Pada 22 Juli lalu, kapal pesiar Crown Iris milik perusahaan pelayaran Israel, Mano Maritime, dijadwalkan berlabuh di Pulau Syros, Yunani. Kapal itu membawa 1.600 penumpang asal Israel.
Namun, sebelum sempat merapat, pemandangan yang tersaji di dermaga membuat kapten dan para penumpang cemas.
Puluhan warga Yunani telah berkumpul, mengangkat spanduk besar bertuliskan “Hentikan genosida di Gaza” dan meneriakkan yel-yel “Palestina merdeka”. Unjuk rasa itu memaksa kapal mengubah haluan dan batal berlabuh.
Kejadian serupa berulang pada 28 Juli, ketika kapal yang sama mencoba bersandar di Pulau Rhodes.
Kali ini, sekitar 600 penumpang berhasil turun, tetapi dengan pengawalan ketat aparat keamanan.
Di luar pelabuhan, bentrokan terjadi antara demonstran dan polisi. Sejumlah wisatawan Israel sempat menyatakan keyakinan bahwa pemerintah Yunani akan melindungi mereka dari “kebencian” yang mereka hadapi.
Nasib serupa dialami warga Israel di berbagai negara Eropa Barat pada musim panas tahun itu. Potongan video beredar luas di media sosial, menampilkan pemilik restoran yang menolak melayani turis Israel.
Di Italia, seorang perempuan yang menolak pelanggan asal Israel sempat dituduh melakukan tindakan “antisemitisme”, namun kemudian pengadilan menyatakan ia tidak bersalah.
Di Spanyol, seorang pemilik restoran bahkan merekam dirinya saat mengusir sekelompok wisatawan Israel. Dengan nada marah, ia berteriak: “Pergilah ke Gaza, cari makanlah di sana.”
Kehadiran yang tidak diinginkan
Perubahan iklim sosial-politik ini terasa kontras dibanding dua tahun sebelumnya. Setelah serangan 7 Oktober 2023, orang yang membawa bendera Palestina di jalanan Eropa kerap menghadapi risiko besar.
Meski serangan Hamas menjadi sasaran kritik, simpati kepada Gaza maupun Palestina kerap dituding sebagai bentuk pembelaan terhadap kelompok yang dilabeli “teroris” oleh banyak negara Barat.
Kini situasinya berbalik. Setelah hampir dua tahun berlangsungnya perang yang oleh banyak pihak disebut sebagai “perang pemusnahan” Israel di Jalur Gaza, opini publik Eropa bergeser drastis.
Warga Israel kini justru menjadi sasaran kemarahan. Mereka mulai berhati-hati dalam berbicara di ruang publik, takut pada reaksi orang sekitar akibat kebijakan brutal negara mereka di Gaza, mulai dari pembunuhan massal, penghancuran infrastruktur, hingga kelaparan sistematis.
Bendera Israel yang dahulu kerap dikibarkan dengan bangga kini hanya muncul sembunyi-sembunyi.
Narasi “Israel sebagai korban” semakin memudar di mata publik Eropa. Berbagai survei menunjukkan penurunan dukungan yang tajam bagi Israel di benua itu.
Di Inggris, misalnya, sebuah jajak pendapat yang dikutip Wall Street Journal menunjukkan separuh responden dewasa berpendapat Israel memperlakukan warga Palestina sebagaimana Nazi memperlakukan orang Yahudi pada masa Holocaust. Tren serupa terlihat di Spanyol, Irlandia, Italia, Slovenia, bahkan Prancis.
Pergeseran opini ini membuat perjalanan ke Eropa terasa berbahaya bagi orang Israel. Pemerintah di Tel Aviv bahkan memasukkan sejumlah negara Eropa—seperti Spanyol, Italia, Yunani, dan Prancis—ke dalam daftar “tingkat bahaya” level 2 dari skala 4.
Hal itu ditegaskan oleh juru bicara Kedutaan Israel di Prancis, Hen Feder. Dalam wawancara dengan media, ia menyebut bahwa setelah 7 Oktober, pemerintah Israel rutin memberikan panduan khusus bagi warganya di Eropa.
Panduan itu, yaitu, larangan memakai simbol-simbol yang menunjukkan identitas Israel, dan menghindari menghadiri acara-acara besar, serta menjauhi demonstrasi pro-Palestina yang semakin marak di berbagai kota.
Situasi itu semakin jelas terlihat di Paris, yang tahun lalu menjadi tuan rumah Olimpiade. Selama perhelatan olahraga dunia itu, aksi-aksi pro-Palestina tak kunjung reda.
Massa menuntut penghentian perang di Gaza serta menyerukan boikot terhadap Israel di arena Olimpiade.
Poster-poster yang dibawa demonstran menuntut “sanksi terhadap penjahat perang Israel dan penghentian genosida”. Tak sedikit pula yang memprotes kehadiran bendera Israel di Olimpiade.
Sebagian aktivis bahkan mendesak agar atlet Israel hanya boleh bertanding di bawah simbol netral, sebagaimana atlet Rusia dan Belarusia yang dikenai sanksi setelah invasi ke Ukraina.
Gelombang protes serupa merebak di London, Barcelona, dan berbagai kota besar lain di Eropa. Pesannya seragam: warga Israel kini tidak lagi disambut hangat di benua itu. Mereka dianggap sebagai representasi dari negara yang terus melanggengkan kekerasan di Gaza.
Meredupnya simpati terhadap Tel Aviv
Pada 11 Oktober 2014, sembilan tahun sebelum pecahnya serangan “Banjir Al-Aqsa”, harian Times of Israel memuat artikel berjudul “Mengapa Negara-negara Skandinavia Bersikap Dingin terhadap Israel?”.
Artikel itu terbit bertepatan dengan pengumuman Swedia yang berniat mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Langkah Stockholm menimbulkan ketegangan terselubung antara pemerintah Swedia dan Israel.
Di tahun yang sama, Menteri Luar Negeri Denmark Martin Lidegaard menyuarakan perlunya meninjau ulang hubungan dengan Israel, termasuk hubungan dagang, sebagai protes atas agresi Israel ke Gaza pada 2014.
Menteri Luar Negeri Finlandia ketika itu, Erkki Tuomioja, bahkan mendesak agar Israel “dihukum dengan tongkat” lewat tekanan ekonomi, apabila tidak menunjukkan itikad serius dalam menempuh jalan damai.
Beberapa bulan kemudian, Perdana Menteri baru Swedia, Stefan Löfven, menegaskan bahwa konflik Israel-Palestina hanya dapat diselesaikan melalui solusi 2 negara, yang menjamin pengakuan timbal balik dan hak masing-masing pihak.
Ia menekankan bahwa pemerintahnya akan mengakui Palestina—dan janji itu diwujudkan hanya beberapa hari setelah pernyataannya.
Sikap Swedia itu langsung memantik reaksi keras dari Tel Aviv. Danny Ayalon, Wakil Menteri Luar Negeri Israel, menyebut keputusan tersebut sebagai “tidak adil, tidak sah, dan kesalahan politik”.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menambahkan bahwa langkah sepihak semacam itu bukan memperkuat perdamaian, melainkan menghambatnya.
Namun, bagi negara-negara Skandinavia, tragedi di Gaza sudah lebih dari cukup untuk menilai perilaku Israel.
Dalam serangan tahun 2014, Euro-Mediterranean Human Rights Monitor bekerja sama dengan Palestinian Press Agency merilis laporan rinci tentang kerugian manusia dan materiil.
Disebutkan bahwa jumlah korban tewas mencapai 1.742 orang, 81 persen di antaranya warga sipil.
Dari angka itu, 530 adalah anak-anak, 302 perempuan, dan 64 jenazah tidak dapat dikenali akibat hangus terbakar atau rusak parah.
Kendati data kemanusiaan begitu mencolok, laporan Times of Israel kala itu mencoba membingkai sikap kritis negara-negara Nordik hanya sebagai bias politik: karena ada menteri yang berlatar belakang Muslim, atau karena “sentimen anti-Israel”.
Tetapi seiring waktu, satu hal tetap tidak berubah: pola kekerasan Israel terhadap rakyat Palestina.
