Saturday, July 26, 2025
HomeHeadlineLAPORAN KHUSUS - Bagaimana Israel mulai kehilangan dukungan dari kaum konservatif AS?

LAPORAN KHUSUS – Bagaimana Israel mulai kehilangan dukungan dari kaum konservatif AS?

Oleh: Mitchell Plitnick

Selama puluhan tahun, dukungan terhadap Israel menjadi konsensus bipartisan di Amerika Serikat (AS).

Namun, situasi itu mulai berubah secara dramatis. Laporan terbaru CNN mengungkap pergeseran drastis dalam pandangan pemilih Partai Demokrat dalam 8 tahun terakhir.

Jika pada 2017 mereka lebih bersimpati kepada Israel dengan selisih 13 persen dibanding Palestina, maka pada 2025, simpati terhadap Palestina melonjak hingga unggul 43 persen.

Ini adalah perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam waktu sesingkat itu.

Perubahan ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Dalam beberapa tahun terakhir, dukungan terhadap Israel mulai terpolarisasi secara politis, terutama setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka merapat ke Partai Republik.

Pendekatan ini memecah dukungan tradisional lintas partai yang sebelumnya kokoh mengakar di Washington.

Selama ini, Israel dapat mengandalkan dukungan kuat dari Partai Republik dan tokoh-tokoh senior Partai Demokrat.

Sebagaimana ditunjukkan oleh sikap Presiden Joe Biden yang tetap memberikan dukungan tanpa syarat atas perang brutal Israel di Gaza—yang oleh banyak pihak dinilai sebagai bentuk genosida.

Bahkan ketika mantan Presiden Donald Trump—yang dikenal memiliki basis pendukung Kristen-Zionis yang fanatik—kembali ke panggung politik, harapan akan keberlanjutan dukungan konservatif terhadap Israel tetap tinggi.

Namun, sejumlah indikasi terbaru menunjukkan bahwa dukungan tersebut mulai retak. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Quinnipiac pada bulan lalu, 64 persen pemilih Partai Republik menyatakan lebih bersimpati kepada Israel dibanding Palestina.

Meskipun angka itu terlihat tinggi, namun terjadi penurunan signifikan jika dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencatat angka 78 persen.

Yang menarik, simpati terhadap Palestina tidak mengalami peningkatan—hanya 7 persen responden menyatakan bersimpati kepada Palestina.

Dengan kata lain, penurunan ini murni disebabkan oleh menurunnya pandangan positif terhadap Israel.

Fenomena ini tidak hanya tercermin dalam survei, tetapi juga dalam dinamika politik dan opini publik di kalangan kanan Amerika.

Sentimen negatif lama yang kini menguat

Perlu dicatat bahwa dalam spektrum kanan Amerika, telah lama ada arus bawah yang memandang Israel secara negatif.

Sentimen ini umumnya tidak lahir dari simpati terhadap Palestina, tetapi lebih dipengaruhi oleh pandangan isolasionis, atau dalam beberapa kasus, sentimen antisemitik yang terang-terangan. Dua kecenderungan ini kini justru mengalami penguatan.

Salah satu faktor pemicu adalah kembali mencuatnya kontroversi seputar daftar klien Jeffrey Epstein.

Pemangsa seksual berantai yang hubungannya dengan sejumlah elit politik, termasuk Donald Trump, telah mengguncang kembali basis pendukung fanatik sang mantan presiden.

Trump, yang selama ini tampak kebal terhadap berbagai skandal, mulai menunjukkan kerentanan terhadap kasus yang sebelumnya dia gunakan untuk menyerang lawan politiknya.

Sejumlah tokoh berpengaruh di kalangan pendukung Trump pun mulai mengambil jarak darinya, terutama dalam isu Timur Tengah.

Tucker Carlson, mantan komentator Fox News yang dikenal karena retorika rasial dan teori konspirasi antisemitisme—termasuk menyebarkan “Teori Penggantian Besar” yang menuding Yahudi mendorong imigrasi ilegal demi melemahkan “Amerika kulit putih”—belakangan tampil sebagai kritikus keras kebijakan luar negeri Trump.

Puncaknya terjadi saat Trump mengancam, lalu benar-benar melancarkan serangan ke Iran.

Dalam wawancara yang kemudian viral dengan Senator sayap kanan Ted Cruz, Carlson tanpa tedeng aling-aling mengecam keputusan tersebut.

