Pemerintah Inggris kembali menuai kritik keras setelah mayoritas anggota parlemen mendukung keputusan kontroversial untuk melarang kelompok pro-Palestina Palestine Action dan memasukkannya ke dalam daftar organisasi teroris.
Langkah ini dinilai sebagai preseden berbahaya yang dapat mengaburkan batas antara aksi protes sipil dan aktivitas ekstremisme.
Sebanyak 385 anggota Dewan Rakyat mendukung keputusan tersebut, sementara hanya 26 orang yang memilih abstain.
Keputusan ini diambil meski sebelumnya muncul peringatan dari organisasi HAM, sejumlah politisi, dan pakar hukum, yang menyebutkan bahwa langkah itu dapat membahayakan hak atas kebebasan berekspresi dan protes damai.
Keputusan parlemen memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi HAM, dan anggota parlemen sendiri.
Di luar Gedung Parlemen, ratusan demonstran turun ke jalan mengecam keputusan itu, memprotes apa yang mereka anggap sebagai kriminalisasi terhadap solidaritas terhadap Palestina.
Kawasan sekitar gedung parlemen dijaga ketat, dengan penerapan pembatasan berdasarkan Undang-Undang Ketertiban Umum guna mencegah kericuhan.
Alasan pemerintah
Menteri Keamanan Inggris, Dan Jarvis, membela keputusan pemerintah dari Partai Buruh tersebut.
Ia menyebut bahwa aktivitas Palestine Action tidak lagi tergolong sebagai bentuk protes yang sah.
Pernyataan ini merujuk pada aksi terbaru kelompok tersebut yang sempat menyerbu Pangkalan Udara Brize Norton dan menyiramkan cat merah ke pesawat-pesawat militer—aksi yang dikutuk Perdana Menteri Keir Starmer sebagai tindakan “vandalisme tercela”.
Selain itu, Palestine Action diketahui turut berperan dalam penghentian operasional beberapa pabrik milik perusahaan Elbit Systems—produsen utama drone tempur yang digunakan Israel dalam perang di Gaza—melalui aksi blokade dan sabotase damai.
Menurut Jarvis, pelabelan ini akan memungkinkan otoritas keamanan Inggris untuk memantau aliran dana kelompok tersebut serta mencegah potensi “radikalisasi dan aksi kekerasan”.
Ia membantah bahwa keputusan ini bermuatan politis, dan menegaskan bahwa pemerintah tetap mendukung hak atas protes damai bagi semua pihak, termasuk pendukung Palestina.
Dengan pelabelan ini, Palestine Action disamakan statusnya dengan kelompok-kelompok yang selama ini sudah dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris di Inggris, seperti Hamas, Al-Qaeda, dan ISIS.
Setelah disahkan di Dewan Rakyat, rancangan pelarangan ini akan diajukan ke Dewan Bangsawan untuk pembahasan akhir sebelum disahkan sebagai undang-undang.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Yvette Cooper menuding kelompok ini memiliki rekam jejak pelanggaran hukum yang panjang serta melakukan aksi kekerasan dan kerusakan serius.
Hal itu, menurutnya, sudah jauh menyimpang dari prinsip protes damai dan layak dikategorikan sebagai organisasi teroris.
Pelanggaran serius terhadap hak sipil?
Meski mendapatkan dukungan mayoritas, keputusan ini tidak lepas dari kritik tajam di dalam parlemen sendiri.
Setidaknya sembilan anggota Partai Buruh secara terbuka menolak kebijakan yang diusulkan oleh pimpinan partainya sendiri.
Anggota parlemen dari Partai Buruh, Zarah Sultana, menyebut keputusan ini sebagai “penyalahgunaan undang-undang antiterorisme”.
Menurutnya, jika memang terjadi pelanggaran hukum oleh aktivis, seharusnya mereka diadili berdasarkan hukum pidana biasa, bukan dimasukkan ke dalam kerangka hukum terorisme.
Ia menyebut langkah pemerintah ini sebagai penyimpangan yang sangat berbahaya.
Kritik juga datang dari akademisi dan mantan anggota Partai Buruh, Kamel Hawwash. Ia menilai pemerintah sengaja “menyisipkan” larangan terhadap Palestine Action bersama dengan larangan terhadap 2 organisasi sayap kanan ekstremis.
Tujuannya, guna mempersulit posisi politisi yang mungkin tidak sepakat terhadap pelabelan gerakan pro-Palestina sebagai teroris. Dengan skema itu, para anggota parlemen yang enggan memberi dukungan akan berisiko dianggap mendukung kelompok ekstrem kanan.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, Hawwash menyebut langkah ini sebagai “permainan politik yang terencana dengan rapi”.
Tujuannya untuk menekan anggota parlemen agar menyetujui keputusan kontroversial tersebut demi menjaga citra mereka di mata publik.
Ancaman terhadap demokrasi?
Harian The Telegraph melaporkan bahwa mantan anggota parlemen sekaligus penasihat pemerintah dalam isu kekerasan politik, Lord Walney, telah memperingatkan bahwa dukungan terhadap organisasi yang hampir dilarang akan dianggap sebagai tantangan terhadap keputusan pemerintah.
Ia bahkan menyarankan agar anggota parlemen yang tetap mendukung kelompok tersebut dikeluarkan dari Partai Buruh.
Sementara itu, tokoh-tokoh seperti mantan pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn secara terbuka menolak pelarangan ini.
Dalam pernyataannya, Corbyn menyebut tindakan pemerintah sebagai bentuk “represi rasialis dan otoriter” yang bertujuan membungkam suara-suara yang menolak genosida di Gaza.
Undang-undang antiterorisme jadi alat represi?
Setelah Dewan Rakyat menyetujui pelabelan Palestine Action sebagai organisasi teroris, aparat keamanan Inggris segera mengintensifkan operasi mereka.
Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah aktivis kelompok tersebut ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam aksi penyemprotan cat merah ke 2 pesawat militer di Pangkalan Udara Brize Norton.
Namun, kelompok ini tidak tinggal diam. Mereka telah mengajukan permohonan banding terhadap legalitas keputusan pemerintah, dan sidang pertama dijadwalkan berlangsung pada Jumat mendatang.
Sementara itu, Rancangan Undang-Undang pelarangan Palestine Action masih menunggu pembahasan lanjutan di Dewan Bangsawan, yang akan memutuskan apakah aturan tersebut disahkan secara penuh atau perlu direvisi.
Menurut pengacara dan Ketua Asosiasi Pengacara Arab di Inggris, Sabah Al-Mukhtar, keputusan pemerintah ini bukan semata-mata langkah hukum.
Melainkan bagian dari strategi pembungkaman terhadap gerakan pro-Palestina yang kini mulai mendapatkan simpati luas di Inggris.
Ia menilai bahwa pemerintah Inggris tengah memperluas ruang represi terhadap suara-suara pembangkangan politik.
“Masih belum jelas bagaimana pelarangan ini akan diterapkan. Namun, hukum antiterorisme memberi wewenang sangat luas kepada kepolisian, yang dikhawatirkan dapat digunakan untuk membungkam aksi damai pro-Palestina dan mengintimidasi simpatisannya,” kata Mukhtar kepada Al Jazeera.
Pelemahan narasi Palestina
Senada dengan itu, pakar hukum dan hubungan internasional dari Universitas London, Nihad Khunfur, menilai bahwa Inggris tengah mengalami pergeseran radikal dalam pendekatan hukumnya.
Ia menyebut bahwa kini sedang terjadi “penetrasi terhadap benteng perlindungan hukum” yang selama ini menjadi payung bagi kebebasan berekspresi dan protes sipil.
Khunfur mengacu pada keputusan Mahkamah Agung Inggris yang belum lama ini membenarkan legalitas kerja sama militer Inggris-Israel dalam penyediaan suku cadang persenjataan.
Padahal, pengadilan secara terbuka mengakui bahwa peralatan tersebut berisiko tinggi digunakan dalam pelanggaran hukum internasional di Gaza.
“Ini adalah sinyal yang sangat mengkhawatirkan. Jika kerja sama senjata semacam itu dianggap sah walau bisa digunakan dalam genosida, maka bisa dibayangkan bagaimana hukum akan menilai aksi damai seperti yang dilakukan Palestine Action,” tegasnya.
Kecaman dari PBB
Di level internasional, beberapa Pelapor Khusus PBB menyatakan keprihatinan mendalam terhadap langkah Inggris yang dinilai menyalahgunakan definisi terorisme.
Dalam pernyataannya kepada Al Jazeera Net, Ben Saul—Pelapor Khusus PBB untuk perlindungan hak asasi manusia dalam pemberantasan terorisme—menegaskan bahwa tindakan pemerintah Inggris merupakan “penyimpangan serius dari standar hukum internasional”.
“Kami khawatir terhadap pelabelan ini, yang tampaknya memanfaatkan hukum antiterorisme untuk menargetkan bentuk protes politik,” ujar Saul.
Menurutnya, tindakan seperti menyemprot cat atau merusak properti, selama tidak menimbulkan bahaya pada nyawa, tidak bisa dikategorikan sebagai terorisme berdasarkan standar internasional.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa Inggris justru pernah mendukung prinsip ini saat menyetujui Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1566 pada 2004, yang menegaskan bahwa kerusakan properti tanpa mengancam nyawa tidak bisa dianggap sebagai aksi teror.
Menurut hukum internasional, terorisme didefinisikan sebagai “ancaman yang disengaja terhadap kehidupan sipil dengan tujuan menciptakan ketakutan.”
Dengan standar ini, tindakan Palestine Action tidak memenuhi kriteria tersebut. Namun, pemerintah Inggris menggunakan definisi yang lebih longgar, yang memungkinkan kriminalisasi terhadap tindakan simbolik atau aksi tanpa kekerasan.
Hal ini memicu kekhawatiran bahwa kebebasan berekspresi dan protes damai di Inggris kini menghadapi ancaman serius dari negara yang selama ini dikenal sebagai salah satu pelopor perlindungan hak sipil.