Hanya caranya yang berkembang, termasuk melalui “pembunuhan dengan kelaparan”. Reputasi Israel pun kian terpuruk di mata publik Skandinavia.
Pada Juli 2025, laman The Danish Dream mempublikasikan hasil survei terbaru yang dilakukan lembaga riset Epinion untuk Radio Nasional Denmark.
Hasilnya menunjukkan 57 persen warga menilai respons Israel terhadap serangan Hamas “berlebihan”.
Angka ini meningkat tajam dibanding sembilan bulan sebelumnya, ketika hanya 45 persen responden yang berpendapat demikian.
Laporan itu menekankan bahwa kritik terhadap Israel tidak lagi terbatas pada ruang diplomasi, tetapi juga merebak dalam acara budaya.
Festival musik Roskilde—salah satu yang terbesar di Eropa—tahun ini menghadirkan musisi dan aktivis yang secara terbuka menyuarakan solidaritas dengan Palestina serta mengecam kebrutalan Israel.
Fenomena serupa juga muncul di Norwegia. Laporan media menyebut bahwa darah yang ditumpahkan Israel di Gaza menumbuhkan gelombang antipati dalam masyarakat Norwegia.
Survei pada awal 2024 menunjukkan 47 persen responden mendukung boikot terhadap Israel, sementara hanya 27 persen yang menentangnya.
Harian Verdens Gang (VG) mencatat, 31 persen warga Norwegia menilai pemerintah mereka belum cukup mendukung rakyat Palestina.
Sementara 37 persen menilai posisi pemerintah—yang tegas mengutuk Israel—sudah tepat.
Sebaliknya, hanya 6 persen responden yang ingin pemerintah Oslo lebih aktif membela Tel Aviv.
Isolasi yang kian menjadi
Kembali ke Yunani, negeri yang tak begitu jauh dari Palestina, yang pernah menyaksikan bagaimana warga Israel berbondong-bondong melarikan diri dari roket perlawanan dengan menumpang kapal pesiar dan kapal perang.
Pada 25 Agustus lalu, situs investigasi asal Prancis Mediapart merilis laporan mengenai kesulitan besar yang dialami wisatawan Israel di Yunani.
Laporan itu menyinggung aksi protes terhadap kapal pesiar Israel yang sempat berlabuh pada 22 Juli.
Salah seorang koordinator kampanye “Greece to Gaza March” mengatakan bahwa aksi-aksi penolakan terhadap Israel semakin meluas di seluruh penjuru negeri.
Mereka mengklaim berhasil menggerakkan puluhan ribu orang di 120 pulau—salah satu mobilisasi pro-Palestina terbesar dalam sejarah modern Yunani.
Tujuannya, kata dia, untuk menyoroti apa yang disebutnya sebagai “kompromi pemerintah Yunani terhadap kejahatan Israel”, serta mencegah negeri itu berubah menjadi “tempat rekreasi bagi tentara pendudukan Israel”.
Perubahan ini tergolong penting. Yunani, yang pernah menjadi sekutu dunia Arab pada masa Perang Dingin, justru dalam satu dekade terakhir menjelma sebagai salah satu mitra terdekat Israel di Uni Eropa.
Hubungan erat itu diperkuat oleh proyek-proyek bersama, terutama setelah memanasnya hubungan dengan Turki di kawasan Mediterania Timur.
Profesor Hubungan Internasional di Universitas Peloponnese, Sotiris Roussos, dalam wawancaranya dengan Mediapart menjelaskan bahwa pemerintah Athena sengaja mendekat ke Israel demi 2 alasan.
Yaitu, mencari jaminan dukungan bila terjadi konfrontasi dengan Turki, serta berharap Tel Aviv bisa menjadi pintu lobi yang efektif ke Washington.
Namun kini, pemerintah Yunani menghadapi tekanan dari sebagian besar rakyatnya, yang tak lagi segan menolak segala bentuk kehadiran Israel di tanah mereka.
Penolakan itu tampak jelas pada Juli lalu, ketika sekelompok demonstran menghadang kapal yang membawa peralatan militer untuk Israel.
Kementerian Urusan Diaspora dan Penanggulangan Antisemitisme Israel bahkan mengeluarkan peringatan resmi tentang “meningkatnya sentimen anti-Israel di Yunani” dan kemungkinan aksi protes berujung bentrokan. Meski demikian, hingga kini tak ada insiden kekerasan yang tercatat.
Situasi serupa juga terasa di Prancis. Negara yang presidennya sempat menjadi pemimpin pertama yang menyerukan pembentukan koalisi internasional untuk menggulingkan Hamas—menyerupai model yang digunakan melawan ISIS—akhirnya mengubah haluan.
Pada September ini, Presiden Emmanuel Macron mengumumkan keputusan negaranya mengakui Palestina sebagai sebuah negara.
Situs Public Sénat, media resmi yang berada di bawah Senat Prancis, melaporkan hasil survei opini publik terkait sanksi terhadap Israel.
Hasilnya mengejutkan: 74 persen responden mendukung pemberlakuan sanksi bila Tel Aviv melanjutkan serangan ke Gaza.
Sementara itu, 63 persen menyatakan mendukung pengakuan resmi terhadap negara Palestina.
Angka ini tergolong signifikan mengingat kuatnya lobi pro-Israel di negeri itu, yang diorganisasi oleh CRIF (Conseil Représentatif des Institutions Juives de France).
Dukungan terhadap sanksi ternyata sangat bervariasi menurut afiliasi politik. Hampir seluruh simpatisan partai sayap kiri radikal La France Insoumise dan kader Partai Sosialis (95 persen) menyatakan setuju.
Angka dukungan mencapai 82 persen di kalangan pemilih Partai Hijau dan Renaissance—partai penguasa yang dipimpin Macron.
Sebaliknya, hanya 59 persen pendukung Rassemblement National (partai sayap kanan jauh pimpinan Marine Le Pen) yang mendukung opsi itu.
Data lain dari survei ini juga memperlihatkan tren menarik. Sebanyak 75 persen responden mendukung penghentian penjualan senjata ke Israel. Sekitar 62 persen menginginkan penangguhan perjanjian dagang Uni Eropa–Israel.
Lalu 58 persen menilai boikot produk Israel sebagai langkah tepat. Bahkan 48 persen setuju Israel dilarang mengikuti ajang olahraga dan seni internasional seperti Eurovision maupun kualifikasi Piala Eropa.
Dukungan terhadap keputusan Macron mengakui Palestina pun cukup tinggi. Survei menunjukkan 63 persen warga berhaluan kiri mendukung langkah tersebut.
Di kalangan kanan dan sayap kanan, dukungan memang turun menjadi 41 persen, namun tetap terbilang besar—hampir setengah responden.
Amarah yang melampaui Eropa
Pew Research Center, lembaga riset opini publik yang berbasis di Washington, dikenal luas sebagai salah satu pusat kajian paling berpengaruh di dunia. Karena itu, hasil surveinya kerap dijadikan rujukan penting dalam membaca perubahan sikap global.
Apa pandangan dunia terhadap Israel menurut Pew? Survei terbaru menunjukkan, di 20 dari 24 negara yang disurvei, sekitar separuh atau lebih penduduk dewasa memiliki pandangan negatif terhadap Israel.
Angka penolakan bahkan mencapai tiga perempat responden di Australia, Yunani, Indonesia, Jepang, Belanda, Spanyol, Swedia, dan Turki.
Situasi berbeda terlihat di India—salah satu mitra dekat Israel. Di negeri itu, opini publik terbelah: 34 persen memiliki pandangan positif, sementara 29 persen menilai sebaliknya.
Sementara di Kenya dan Nigeria, sekitar separuh responden atau lebih cenderung berpandangan positif terhadap Israel.
Ini bukan kali pertama Pew meneliti persepsi global terhadap Israel. Survei-survei sebelumnya, termasuk di Amerika Serikat, memperlihatkan tren serupa.
Antara Maret 2022 dan Maret 2025, jumlah warga AS yang menilai Israel secara negatif meningkat 11 persen.
Pola yang sama muncul di Inggris, di mana kritik terhadap Tel Aviv melonjak dari 44 persen pada 2013 menjadi 61 persen tahun ini.
Survei Pew juga menyinggung sosok Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Tingkat kepercayaan terhadapnya sangat rendah, terutama di Australia, Prancis, Jerman, Yunani, Indonesia, Italia, Jepang, Belanda, Spanyol, Swedia, dan Turki.
Di negara-negara itu, tiga perempat responden atau lebih menyatakan tidak percaya, atau hampir tidak percaya sama sekali.
Ketidakpercayaan tersebut lebih kuat di kalangan anak muda, sementara dukungan relatif lebih tinggi di kelompok yang condong ke kanan.
Sebaliknya, responden yang berhaluan kiri cenderung sama sekali tidak menaruh kepercayaan pada Netanyahu.
Temuan lain yang menarik: semakin banyak warga Israel sendiri merasa bahwa negara mereka kian tidak dihormati di panggung dunia.
Sebanyak 58 persen mengatakan Israel “tidak lagi dihormati, atau sama sekali tidak dihormati” di mata internasional.
Dari sisi politik domestik, 49 persen kalangan kanan Israel masih percaya negaranya dihormati, tetapi angka itu merosot drastis di kalangan kiri, hanya 24 persen.
Hasil survei ini bukan sekadar data kering. Getarannya nyata di jalan-jalan kota Eropa, di alun-alun Amerika, hingga ke Australia.
Pawai besar yang menghimpun puluhan ribu orang pro-Palestina semakin sering digelar, menandai pergeseran opini publik global.
The Washington Post menulis bahwa rangkaian gambar penderitaan Gaza—anak-anak kurus kering, rumah sakit hancur, keluarga yang kehilangan segalanya—menjadi katalis utama yang mengubah opini dunia.
Puncaknya adalah ketika publik menyaksikan antrean panjang rakyat Gaza menunggu bantuan makanan, namun yang mereka dapat hanyalah “tiket menuju maut” alih-alih sepotong roti.
Citra-citra itu mengguncang nurani masyarakat Barat. Israel tak lagi dipandang sebagai negara kecil yang dikepung tetangganya dan mendambakan perdamaian.
Narasi lama itu runtuh. Dunia kini melihat wajah Israel yang sebenarnya: sebuah negara yang tak segan membunuh anak-anak, menebar kelaparan, dan menargetkan orang-orang yang sekadar mencari tepung untuk bertahan hidup.
Mencari narasi yang sebenarnya
Gagasan laporan ini lahir dari sebuah percakapan sederhana di dalam kereta yang melaju dari Bordeaux menuju Paris.
Seorang perempuan Prancis berusia 4 puluhan, sambil berbincang ringan, berkata kepada penulis bahwa ia sudah lama hanya mengenakan anting berbentuk “semangka” sebagai tanda dukungan bagi Palestina.
Obrolan kemudian merambah pada situasi di Prancis, lalu beralih pada kondisi Gaza, dengan segala gambar pilu anak-anak dan warga sipil yang menjadi korban kekerasan.
Perempuan itu menyimpan satu kerinduan: ia ingin memahami cerita ini dari awal, bukan semata dari peristiwa 7 Oktober lalu, melainkan sejak masa nakbah dan bahkan sebelum itu.
Fenomena seperti ini makin sering terdengar di Eropa dan dunia Barat. Warga mulai menaruh perhatian lebih serius pada sejarah panjang konflik Israel-Palestina.
Mereka perlahan mempertanyakan narasi yang selama puluhan tahun ditanamkan: bahwa Israel adalah sekutu yang baik hati, sedangkan Palestina dianggap sumber masalah; bahwa perlawanan rakyat Palestina hanyalah ulah kelompok “teroris jahat”.
Kini, keyakinan lama itu runtuh. Sebab, meskipun Israel terus membanggakan “kemenangannya”—yang dalam praktiknya berarti menghancurkan Gaza dan memusnahkan penghuninya—fakta yang tak terbantahkan adalah Israel sedang menghancurkan modal kepercayaan yang tersisa, bahkan di kalangan sekutu terdekatnya.
Dampaknya sudah terasa di tingkat masyarakat. Gelombang opini publik bergerak cepat, dan perubahan ini hampir pasti akan menekan para pemimpin politik, yang kini pun tengah diguncang masalah sosial dan politik terbesar sejak berakhirnya Perang Dunia II.