Ia juga mengejek Cruz karena mendukung kebijakan tersebut tanpa memahami konteks Iran. Kritik ini sekaligus menyasar Trump secara langsung.

Tak hanya dari luar lingkaran kekuasaan, suara-suara penentangan juga muncul dari dalam tubuh Partai Republik sendiri.

Marjorie Taylor Greene, anggota Kongres dari Georgia yang dikenal sebagai penganut teori konspirasi, Islamofobia, dan antisemit, secara mengejutkan mengajukan amandemen terhadap RUU Anggaran Pertahanan AS.

Salah satu pasal dalam amandemen tersebut mengusulkan pemotongan dana setengah miliar dolar yang dialokasikan untuk sistem pertahanan rudal Iron Dome milik Israel.

Meskipun usulan ini hanya didukung oleh enam suara di Kongres, kemunculannya dari kalangan pro-Trump menandai perkembangan yang signifikan.

Satu-satunya anggota Republik lain yang mendukung usulan ini adalah Thomas Massie, yang memang bukan sekutu dekat Trump.

Amandemen Greene juga mendapat dukungan dari empat anggota Partai Demokrat yang progresif.

Namun, tidak semua tokoh progresif mendukungnya. Alexandria Ocasio-Cortez, misalnya, menentang amandemen tersebut dengan alasan bahwa Iron Dome bersifat defensif dan menjadi pelindung warga sipil.

Namun, sikapnya ini justru memicu kemarahan dari basis progresifnya sendiri yang menilai bahwa sistem tersebut memberi Israel keunggulan untuk melancarkan serangan tanpa takut akan pembalasan berarti.

Meski akhirnya gagal, kenyataan bahwa usulan pengurangan bantuan militer untuk Israel muncul dari kubu Republik dan mendapat dukungan lintas partai merupakan perkembangan yang tak bisa diabaikan.

Gereja jadi sasaran

Di tengah gelombang kontroversi yang terus membesar, perhatian publik Amerika tersedot oleh serangan pasukan Israel terhadap Gereja Keluarga Kudus (Holy Family Catholic Church) di Gaza City.

Serangan ini merupakan yang keenam terhadap gereja di Gaza sejak 7 Oktober 2023, namun menjadi yang paling menyita perhatian media Amerika.

Beberapa hari sebelumnya, para pemukim Israel menyerang sebuah gereja di Desa Taybeh, Tepi Barat.

Gereja Al-Khader (St. George), yang berasal dari abad ke-5, rusak berat setelah upaya pembakaran oleh kelompok pemukim.

Otoritas Israel bersikap mengambang atas insiden ini dan belum menangkap satu pun pelaku.

Pemerintah mengklaim para pemukim justru berusaha memadamkan api, sementara pelaku pembakaran belum diketahui.

Klaim ini dipandang skeptis oleh banyak pihak, mengingat riwayat panjang kekerasan yang dilakukan pemukim terhadap umat Kristen Palestina.

Yang mengejutkan, bahkan Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee—yang dikenal sangat membela Israel dalam hampir setiap situasi—menyampaikan kecaman tegas atas serangan terhadap gereja-gereja Palestina.

“Tidak peduli apakah itu masjid, gereja, atau sinagoga. Menodai tempat ibadah adalah tindakan yang tak bisa diterima,” ujarnya kepada wartawan.

Namun, pernyataan Huckabee juga menunjukkan standar ganda. Ia tak pernah mengeluarkan pernyataan serupa terkait lebih dari 960 masjid yang telah dihancurkan atau rusak di Gaza hingga Januari 2025.

Meski begitu, serangan terhadap Gereja Keluarga Kudus menggugah emosi sebagian kalangan kanan Amerika.

Tokoh-tokoh konservatif mulai menyuarakan kemarahan dan frustrasi terhadap tindakan Israel, menolak klaim bahwa insiden tersebut hanyalah kesalahan artileri.

Senator Lindsey Graham, salah satu pendukung paling vokal Israel, turut menyatakan keprihatinan.

“Ketika gereja-gereja Kristen dikepung di Gaza dan Tepi Barat, itu harus dihentikan,” katanya kepada Jewish Insider.

Ia memperingatkan bahwa tindakan tersebut bisa melemahkan posisi Israel di mata publik Amerika.

