Perang yang meletus antara Israel dan Iran pada Juni 2025 menjadi sorotan besar para pengambil kebijakan di Ankara.
Bagi Turki, konflik ini bukan sekadar bentrokan antara dua musuh lama, melainkan ujian lapangan pertama bagi peta kekuatan baru di Timur Tengah pasca serangan 7 Oktober 2023.
Hal itu sekaligus contoh nyata dari perang modern yang menggabungkan operasi siber, serangan udara, perang psikologis, dan manuver diplomatik.
Yang membuat perang ini lebih penting bagi Turki adalah posisinya sebagai peringatan dini atas potensi ancaman serupa di lingkungan regional yang rawan.
Para analis pertahanan di Ankara mempelajari jalannya perang dengan cermat, mencari pelajaran yang dapat memperkuat kapasitas pertahanan dan daya tahan negara jika kelak menghadapi krisis serupa.
Nilai strategis perang ini terletak pada hasil akhirnya, cara pengelolaannya, jenis senjata yang digunakan, dukungan dari sekutu, hingga kesiapan sistem pertahanan sipil menghadapi guncangan tak terduga.
Konflik yang dimulai dengan serangan udara presisi Israel, diiringi operasi siber dan perang psikologis, lalu diakhiri dengan serangan langsung Amerika Serikat (AS) ke fasilitas nuklir Iran, menjadi laboratorium terbuka bagi generasi baru perang multidimensi.
Bagi Ankara, perang ini ibarat lonceng peringatan. Posisi geografis Turki yang strategis—terletak di jantung “cincin api” dari Mediterania Timur, Kaukasus, Balkan, hingga Timur Tengah—membuatnya rentan terhadap konflik yang meniru pola operasi serupa.
Yaitu, erangan mendadak, eliminasi tokoh kunci, dan penghancuran infrastruktur vital.
Tak heran, militer dan aparat keamanan Turki memantau jalannya pertempuran dari awal hingga akhir, lalu menyusun evaluasi strategisnya.
Salah satu kajian mendalam dipublikasikan oleh Akademi Intelijen Nasional Turki dalam laporan berjudul “Perang 12 Hari dan Pelajaran bagi Turki”.
Israel uji model dominasi multidimensi
Laporan tersebut menganalisis perang yang pecah pada 13 Juni 2025, ketika Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke fasilitas nuklir, pusat komando, tokoh militer, dan ilmuwan nuklir Iran.
Operasi itu dibarengi serangan siber dan intelijen rumit, serta aksi infiltrasi agen di darat yang meluncurkan rudal Spike untuk menghancurkan radar dan baterai pertahanan udara sejak hari pertama—membuat Iran kesulitan membangun pertahanan terpadu.
Dalam 24 jam pertama, lebih dari 200 pesawat tempur—termasuk F-35, F-15, dan F-16—dikerahkan untuk menghancurkan target di jarak lebih dari 1.500 kilometer, menegaskan kesiapan udara Israel di level tertinggi.
Israel juga memanfaatkan pasukan khusus di wilayah Iran dan drone kamikaze untuk melumpuhkan pertahanan udara, yang dalam 72 jam menyebabkan runtuhnya hampir seluruh jaringan pertahanan udara Iran.
Dominasi udara ini membuka jalan bagi AS mengerahkan pembom strategis B-2 Spirit guna menghantam fasilitas nuklir bawah tanah di Isfahan dan Qom.
Iran membalas dengan serangan rudal balistik—sebagian berkecepatan hipersonik—dan drone tempur.
Meski sebagian besar berhasil dicegat oleh pertahanan Israel dengan bantuan AS dan sejumlah negara regional, beberapa rudal lolos dan menghantam Tel Aviv, Haifa, dan Beersheba.
Perang ini juga sarat perang psikologis. Israel meretas jaringan komunikasi Iran, menyebar pesan ancaman palsu kepada warga, bahkan menghubungi pejabat senior untuk menyarankan mereka melarikan diri.
Sebaliknya, Iran memanfaatkan disinformasi, teknologi deepfake, dan operasi bot untuk mempengaruhi opini publik lawan.
Operasi psikologis itu disertai serangan siber yang menargetkan infrastruktur keuangan dan media Iran.
Beberapa bank diretas, memicu kepanikan finansial; ATM dan kartu kredit lumpuh; bahkan dana senilai 81,7 juta dolar AS dicuri dari platform aset kripto Nubitex.
Perang dan integrasi kekuatan udara, siber, dan diplomasi
Konflik yang berlangsung telah membuka gambaran tentang model operasi terpadu lintas-matra.
Di samping pertempuran di medan darat, strategi yang dijalankan mengandalkan perpaduan kekuatan udara, siber, intelijen informasi, dan diplomasi.
Israel memamerkan superioritas kekuatan udaranya melalui armada pesawat tempur mutakhir buatan AS yang memiliki daya hancur tinggi dan jangkauan jauh berkat tangki bahan bakar tambahan.
Jet tempur F-35 menjadi ujung tombak serangan presisi, dibantu pesawat intai dan pengacau elektronik seperti Oron dan Shavit, yang memastikan dominasi hampir mutlak di langit Iran pada jam-jam pertama konflik.
Perang ini menegaskan arti vital kekuatan udara dalam konflik berskala tinggi, terutama bagi negara yang tidak memiliki perbatasan darat dengan lawannya. Keunggulan tersebut memungkinkan perang dipindahkan langsung ke wilayah lawan.
Yang patut diperhatikan oleh Turki adalah kemampuan Israel menggabungkan armada tersebut dengan sistem buatan dalam negeri,
Sistem itu seperti Elisra SPS-3000 untuk perang elektronik, PAWS sebagai sistem peringatan rudal, Elta SATCOM, serta sistem navigasi presisi rancangan Rafael. Semua itu dilengkapi amunisi pintar dan sistem penuntun taktis waktu nyata.
Kekuatan ini diperkuat lagi dengan pesawat perang elektronik khusus, seperti Eitam untuk peringatan dini dan kendali udara, Shavit, serta Oron untuk intelijen elektronik.
Pesawat-pesawat ini memungkinkan penyadapan komunikasi Iran, pemantauan frekuensi radar, dan pelacakan emisi elektromagnetik.
Begitu radar pertahanan udara atau pusat komando Iran diaktifkan, posisinya terdeteksi, diikuti penghancuran.
Bahkan, pesawat ini mampu memancarkan sinyal palsu untuk mengelabui radar lawan, menutupi posisi sendiri, atau menciptakan target semu.
Dengan cara ini, armada tersebut berfungsi sebagai “pengganda kekuatan” yang bekerja dalam diam.
Selama perang, jet tempur Israel dan unit perang elektronik mengoperasikan pemancar pengacau berdaya tinggi untuk melumpuhkan komunikasi radio.
Laporan juga menyebutkan penggunaan drone bunuh diri untuk menghancurkan antena komunikasi atau stasiun pemancar ulang yang digunakan pasukan Iran di medan tempur.
Akibatnya, sejumlah unit Iran terputus dari komando pusat dan para komandannya terpaksa mengambil keputusan sendiri tanpa arahan strategis.
Dari sisi siber, serangan dilancarkan sejak jam-jam awal. Jaringan komando dan kendali Iran dilumpuhkan, infrastruktur keuangan dibobol, dan pesan-pesan menyesatkan disebarkan ke ponsel warga maupun pasukan.
Unit elite seperti Unit 8200 dan Batalion 5114 melancarkan operasi gabungan yang mengacaukan jalur komunikasi dan koordinasi internal Iran secara luas.
Studi yang memotret peristiwa ini menekankan pentingnya pukulan pertama dalam perang modern.
Keberhasilan tempur sangat bergantung pada kemampuan mengintegrasikan unsur udara, darat, laut, luar angkasa, dan siber secara terkoordinasi.
Pesawat tempur berawak jarak jauh tetap tak tergantikan, menjadi titik acuan dalam perencanaan masa depan kekuatan udara maupun gabungan.
Model operasi Israel bertumpu pada perpaduan teknologi mutakhir, personel terlatih, struktur komando yang luwes, dan integrasi intelijen.
Sebaliknya, pertahanan udara Iran yang bersifat statis, terpusat, dan kurang adaptif, terbukti rentan dihadapan serangan semacam itu.
Dimensi diplomasi dan koalisi kekuatan
Konflik ini juga menyoroti ketergantungan Tel Aviv pada payung politik Barat. AS turut serta menyerang instalasi nuklir Iran, menyuplai senjata dan amunisi, sementara Inggris, Prancis, dan Jerman memberikan informasi intelijen serta dukungan logistik.
Bagi Iran, meski mengandalkan hubungan dengan China dan Rusia, kenyataannya negara itu terisolasi.
Tidak ada perlindungan diplomatik, keamanan, maupun bantuan militer nyata dari negara-negara yang dianggap sekutu.
Hal ini menunjukkan bahwa kemitraan Beijing–Moskow–Teheran masih jauh dari membentuk mekanisme keamanan yang solid.
Salah satu pelajaran penting adalah menyadari dimensi regional dari aliansi. Israel, misalnya, memanfaatkan Siprus sebagai kedalaman strategis, yang semestinya menjadi perhatian Ankara.
Kehadiran Israel di lingkar perbatasan langsung Turki, termasuk di wilayah Republik Turki Siprus Utara, menjadi isu keamanan nasional yang tak bisa diabaikan.
Berdasarkan temuan tersebut, studi ini merekomendasikan agar Turki memandang keamanan nasional secara menyeluruh.
Pendekatan itu tidak sebatas pada pengembangan industri pertahanan atau perjanjian militer, melainkan juga memperkuat aliansi dengan negara lain, terutama AS, serta sahabat strategis seperti Pakistan, Suriah, Qatar, dan Azerbaijan.
Di saat yang sama, ketahanan internal perlu diperkuat melalui pemeliharaan harmoni sosial.
Inisiatif seperti program “Turki Bebas Terorisme” pun mendapatkan makna tambahan, yakni sebagai instrumen memperkokoh daya tahan negara dan menutup celah yang bisa dimanfaatkan pihak luar dalam konflik di masa depan.
Evaluasi strategis
- Kebutuhan akan kekuatan udara multi-matra
Perang 12 hari menunjukkan bahwa dominasi udara tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi atau jumlah armada pesawat tempur.
Kunci keberhasilan terletak pada integrasi antara platform udara, sistem pintar, dan kemampuan penyerangan yang didukung intelijen.
Bagi Turki, kemajuan di bidang pesawat nirawak patut diapresiasi. Namun, studi ini menilai Ankara perlu mempercepat modernisasi armada jet tempur konvensional, memperluas kemampuan perang elektronik berbasis udara, serta meningkatkan keluwesan dalam perencanaan operasi jarak jauh.
- Pertahanan siber sebagai prioritas nasional
Serangan siber yang melumpuhkan jantung sistem ekonomi dan media Iran menjadi peringatan serius.
Studi ini menyoroti bagaimana penghentian fungsi sistem keuangan dapat menjadi senjata strategis dalam memenangkan perang.
Turki dianjurkan membangun sistem perlindungan siber menyeluruh bagi infrastruktur sipil dan militer, mengembangkan kapabilitas ofensif di ranah digital, serta menjalankan program kontra-intelijen secara rutin.
Pemeriksaan keamanan secara berkala pada perusahaan teknologi strategis—terutama industri pertahanan—juga menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi ini.
- Keamanan fasilitas vital dan figur kepemimpinan
Salah satu kejutan besar dalam perang adalah keberhasilan Israel melakukan eliminasi terarah terhadap tokoh penting bersamaan dengan serangan ke lokasi strategis.
Perlindungan terhadap para pemimpin, kantor-kantor pemerintahan, dan pusat komando tidak lagi bisa ditempatkan sebagai prioritas sekunder.
Studi ini mendorong Turki memprioritaskan sistem pertahanan udara rendah untuk melindungi fasilitas vital, terutama markas lembaga keamanan, dari ancaman drone atau serangan berbasis agen lapangan.
Protokol keamanan di sekitar objek vital serta pembaruan prosedur pengamanan bagi pejabat tinggi dan personel strategis harus menjadi bagian dari rencana pertahanan nasional.
- Pertahanan sipil: Garda belakang yang terlupakan
Meski perang ini berwatak strategis, korban sipil tetap menjadi faktor penentu. Israel dengan jaringan peringatan dini dan bunker terlindung mampu membatasi korban hingga 31 jiwa.
Sebaliknya, Iran yang minim infrastruktur pertahanan sipil kehilangan ratusan warga di Teheran dan kota-kota besar.
Hal ini memunculkan pertanyaan bagi Ankara: sejauh mana kesiapan pertahanan sipil Turki dalam menghadapi serangan mendadak?
Rekomendasi yang diajukan meliputi pembangunan sistem peringatan dini skala luas, bunker yang terintegrasi dengan fasilitas publik vital, serta pengaturan agar stasiun bawah tanah dapat difungsikan sebagai tempat perlindungan.
Kesadaran publik pun harus ditingkatkan melalui kampanye berkala, sementara lembaga media dan keamanan dipersiapkan untuk melawan disinformasi di masa krisis.
- Kesiapan ekonomi, teknologi, dan sosial
Perang membuktikan bahwa teknologi militer canggih tidak cukup untuk mempertahankan ketahanan negara.
Israel memang unggul secara teknologi, namun kerentanannya secara geografis, ketergantungan pada perdagangan internasional, dan sensitifnya masyarakat terhadap korban jiwa menjadi titik lemah yang nyata.
Di sisi lain, Iran—meski ekonominya terpuruk—mampu bertahan secara politik dan keamanan berkat adaptasi dalam kondisi isolasi berkepanjangan. Studi ini menilai faktor non-militer memiliki peran penentu dalam daya tahan negara.
Turki disarankan membangun deterrence yang menyatu antara kekuatan militer, kemandirian teknologi keamanan, stabilitas ekonomi, dan solidaritas sosial sebagai benteng terhadap penetrasi lawan.
- Pentingnya kewaspadaan strategis
Bagi Ankara, perang 12 hari hanyalah satu episode dalam rangkaian skenario yang saling berkaitan dan menimbulkan kekhawatiran.
Pengalaman masa lalu dengan keruntuhan Irak dan Suriah menjadi pengingat bahwa kegagalan negara tetangga membawa konsekuensi langsung: ketidakstabilan perbatasan, gelombang migrasi, dan munculnya kelompok bersenjata di kawasan.
Stabilitas Iran, selama membatasi intervensi regional dan aktivitas nuklirnya, menjadi skenario yang paling menguntungkan bagi Turki.
Kondisi ini membuka peluang kerja sama di bidang ekonomi dan energi, serta memperkuat dialog politik bilateral.
Dengan tiga kemungkinan masa depan hubungan Iran–Amerika—penyelesaian diplomatik, krisis terbuka, atau konflik penuh—studi ini merekomendasikan agar Ankara menyiapkan diri untuk skenario terburuk, sembari mengupayakan hasil terbaik.
Upaya itu meliputi peran mediasi yang seimbang, peningkatan keamanan perbatasan timur, perlindungan industri pertahanan dari spionase, dan penguatan koordinasi dengan Irak, Azerbaijan, serta Suriah untuk meredam risiko eskalasi.
Kesimpulannya, kewaspadaan strategis dan perencanaan multi-front adalah kunci bagi Turki untuk menjaga keamanan nasional, mempertahankan posisi regional, dan menghindari terseret ke dalam konflik yang tidak diinginkan namun sulit dihindari.