian, dialog lintas agama, dan keadilan sosial.
Akar dan pembentukan sosok Leo XIV
Sebelum terpilih sebagai Paus, Leo XIV dikenal sebagai Kardinal Robert Prevost, seorang misionaris asal Amerika Serikat (AS) yang pernah menjabat sebagai uskup di Peru. Ia memiliki darah campuran Italia, Spanyol, dan Peru.
Dalam karya pastoralnya selama puluhan tahun, ia dikenal luas sebagai figur yang teguh memperjuangkan keadilan sosial, membela martabat manusia, dan menunjukkan solidaritas terhadap kaum miskin.
Terutama masyarakat adat, para migran, dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya.
Pelayanannya berlangsung di wilayah-wilayah yang menjadikan Gereja sebagai salah satu dari sedikit tempat perlindungan terakhir bagi mereka yang tersingkir.
Gaya kepemimpinannya menekankan pendekatan langsung kepada masyarakat, kerap berseberangan dengan otoritas negara yang represif.
Latar belakang ini membentuk pandangan moralnya dan kemungkinan besar akan mewarnai sikapnya terhadap krisis kemanusiaan di Gaza dan penderitaan yang lebih luas di Timur Tengah.
Dalam pidato perdananya, Leo XIV memilih kata-kata yang inklusif dan menyejukkan: “Damai sejahtera bagi kalian semua.”
Ia juga menyampaikan harapan agar pesan ini menjangkau “seluruh umat manusia, di mana pun berada”.
Ini merupakan isyarat kuat bahwa Vatikan di bawah kepemimpinannya akan tetap berperan sebagai suara moral di tengah perang dan ancaman terhadap minoritas di berbagai penjuru dunia.
Walau singkat, pernyataan tersebut mencerminkan niat Leo XIV untuk melanjutkan tradisi kepausan yang mengedepankan rekonsiliasi dan keterbukaan.
Tradisi itu berbicara tidak hanya kepada umat Katolik, tetapi juga kepada semua yang terjebak dalam pusaran konflik, perpecahan, dan pengungsian.
Nada universal yang disampaikannya mengingatkan pada daya tarik global yang dimiliki Paus Fransiskus.
Meneruskan warisan Fransiskus atas Gaza
Leo XIV secara luas dipandang sebagai penerus teologis dan kelembagaan dari Paus Fransiskus, yang telah mengangkatnya ke sejumlah jabatan tinggi di Vatikan serta menjadikannya kardinal.
Fransiskus sendiri dikenal vokal dalam menyuarakan keprihatinan terhadap perang yang dilancarkan Israel di Gaza, hingga membuat hubungan diplomatik dengan Tel Aviv renggang.
Pejabat tinggi Israel bahkan memilih untuk tidak menghadiri pemakaman Fransiskus.
“Menurut beberapa pakar, apa yang terjadi di Gaza memiliki karakteristik yang menyerupai genosida. Hal ini perlu diselidiki lebih lanjut apakah sesuai dengan definisi teknis yang disusun oleh para ahli hukum dan lembaga internasional,” tulis Fransiskus dalam bukunya tahun 2024 yang berjudul Hope Does Not Disappoint.
Fransiskus juga secara konsisten menyerukan gencatan senjata, pembukaan koridor kemanusiaan, serta perlindungan terhadap warga sipil.
Seruan yang kini banyak pihak di kawasan Timur Tengah harapkan akan diteruskan oleh Leo XIV.
Sambutan dari para pemimpin MENA
Reaksi dari para pemimpin di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara terhadap terpilihnya Leo XIV umumnya positif.
Banyak yang menyatakan harapan bahwa sang Paus baru akan melanjutkan warisan moral yang ditinggalkan Fransiskus, terutama dalam membela hak-hak rakyat Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengucapkan selamat sembari menekankan “pentingnya peran Vatikan dalam membela perjuangan yang adil,” terutama hak rakyat Palestina untuk merdeka dan berdaulat.
Kelompok Hamas bahkan mengeluarkan pernyataan ucapan selamat yang jarang terjadi. Ia menyuarakan harapan bahwa Paus Leo XIV akan menolak “genosida di Gaza” dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Komunitas Kristen di Gaza menyambutnya dengan optimisme yang hati-hati.
“Kami berharap hatinya tetap bersama Gaza seperti Paus Fransiskus dahulu,” kata George Antone dari Gereja Keluarga Kudus di Gaza.
Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi menyambut pemilihan Leo XIV dan mengungkapkan keyakinannya bahwa sang Paus akan memajukan pesan perdamaian dan kasih.
Sementara itu, Syekh Ahmed Al-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar, menyatakan kesiapan untuk melanjutkan dialog lintas agama.
Dari pihak Israel, Presiden Isaac Herzog dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengirimkan ucapan selamat resmi.
Ia mendorong penguatan hubungan Katolik-Yahudi. Para pemimpin Uni Emirat Arab dan Qatar juga turut menyampaikan ucapan selamat, menekankan peran Vatikan dalam mendorong toleransi dan koeksistensi.
Gaza bisa menjadi titik penentu kepausan Leo
Walau belum memberikan pernyataan langsung terkait konflik Israel-Palestina maupun geopolitik regional, nada kepemimpinan Leo XIV serta konteks pemilihannya menunjukkan kesinambungan dengan fokus Paus Fransiskus pada perdamaian, martabat manusia, dan solidaritas terhadap mereka yang menderita.
Responsnya terhadap situasi yang terus memburuk di Gaza—dan kemanusiaan yang tengah diuji di sana—besar kemungkinan akan menjadi salah satu ujian moral utama yang mendefinisikan masa kepausannya.