“Kalian tidak membantu perjuangan kalian sendiri jika membiarkan tempat suci Kristen dirusak,” terangnya.

Komentar yang lebih tajam datang dari pengamat konservatif Michael Knowles.

“Kalian kehilangan saya. Pemerintah Israel benar-benar membuat kekacauan. Perang yang mengerikan ini harus dihentikan sepenuhnya,” ujarnya.

Skandal Epstein dan retaknya basis Trump

Retaknya dukungan terhadap Israel di kalangan konservatif juga dipicu oleh kembali mencuatnya skandal Jeffrey Epstein. Pelaku perdagangan seksual anak di bawah umur yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Donald Trump.

Epstein dipenjara pada 2019 dan ditemukan tewas sebulan kemudian dalam sel tahanan, secara resmi disebut bunuh diri, meski banyak yang mencurigai pembunuhan.

Mengingat ia diketahui “memperdagangkan” anak-anak perempuan kepada sejumlah tokoh global berpengaruh, tidak mengherankan jika berbagai teori konspirasi bermunculan, walau sebagian besar tetap tidak terbukti.

Pusat dari kontroversi ini adalah daftar klien Epstein—dokumen yang belum pernah dikonfirmasi keberadaannya, namun menjadi bahan spekulasi publik.

Trump dan sekutunya, seperti pengacara pro-Israel Alan Dershowitz, selama bertahun-tahun menyiratkan bahwa daftar itu berisi nama-nama tokoh Demokrat ternama.

Di sisi lain, lawan politik Trump menunjuk pada foto-foto dan video yang menunjukkan kedekatan pribadi Trump dengan Epstein sebagai indikasi keterlibatan.

Yang memperkeruh situasi, Ghislaine Maxwell—rekan Epstein yang juga dihukum karena kejahatan seksual—merupakan putri dari Robert Maxwell, taipan media asal Inggris yang meninggal secara misterius. Ia juga diduga memiliki keterkaitan dengan badan intelijen Israel, Mossad.

Pemakaman kenegaraan Maxwell di Israel, yang dihadiri para pemimpin senior, hanya menambah lapisan spekulasi mengenai koneksi Epstein dengan Israel.

Kini, keterkaitan ini mulai mendapat perhatian serius di kalangan sayap kanan Amerika.

Media-media konservatif mulai mempertanyakan bagaimana hubungan-hubungan kelam ini berkelindan dengan dukungan membabi buta terhadap Israel.

Segala dinamika ini memperjelas jurang yang kian melebar dalam Partai Republik soal dukungan terhadap Israel.

Jajak pendapat Pew Research pada April 2025 menunjukkan bahwa 50 persen pemilih Republik berusia 18 hingga 49 tahun kini memiliki pandangan negatif terhadap Israel—lonjakan 15 persen dari tahun 2022.

Tentu saja, para penyumbang dana besar dalam Partai Republik seperti Miriam Adelson masih memiliki pengaruh besar dan akan terus mengucurkan dana untuk mempertahankan dukungan terhadap Israel. Namun, dalam politik, uang hanya sekuat suara yang mampu dibelinya.

Netanyahu pernah berjudi. Bahwa jika ia memperkeras pendekatannya terhadap Palestina dan lebih agresif terhadap tetangga Israel, maka dukungan solid dari Partai Republik—didorong oleh lobi pro-Israel di kedua belah pihak—akan cukup untuk menutupi kehilangan simpati dari Partai Demokrat.

Namun, melihat tren yang berkembang saat ini, taruhan tersebut tampaknya menjadi semakin keliru.

*Mitchell Plitnick adalah seorang analis politik dan penulis, adalah presiden ReThinking Foreign Policy dan mengelola buletin serta kanal video Cutting Through di Substack. Bersama Marc Lamont Hill, ia adalah penulis Except for Palestine: The Limits of Progressive Politics. Jabatan Mitchell sebelumnya antara lain sebagai wakil presiden di Foundation for Middle East Peace, Direktur Kantor B’Tselem AS: Pusat Informasi Israel untuk Hak Asasi Manusia di Wilayah Pendudukan, dan Wakil Direktur Jewish Voice for Peace. Tulisan ini diambil dari situs Middleeasteye.net dengan judul “How Isarel is Losing Support from Conservative America”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular