Tuesday, May 20, 2025
HomeAnalisis dan OpiniLAPORAN KHUSUS - Hindutva di India, membenci Muslim dan meniru Israel

LAPORAN KHUSUS – Hindutva di India, membenci Muslim dan meniru Israel

Oleh: Ramadan Bursa*

Meskipun konflik Kashmir yang berlangsung sejak 1947 kerap dipandang sebagai akar pertikaian antara India dan Pakistan, akar ideologis yang lebih dalam sesungguhnya terletak pada paham nasionalisme ekstrem Hindutva.

Paham itu kini memengaruhi situasi di dalam negeri India maupun hubungannya dengan negara-negara tetangga.

Kebangkitan Hindutva mencapai titik balik ketika Narendra Modi dan partainya, Bharatiya Janata Party (BJP), yang merupakan wadah utama ideologi tersebut, naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2014.

Sejak saat itu, India menyaksikan meningkatnya kebijakan negara yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas, khususnya Muslim.

Di bawah pemerintahan Modi, kebijakan yang bersifat eksklusif dan meminggirkan ini telah mendorong kelompok nasionalis Hindu untuk secara terbuka menyerang komunitas Muslim.

Revisi Undang-Undang Kewarganegaraan (CAA) yang secara eksplisit mengecualikan Muslim, penerapan Daftar Warga Nasional (NRC) yang merugikan mereka, serta penghapusan Pasal 370 yang menjamin status khusus Kashmir semuanya menjadi indikasi nyata bagaimana Hindutva semakin kuat berakar di negara ini.

Penghapusan pasal tersebut yang bertujuan untuk mengubah komposisi demografis wilayah mayoritas Muslim

Peristiwa penghancuran Masjid Babri—yang dibangun oleh Kaisar Babur—oleh ribuan nasionalis Hindu dengan kapak dan linggis, juga menjadi simbol dari menguatnya ideologi ini di bawah rezim Modi.

Karena itu, saat menilai berbagai persoalan domestik India, konflik India-Pakistan, serta ketegangan di kawasan Asia Selatan, penting untuk melihatnya melalui lensa kekuatan ideologi Hindutva dalam tubuh negara India. Pendekatan ini menghasilkan pemahaman baru yang lebih komprehensif.

Hubungan erat dan strategis antara India dan Israel serta dukungan terbuka Israel terhadap India dalam konflik dengan Pakistan juga menjadi lebih bermakna jika ditinjau melalui akar sejarah dan kesamaan ideologis antara Hindutva dan Zionisme.

Hindutva dan zionisme

Nasionalisme India dapat ditelusuri melalui dua arus besar yang memiliki karakter yang saling bertentangan.

Arus pertama adalah nasionalisme inklusif yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru—yang menekankan pluralisme, demokrasi, dan anti-imperialisme.

Arus kedua adalah Hindutva yang dipelopori oleh Vinayak Damodar Savarkar—tokoh yang secara ideologis bahkan menjadi alasan pembunuhan Gandhi.

Hindutva yang dikembangkan oleh Savarkar membawa watak fasis yang menjunjung tinggi identitas rasial Hindu dan ingin memperluas dominasinya.

Dasar-dasar ideologi ini tertuang dalam buku Savarkar yang terbit pada tahun 1923 berjudul Essentials of Hindutva.

Dalam karya tersebut, Savarkar membedakan antara “Hinduisme” dan “Hindutva”, menyatakan bahwa Hinduisme hanyalah salah satu elemen dari Hindutva.

Menurutnya, Hindutva mencakup seluruh aspek kehidupan dan pemikiran etnis Hindu serta mencerminkan eksistensi total bangsa India.

Savarkar menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap Zionisme dan banyak terinspirasi dari ideologi tersebut saat merumuskan Hindutva.

Dalam berbagai tulisan dan pernyataannya, pengaruh Zionisme terlihat jelas. Ia, misalnya, pernah mengkritik keras pemerintahan Nehru karena tidak mengakui Israel secara resmi.

“Jika esok pecah perang antara India dan Pakistan, hampir semua Muslim akan berpihak pada Pakistan. Namun Israel akan berdiri di sisi kita. Oleh karena itu, India harus segera mengakui Israel,” tulisnya.

Bagi Savarkar, Hindutva harus menjadi benteng terhadap Islam, baik di India maupun di kawasan sekitarnya.

Dalam Essentials of Hindutva, ia menulis dengan nada penuh kebencian terhadap Islam.

“Bertahun-tahun, bahkan berabad-abad telah berlalu. Jazirah Arab bukan lagi milik Arab, Iran telah hancur, Mesir, Suriah, Afghanistan, Baluchistan, Tatarstan—semua bangsa dan peradaban dari Granada hingga Ghazni telah tunduk di bawah pedang damai Islam,” tulisnya.

Hindutva juga mengadopsi konsep mirip “Tanah yang Dijanjikan” seperti dalam kepercayaan Zionisme.

Menurut Hindutva, wilayah suci Hindu bukan hanya India modern, tetapi juga mencakup wilayah selatan Pegunungan Himalaya, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, dan Afghanistan.

Konsep bahwa tanah suci telah diberikan Tuhan kepada kaum tertentu, sebagaimana diyakini oleh Zionisme, juga ada dalam Hindutva versi Savarkar.

Bagi Savarkar, India adalah tanah yang suci, dan hanya tanah inilah yang layak disucikan oleh warga Hindu.

Dalam enam prinsip utama Hindutva yang ia jabarkan, lima di antaranya menekankan bahwa tanah suci orang Hindu hanyalah India dan wilayah sekitarnya seperti Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, dan Afghanistan.

Seseorang yang menganggap tanah di luar wilayah tersebut sebagai suci dianggap tidak memiliki kesadaran ke-Hindu-an.

Bagi Savarkar, hanya orang Yahudi yang bisa memahami kesadaran tinggi semacam itu.

“Di luar orang India, hanya orang Yahudi yang bisa mendekati pemahaman kita tentang kesucian tanah,” tulisnya.

Dalam Essentials of Hindutva, Savarkar secara terang-terangan menyatakan bahwa cita-cita Zionisme harus diwujudkan.

Dengan demikian, ia memasukkan gagasan-gagasan Zionis ke dalam Hindutva dan menjadikannya bagian integral dari prinsip-prinsip ideologis yang ia rumuskan.

Savarkar mengungkap pendekatan ideologisnya dalam bukunya dengan pernyataan berikut:

“Jika suatu hari nanti impian kaum Zionis terwujud, maka kami akan bergembira setidaknya sebesar kegembiraan teman-teman Yahudi kami. Sebagaimana kaum Muslim berhasil menegakkan kekuasaan mereka atas tanah suci mereka (Mekah dan Madinah), maka kaum Yahudi pun akan mengelola tanah suci mereka. Unsur-unsur yang berbeda dan tidak kompatibel merupakan ancaman bagi masa depan dan kesatuan India.”

Dalam konteks kontemporer, kedekatan hubungan antara India dan Israel di bawah pemerintahan Narendra Modi didasarkan pada kesamaan ideologis—yakni pengaruh Zionisme dalam Hindutva.

Ini menjadi kunci untuk memahami mengapa konflik India-Pakistan, problematika internal India, dan berbagai ketegangan regional sering berakar pada dominasi ideologi Hindutva dalam lanskap politik India.

Sejarah hubungan Israel dengan kelompok nasionalis India

Hubungan diplomatik India-Israel semula berlangsung dingin dan penuh ketegangan sejak India mengakui Israel sebagai negara pada 1950-an hingga awal 1990-an.

Selama periode tersebut, Israel hanya diwakili oleh konsulat di India. Sementara pemerintah India condong pada kebijakan yang sejalan dengan negara-negara Arab, termasuk dalam posisi diplomatik di forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Salah satu insiden yang memperburuk hubungan terjadi ketika Konsul Israel untuk India, Yosef Hassi, mengkritik pemerintah India dalam sebuah wawancara media karena dukungannya terhadap negara-negara Arab.

Pemerintah India merespons dengan menyatakannya sebagai persona non grata.

Selain itu, India kerap mempersulit wisatawan asal Israel, bahkan menolak pemberian visa bagi warga Israel yang hendak menghadiri konferensi internasional yang diadakan di India.

Hal ini terungkap dalam laporan Kementerian Luar Negeri Israel pada 1985 yang kemudian dipublikasikan oleh surat kabar Haaretz.

Dalam menghadapi hubungan resmi yang kurang harmonis dengan pemerintah India, Israel memilih mendekati kelompok-kelompok nasionalis Hindu.

Salah satu relasi yang menarik perhatian adalah hubungan dengan partai radikal Hindu Mahasabha.

Setelah menjalin kontak dengan cabang partai tersebut di Paris pada akhir Desember 1973, konsulat Israel di India dikunjungi oleh sosok tak terduga: Gopal Godse, saudara laki-laki dari pembunuh Mahatma Gandhi, Nathuram Godse.

Gopal sendiri pernah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena keterlibatannya dalam konspirasi pembunuhan tersebut, sebelum dibebaskan pada 1965.

Hubungan Israel dengan Bharatiya Janata Party (BJP), yang kini dipimpin oleh Modi, juga bermula sejak dekade 1970-an.

Saat itu, diplomat dan anggota parlemen Israel mengadakan serangkaian pertemuan dengan BJP.

Selain BJP, Israel juga membina hubungan erat dengan organisasi Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), kelompok paramiliter kanan yang juga menjadi rumah ideologi Hindutva dan tempat Modi mengawali karier politiknya.

Diketahui bahwa Israel tidak hanya mendukung aktivitas RSS, tetapi juga ikut mendanainya.

Kelompok kanan lainnya yang menjalin kedekatan dengan Israel adalah Vishwa Hindu Parishad (VHP), atau Dewan Hindu Sedunia, yang juga mengusung ideologi Hindutva. Hubungan ini mulai berkembang pada era 1980-an.

Sementara itu, hubungan diplomatik resmi India-Israel baru mulai membaik pada dekade 1990-an.

Namun, jejak hubungan informal dan ideologis Israel dengan kelompok sayap kanan India yang mengusung Hindutva telah dimulai jauh sebelumnya, sejak 1970-an.

Relasi ini terus berkembang dan mengalami percepatan signifikan ketika Narendra Modi—seorang tokoh RSS dan pengusung Hindutva—menjadi perdana menteri pada tahun 2014.

Puncak simbolis dari kedekatan ini terjadi pada 2017, ketika Modi melakukan kunjungan resmi ke Israel sebagai perdana menteri India.

Kunjungan itu menjadi tonggak sejarah penting karena merupakan yang pertama kalinya seorang kepala pemerintahan India berkunjung ke Israel.

Bukan hanya menandai pergeseran geopolitik, tetapi juga mempertegas keterhubungan ideologis antara dua negara yang diikat oleh visi nasionalisme eksklusif: Hindutva dan Zionisme.

*Ramadan Bursa adalah jurnalis dan peneliti Turki yang mengkhususkan diri dalam urusan Iran. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Yakrahūn al-Muslimīn wa Yaqtadūn bi Isrāīl, Mā Hiya ‘al-Hindūtfā’ al-Hindiyyah?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular