Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan akan mendorong Uni Eropa untuk mengakhiri sanksi terhadap Suriah saat masa berlakunya habis pada bulan Juni mendatang. Macron juga akan melobi Amerika Serikat agar mengikuti langkah serupa, serta mempertahankan kehadiran militernya di Suriah demi menjaga stabilitas negara tersebut.
Pernyataan itu disampaikan Macron saat konferensi pers bersama Presiden Sementara Suriah, Ahmed al-Sharaa, yang tengah melakukan kunjungan pertamanya ke Eropa sejak jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu.
“Saya mengatakan kepada Presiden Sharaa bahwa apabila ia tetap berada di jalur reformasi, kami juga akan bertindak serupa, dimulai dari pelonggaran sanksi Uni Eropa secara bertahap. Selanjutnya, kami juga akan mendorong mitra kami di Amerika untuk melakukan hal yang sama,” ujar Macron.
Ia menambahkan bahwa akan mengusulkan agar sanksi UE dibiarkan berakhir pada 1 Juni mendatang.
Sharaa, yang kini memimpin pemerintahan transisi di Suriah, berharap pelonggaran sanksi bisa menjadi awal pemulihan ekonomi negara yang hancur akibat perang saudara selama 14 tahun. Menurut Bank Dunia, biaya rekonstruksi Suriah diperkirakan melebihi 250 miliar dollar AS.
Selama konflik, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris menjatuhkan serangkaian sanksi berat terhadap pemerintahan Assad. Sejumlah sanksi telah dicabut, namun sebagian lainnya—terutama yang menyasar individu dan entitas tertentu—masih berlaku dan akan dievaluasi bulan depan. Keputusan memperpanjang atau mengakhiri sanksi memerlukan kesepakatan dari 27 negara anggota Uni Eropa.
“Topik sanksi menjadi pembahasan utama kami. Saya menjelaskan semua dampaknya. Sanksi-sanksi itu dijatuhkan kepada rezim sebelumnya, dan tak ada lagi justifikasi untuk mempertahankannya,” ujar Sharaa.
Meski masih masuk dalam daftar sanksi terorisme karena pernah memimpin kelompok bersenjata Hayat Tahrir al-Sham, Sharaa mendapat pengecualian dari PBB untuk melakukan perjalanan ke Paris.
Kedua pemimpin juga membahas isu kedaulatan dan keamanan Suriah, perlindungan minoritas seperti Alawit dan Druze, upaya pemberantasan kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), serta koordinasi bantuan kemanusiaan dan dukungan ekonomi, menurut keterangan pejabat Prancis.
Kunjungan ini menandai peningkatan dukungan diplomatik dari negara Barat kepada pemerintahan Sharaa. Sementara itu, Amerika Serikat hingga kini belum mengakui otoritas manapun sebagai pemerintahan sah di Suriah.
Sebelumnya, Reuters melaporkan bahwa Suriah telah menanggapi daftar tuntutan dari Washington sebagai bagian dari kemungkinan pelonggaran sanksi parsial. AS sebelumnya telah memberikan pengecualian sanksi selama enam bulan pada Januari lalu untuk mendorong bantuan kemanusiaan.
Jika Suriah memenuhi seluruh persyaratan, Washington disebut akan memperpanjang pengecualian tersebut selama dua tahun dan mungkin mengeluarkan pengecualian tambahan.
Prancis belakangan berperan sebagai mediator antara pemerintahan transisi Suriah dan kelompok Kurdi, menyusul kabar bahwa AS berencana mengurangi jumlah pasukannya dari 2.000 menjadi separuh dalam beberapa bulan ke depan.
Macron mengaku tengah mengupayakan agar AS menunda penarikan pasukan dan mencabut sanksi demi mencegah ketidakstabilan di masa transisi Suriah.
Sebagai bentuk dukungan, Prancis juga telah menunjuk seorang kuasa usaha dan tim diplomatik kecil di Damaskus bulan lalu, sebagai langkah awal menuju pembukaan kembali kedutaan besar secara penuh.