Hampir satu tahun lalu, tepatnya pada 7 Oktober, penjajah Israel mulai melancarkan Tindakan genosida di Jalur Gaza, Palestina. Tindakan brutal ini dilakukan penjajah Israel usai gabungan faksi perlawanan bersenjata Palestina yang dipimpin Hamas meluncurkan Operasi Taufan Al-Aqsha yang berhasil memukul kekuatan penjajahan.
Sejak saat itu, Netanyahu telah sesumbar untuk menduduki Gaza dan melumpuhkan Hamas. Kedua klaim ini hingga tulisan ini dibuat gagal diwujudkan oleh Tel Aviv.
Sebaliknya, faksi perlawanan Hamas Bersama kelompok lainnya mampu meladeni kekuatan penjajahan yang didukung oleh persenjataan canggih dan dukungan finansial yang diberikan oleh Amerika Serikat.
Alih-alih menaklukan Gaza, video-video tantara Israel yang bertumbangan oleh kekuatan Brigade Izzudin Al-Qassam, sayap militer Hamas, bertebaran di lini media sosial dan dunia maya. Kepala Departemen Politik Hamas di Jalur Gaza, Bassem Naem, menyatakan kelompoknya berhasil memecahkan mitos tak terkalahkan tantara Israel.
Tak puas karena kegagalannya menaklukan Hamas dan menyumbat kemerdekaan Palestina, Israel melakukan taktik bumi hangus di Jalur Gaza. Ribuan nyawa melayang, khususnya anak-anak dan Wanita. Jurnalis, petugas medis, hingga staff PBB ikut meregang nyawa.
Memasuki hari ke-359 genosida Gaza, Kementerian Kesehatan Palestina mencatat sebanyak 41.615 warga Gaza gugur dan hampir 100.000 orang terluka. Selain itu, sebanyak 11.000 orang masih hilang. Ekskalasi pun kini mulai merambah ke kawasan usai pasukan penjajahan mulai melakukan serangan ke Lebanon dan Yaman.
Data dari Oxam juga menunjukkan lebih dari 25.000 anak telah kehilangan orang tua atau menjadi yatim piatu. Banyak juga dari mereka yang menderita cedera dan cacat permanen.
Menurut Komite Internasional untuk Pembela Hak-Hak Rakyat Palestina (Hashd), penjajah melakukan lebih dari 4.650 pembantaian terhadap warga sipil selama perang. Sebagian besar menjadi sasaran di dalam rumah atau di pusat-pusat penampungan.
Arogansi penjajahan telah melahirkan kecaman di mana-mana. Aksi demonstrasi mengutuk kebengisan Israel meletus di mana-mana. Mahkamah Internasional alias International Court Justice di Den Haag pada 19 Juli 2024, menegaskan pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah aneksasi de facto yang melanggar hak-hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
Konflik yang sedang berlangsung telah memicu kecaman luas atas pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Warga sipil telah berulang kali mengungsi, sering kali ke daerah-daerah yang kemudian dibom.
Menurut sebuah studi yang diterbitkan di The Lancet, korban yang terkubur di bawah reruntuhan, bersama dengan mereka yang meninggal karena kelaparan atau terhentinya layanan kesehatan, dapat mendorong jumlah korban tewas melebihi 186.000 jiwa.
Sementara itu, krisis kemanusiaan terus meningkat. Lebih dari 25.000 anak telah kehilangan orang tua atau menjadi yatim piatu, dengan banyak juga yang menderita cedera dan cacat yang mengubah hidup. Perempuan, yang terkena dampak secara tidak proporsional, sekarang memimpin rumah tangga di tengah kehancuran, sementara ibu hamil dan menyusui berjuang untuk bertahan hidup di tengah sistem perawatan kesehatan yang gagal.
Dunia gagal ambil tindakan
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia Hasbi Aswar Ph.D menjelaskan mengapa genosida Gaza terjadi secara berlarut-larut karena dunia tidak mengambil langkah efektif untuk menghentikan kekejaman Israel.
Padahal, kata dia, sebenarnya peluang dan landasan hukumnya sudah jelas. Dari sisi peluang, mayoritas negara di PBB sudah mengecam Israel. International Justice Court dan International Criminal Court juga sudah mengeluarkan pernyataan hukumnya yang menentang Israel.
“Artinya, sisa political will yang perlu didorong untuk mengambil sikap terhadap Israel lebih tegas, seperti misalnya serempak melakukan embargo, atau intervensi militer,” kata dia kepada Gaza Media.
Namun, lanjut Hasbi, karena hal ini urung dilakukan oleh negara-negara internasional. Alih-alih melakukan Tindakan nyata, mereka masih berkutat sebatas kecaman.
“Bahkan negara-negara kuat sibuk beretorika membuat genosida ini menjadi berlarut-larut,” jelasnya.
Hasbi mengatakan mengapa Israel terus melakukan genosida karena sampai saat ini Israel belum betul-betul bisa mengalahkan Hamas. Di tambah lagi ancaman semakin meningkat dari sisi utara oleh Hizbullah, termasuk Houthi dari Yaman.
“Kelihatannya Israel sangat geram dan frustasi setelah membunuh Ismail Haniyah dan mengancam Iran, eskalasi serangan dari Hizbullah tdk menurun,” jelas dia.
Selain itu, Hasbi menilai bantuan militer dari AS masih konsisten yang membuat Israel terus percaya diri untuk melakukan genosida.
Dia juga menyoroti tumpulnya hukum internasional untuk menghentikan genosida Gaza.
“Hukum internasional itu berfungsi jika ada tindak lanjutnya. Yang menjadi soal selama ini jika terkait dengan negara-negara besar atau di-back-up oleh negara besar,” jelas dia.
“Tidak ada yang berani mengambil langkah efektif untuk menegakkan hukum atau norma tersebut. kecuali pelakunya negara-negara lemah biasanya barulah hukum itu bisa digunakan,” tambahnya,
Menurut Hasbi, ada dua hal mengapa Netanyahu memperluas serangannya ke Lebanon dan Yaman.
Pertama, untuk menjaga legitimasi internal Netanyahu yang kian redup. Kedua, sebagai ancaman kepada pihak-pihak lain di kawasan untuk tidak berani bertindak terhadap Israel.
“Dan Israel ingin menunjukkan bahwa Israel adalah negara terkuat di kawasan yang bisa melakukan serangan kepada siapapun,” jelas Hasbi.
Kemenangan kemanusiaan
Sementara itu, pakar Timur Tengah juga mengatakan meski satu tahun genosida Israel di Gaza menghasilkan kehancuran dahsyat, dan puluhan ribu korban jiwa, dukungan global untuk Palestina semakin kuat dari hari ke hari.
“Ini menunjukkan bahwa rasa kemanusiaan masih menang di atas kekuatan politik dan militer,” kata Ryantori, Pakar Timur Tengah Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) kepada Gaza Media pada Selasa (1/10).
Menurut Direktur Eksekutif the Indonesia Society for Middle East Studies (ISMES) ini, Israel memang terlihat tidak berhenti menyerang Palestina khususnya wilayah Gaza.
Tapi hal ini dilakukan lebih kepada rasa frustrasi rezim Netanyahu yang semakin kehilangan dukungan dari domestik Israel sendiri.
“Untuk menyatukan kembali rasa ke-Israel-an segenap rakyat Israel, kartu perang dimainkan, bahkan dengan eskalasi yang semakin meningkat. Tidak hanya terbatas pada Gaza, namun sekarang meluas ke Lebanon dan Yaman,” ucap Ryantori.
Dia menambahkan ada konsekuensi besar yang harus ditanggung penjajah akibat tindakannya.
Hal itu akan menuntut Israel mengeruk anggaran militernya secara habis-habisan yang dapat merembet pada kondisi keuangannya.
“Ini akan berdampak sangat buruk bagi rezim Netanyahu jika kelak Israel kalah. Oleh sebab itu, Netanyahu sepertinya akan benar-benar all out dalam hal ini,” papar Ryantori.
Ryantori menerangkan dunia internasional melalui PBB sebenarnya tidak tinggal diam atas genosida yang dilakukan Israel.
“Sudah banyak resolusi dan kecaman dilontarkan agar Israel segera menghentikan serangannya. Yang terbaru adalah meminta agar dalam waktu satu tahun Israel keluar dari wilayah Palestina yang didudukinya,” jelas Ryantori.
Namun, kata dia, memang sepertinya hukum internasional terlihat tumpul ke arah Israel. Tidak ada tindakan represif yang nyata sejauh ini atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Israel.
Kata Ryantori, Eropa khawatir sanksi dan hukuman yang masif atas Israel akan membawa eksodus bangsa Yahudi ke Eropa.
“Ini seperti membuka luka lama kembali di era abad ke-20 lalu di Eropa yang tentu sangat mereka hindari,” jelas Ryantori.
Situasi medis memburuk
Lembaga medis non-profit asal Indonesia Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) mengatakan, menjelang setahun aksi genosida Israel, kondisi Jalur Gaza semakin memburuk.
Anggota Presidium MER-C dr. Sarbini Abdul Murad mengatakan, selain jumlah korban terus bertambah, pelayanan rumah sakit juga kian memburuk.
“Tapi MER-C tetap melakukan pengirim tim medis secara bergelombang. Dan sekarang sudah gelombang ke 6,” kata Sarbini via wawancara telepon dengan Gaza Media, Selasa (1/10).
Sarbini mengatakan tim medis MER-C harus melayani pasien dengan kondisi seadanya.
Kata Sarbini, tim medis gelombang ke-6 melakukan pelayanan medis di Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya, Gaza Utara.
“Mereka beroperasi dengan peralatan medis yang minimum,” kata Sarbini.
Sarbini menungkapkan kebutuhan medis di sana sangat mendesak. Mulai dari tenaga kesehatan serta obat-obatan.
“Selain itu, instrumen bedah dan peralatan penunjang lain seperti laboratorium dan rontgen, serta listrik juga sangat diperlukan,” jelas Sarbini.
Sarbini menjelaskan hingga saat ini ancaman dari Israel untuk terus menduduki Rumah Sakit Indonesia di Gaza.
“Ancaman selalu ada. Dentuman tembakan sering terdengar. Tak jauh dari rumah sakit kami,” jelas dia.
Meski begitu, Sarbini tetap menginstruksikan timnya di Rumah Sakit Indonesia di Gaza untuk tetap bertahan.
“Kami minta kepada teman2 untuk tidak keluar dari rsi kalau pun keluar mesti dengan konvoi WHO,” jelasnya.
Seperti diketahui pada Desember tahun lalu, penjajah Israel menduduki Rumah Sakit Indonesia dan menjadikannya sebagai markas militer di tengah perang yang terus terjadi di jalur Gaza.
MER-C pun membantah tuduhan militer Israel bahwa Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Palestina menjadi tempat persembunyian dan pusat operasi serta penyimpanan logistik militer pasukan Hamas.