Monday, August 25, 2025
HomeBeritaLuka yang tak sembuh: Suara tahanan Palestina dari Penjara Israel

Luka yang tak sembuh: Suara tahanan Palestina dari Penjara Israel

Ketika pengalaman hidup lahir di balik tembok penjara, ia bukan sekadar kisah pribadi.

Ia menjelma menjadi catatan sejarah, bentuk perlawanan, sekaligus pesan lantang tentang makna kebebasan dan martabat manusia.

Dalam kerangka itu, lahir buku Lissijn Madzāq Ākhar (Penjara Punya Rasa yang Lain) karya penulis Palestina, Osama al-Asyqar, yang pernah mendekam di penjara Israel.

Buku ini diterbitkan oleh Sekretariat Umum Persatuan Penulis dan Sastrawan Palestina di Ramallah pada 2020.

Ia membuka tulisannya dengan persembahan untuk mendiang ayahnya, serta ungkapan syukur kepada “Manar”—bintang yang, menurutnya, menerangi langit penjara dan membawa cahaya ke selnya.

Al-Asyqar ditangkap pada 2002, dijatuhi hukuman 8 kali seumur hidup plus 50 tahun, dan akhirnya bebas melalui pertukaran tawanan pada 2024.

Karyanya bukan hanya otobiografi, melainkan juga potret luas kehidupan di dalam penjara-penjara Israel.

Dalam buku itu, Al-Asyqar menggambarkan momen penangkapan sebagai sesuatu yang datang tiba-tiba, tanpa pernah ia bayangkan.

Dari interogasi keras dengan caci maki hingga pemindahan menggunakan kendaraan baja menuju kamp militer, semua penuh dengan penghinaan.

Ia mengisahkan tentang pola interogasi: seorang penyidik bersikap kasar dan penuh ancaman, sementara yang lain berpura-pura lembut untuk memancing pengakuan.

Bila gagal, tahanan dikirim ke “ruang burung pipit”—sel yang diisi para kolaborator yang berpura-pura sebagai sesama tahanan, dengan tujuan menggali informasi.

Al-Asyqar juga menulis tentang “bosta”, kendaraan yang membawa tahanan dari satu penjara ke penjara lain, atau ke rumah sakit dan pengadilan.

Dari luar tampak mewah, namun di dalamnya menyerupai kotak besi sempit dengan kursi keras yang menyiksa tubuh.

Perjalanan bisa memakan waktu berhari-hari, dengan tahanan dikurung di ruang mirip kandang besi.

Penderitaan kian berat dengan rantai besi di kaki, panjangnya hanya 3 sentimeter, yang mengikat satu tahanan dengan tahanan lain. Satu orang tersandung, seluruh rantai ikut jatuh dan jerit kesakitan pun terdengar.

Soal kesehatan, ia menyinggung istilah “Hofesh Be’Akaf” (perawat blok tahanan). Fasilitas medis minim, hanya obat penghilang sakit.

Tahanan dengan penyakit kronis harus melewati prosedur panjang untuk dirujuk ke Rumah Sakit Ramla, yang dijuluki “pemakaman orang hidup” karena banyak tahanan wafat di sana akibat kelalaian medis.

Buku ini juga mencatat bagaimana para tahanan Palestina sejak akhir 1960-an menjadikan aksi mogok makan sebagai alat perjuangan, yang memaksa otoritas penjara memenuhi hak-hak dasar.

Namun, aparat penjara tak jarang melakukan “qam‘a”—serangan mendadak untuk memukul, mengintimidasi, dan mempermalukan tahanan.

Luka yang tak sembuh

Kisah paling pilu hadir dari ruang pertemuan keluarga. Setelah menunggu berjam-jam, para keluarga hanya bisa berbincang lewat telepon, dipisahkan kaca dan logam.

Sering kali pertemuan justru menjadi momen kehilangan: kabar wafatnya anak, ibu, atau kerabat yang sampai ke telinga tahanan menambah luka yang tak bisa diobati.

Lebih pedih lagi adalah hukuman isolasi tunggal—sel sempit dengan ranjang dan toilet, tanpa interaksi.

Di sisi lain, dalam satu blok bisa berkumpul 100 orang tahanan dalam 15 kamar, tanpa privasi, dengan latar sosial beragam yang kerap memicu ketegangan, diperparah oleh campur tangan intelijen Israel.

Hari raya pun datang dengan rasa getir. Tahanan menghitung usia penjara dengan jumlah Idul Fitri yang dilalui.

Mereka mencukur jenggot, mandi, lalu melaksanakan salat dengan takbir lirih. Usai salat, mereka saling menyapa—lalu kembali pada jeruji dan kesepian.

Meski demikian, ada pula momen-momen kecil perlawanan, seperti penyelundupan ponsel seukuran jari.

Lewat ponsel itu, 100 tahanan berbagi waktu, masing-masing 10 menit dalam sepekan, untuk sekadar mendengar suara orang terkasih.

Di penghujung buku, Al-Asyqar mengisahkan perjumpaan cintanya dengan Manar, perempuan yang kerap menyampaikan salam kepada para tahanan.

Keduanya menikah secara simbolis pada 15 November 2019, bertepatan dengan 17 tahun penahanannya.

Kini, setelah bebas melalui pertukaran tawanan pada 2024 dan hidup dalam pengasingan di Mesir, Al-Asyqar menegaskan bahwa kisahnya bukan hanya catatan pribadi.

Ia ingin dunia mengetahui tantangan psikologis dan manusiawi yang diwariskan penjara Israel kepada setiap tahanan Palestina.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular