Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan sebuah operasi militer yang disebut “luar biasa” terhadap pasukan Israel di sebelah tenggara Khan Younis, Rabu (21/8) pagi waktu Gaza.
Operasi itu melibatkan satuan setingkat peleton infanteri—sekitar 15 hingga 20 pejuang—yang menyerang posisi militer baru Israel di kawasan tersebut.
Serangan itu berakhir dengan aksi seorang pejuang yang meledakkan dirinya di tengah kelompok tentara Israel.
Waktunya bertepatan dengan persetujuan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, atas rencana operasional untuk sepenuhnya menduduki Jalur Gaza serta menegakkan kontrol keamanan militer di wilayah itu.
Konteks serangan ini memberi gambaran baru: pertempuran langsung antara kelompok perlawanan Palestina dengan pasukan Israel di area yang selama berbulan-bulan telah berada di bawah kendali militer Tel Aviv.
Serangan di area “aman”
Operasi berlangsung di wilayah Al-Fukhari, yang terletak di perbatasan timur Khan Younis dan Rafah, kurang dari dua kilometer dari pagar pemisah Gaza-Israel.
Sejak awal perang, kawasan itu dijadikan “zona penyangga” oleh militer Israel, dengan kebijakan bumi hangus untuk mencegah kemungkinan serangan. Karena itu, serangan kali ini dipandang mengejutkan.
Sumber lapangan yang dikutip Al Jazeera menyebutkan, keterlibatan satu peleton penuh menunjukkan skala perencanaan yang matang.
Target operasi tidak hanya membunuh sebanyak mungkin tentara Israel, tetapi juga membuka peluang untuk menangkap mereka.
Hal ini juga memperkuat dugaan bahwa Hamas masih menyimpan jaringan terowongan ofensif di area yang dikuasai Israel, meski selama berbulan-bulan militer Israel mengklaim telah menetralkannya.
Dalam keterangan resminya, Al-Qassam menyebut bahwa pasukannya berhasil menyerang beberapa tank tempur “Merkava 4” dengan menggunakan bahan peledak jenis “shawaz”, roket antitank “Yasin 105”, serta serangan bunuh diri.
Setelah itu, mereka membombardir rumah-rumah yang dijadikan tempat perlindungan tentara Israel dengan enam proyektil anti-bunker, disertai tembakan senapan mesin berat.
Pejuang Hamas lalu masuk ke dalam rumah-rumah tersebut dan menewaskan sejumlah tentara dari jarak sangat dekat menggunakan senjata ringan dan granat tangan. Seorang komandan tank Merkava dilaporkan tewas akibat tembakan sniper.
Untuk menutup jalur bantuan, pasukan Al-Qassam menembakkan mortir ke area sekitar. Bahkan, saat pasukan penyelamat Israel tiba, seorang pejuang meledakkan dirinya, menimbulkan korban tewas dan luka.
Serangan itu berlangsung berjam-jam, dengan helikopter Israel terlihat bolak-balik mengevakuasi korban.
Media Israel, termasuk saluran Kan, menyebut insiden itu sebagai peristiwa “belum pernah terjadi sebelumnya” sejak pecahnya perang hampir dua tahun lalu.
Mereka menduga kelompok penyerang menggunakan mulut terowongan yang masih tersisa di dekat posisi militer Israel.
Menurut media itu, tujuan utama serangan bukan sekadar menimbulkan korban, melainkan juga untuk menembus pertahanan dan bahkan berupaya menculik tentara Israel—skenario yang sangat ditakuti oleh militer Tel Aviv.
Pesan untuk semua pihak
Serangan Al-Qassam di Khan Younis, menurut penulis sekaligus analis politik Wisam Afifah, menunjukkan suatu sistem taktik yang utuh.
Mulai dari penyerbuan posisi, penahanan pasukan lawan, mengacaukan upaya penyelamatan, hingga penarikan mundur pasukan penyerang. Rangkaian itu menggambarkan kapasitas lapangan yang tidak sederhana.
Afifah, dalam pernyataannya kepada Al Jazeera, menilai bahwa pilihan target terhadap sebuah pos militer yang baru dibangun mengandung makna penting.
Artinya, militer Israel tengah memperluas penempatan pasukan di wilayah itu. Namun, sebelum sistem baru tersebut sempat mengakar, perlawanan berhasil mengujinya.
Selain itu, sekaligus meruntuhkan asumsi bahwa “penataan kembali posisi” akan menjamin kontrol yang lebih mulus di medan tempur.
Dari sisi waktu, operasi itu terjadi hanya beberapa jam sebelum kabinet perang Israel dijadwalkan bersidang untuk merespons persetujuan Hamas terhadap proposal Mesir-Qatar. Afifah melihat adanya tiga pesan jelas yang hendak disampaikan:
- Kepada publik Palestina: menerima jalur politik tidak berarti menghentikan aksi perlawanan.
- Kepada Israel: biaya eskalasi militer tetap tinggi, bahkan di titik-titik pos baru.
- Kepada para mediator: tidak ada kekosongan di medan keamanan, dan kartu tekanan militer masih relevan.
Afifah menekankan, operasi ini tak hanya berdampak militer, tetapi juga mengguncang ranah politik Israel.
Serangan semacam itu, menurutnya, memberi militer alasan tambahan untuk mengingatkan risiko invasi darat jangka panjang di Gaza.
Di sisi lain, kelompok “elang politik” dalam pemerintahan Israel justru mendorong respons yang lebih keras.
Kondisi itu memperdalam dilema Perdana Menteri Benjamin Netanyahu: melanjutkan perang tanpa kesepakatan, atau menerima gencatan senjata yang akan dinilai sebagai bentuk konsesi.
Afifah juga menambahkan, serangan besar yang terjadi menjelang sidang kabinet memperkuat gelombang protes keluarga tawanan Israel.
Mereka menuduh pemerintah membahayakan keselamatan kerabatnya dengan menunda kesepakatan pertukaran, sebuah kritik yang dalam beberapa jam terakhir muncul secara terbuka.
Serangan multi-tujuan
Peneliti isu keamanan dan militer, Rami Abu Zubaida, menilai operasi Al-Qassam di Khan Younis sebagai sebuah “serangan lapangan yang terorganisasi”, dengan sasaran lebih dari satu target sekaligus.
Dalam serangan itu, berbagai jenis senjata dan taktik digunakan. Hal ini, menurutnya, menunjukkan tekad para pejuang untuk menimbulkan kerugian terbesar di pihak militer Israel, bahkan ketika pasukan penyelamat dikerahkan.
Kepada Al Jazeera, Abu Zubaida menegaskan bahwa skala dan kompleksitas operasi, setelah 2 tahun perang tanpa henti, menegaskan satu hal.
Yaitu, struktur tempur perlawanan masih aktif dan mampu melakukan inisiatif, meski seharusnya dalam kondisi kelelahan.
Menurut Abu Zubaida, operasi ini memuat sejumlah pesan penting:
- Bukan tindakan acak. Serangan dilakukan dengan metodologi tempur yang menyeluruh, memadukan berbagai senjata—mulai dari antitank, sniper, infanteri, mortir, hingga aksi bom bunuh diri.
- Mengacaukan militer Israel. Selain jatuhnya korban, operasi ini memaksa Israel mengerahkan upaya tambahan, termasuk intervensi udara dan helikopter dalam skala besar.
- Membongkar narasi “keamanan penuh”. Dengan mampu menembus pertahanan, bertarung langsung di garis depan, dan menghantam titik-titik pertahanan, perlawanan menunjukkan bahwa dominasi udara dan teknologi Israel tidak menjamin keamanan mutlak.
- Dampak psikologis mendalam. Peristiwa kontak jarak dekat—tewas dan luka dari jarak nol meter, ditambah ledakan bunuh diri di tengah tim penyelamat—meninggalkan trauma bagi tentara. Pada level politik, hal ini memperbesar tekanan terhadap kepemimpinan Israel yang sebelumnya menjanjikan berakhirnya ancaman dari Gaza.
- Doktrin “perang pengurasan”. Operasi ini menampilkan pola berulang dari strategi perlawanan: menyerang, menguras, lalu mundur. Pesannya jelas, tidak ada wilayah di Gaza yang benar-benar aman bagi pasukan Israel.