Tuesday, April 8, 2025
HomeBeritaMantan komandan Israel: Tekanan militer di Gaza tidak efektif

Mantan komandan Israel: Tekanan militer di Gaza tidak efektif

Seorang mantan komandan militer Israel dan saudara dari seorang tawanan di Jalur Gaza meragukan efektivitas tekanan militer saat ini untuk mematahkan Hamas dan membebaskan para tawanan yang ditahan di wilayah tersebut.

Dalam wawancaranya dengan surat kabar Maariv pada Minggu, Letjen (Cad) Noam Tibon — mantan komandan Divisi “Yehuda dan Samaria” (sebutan religius untuk Tepi Barat) dan Korps Utara di militer Israel — menegaskan bahwa misi utama adalah membebaskan seluruh tawanan.

“Kita hanya seminggu lagi dari Hari Raya Paskah Yahudi, Hari Kebebasan, dan ini bertentangan sepenuhnya dengan semua nilai Yahudi kita, serta dengan prinsip kita untuk tidak meninggalkan yang terluka di medan perang,” katanya.

Tibon melanjutkan bahwa selama satu setengah tahun, mereka mengatakan bahwa hanya tekanan militer yang akan membawa para tawanan pulang.

“Namun, dalam waktu tersebut, 41 tawanan terbunuh oleh Hamas atau akibat serangan militer Israel sendiri. Nyatanya, yang berhasil membawa tawanan kembali adalah kesepakatan,” imbunya.

Ia mengingatkan bahwa kesepakatan itu sebenarnya mencakup tahap kedua juga.

Ia menuduh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak melanjutkan tahap itu karena alasan politik, kepentingan koalisi, dan anggaran negara.

Pada 25 Maret lalu, Knesset menyetujui anggaran negara untuk tahun 2025 dalam pembacaan kedua dan ketiga. Total anggaran tersebut sebesar 620 miliar shekel (167,32 miliar dolar), didukung oleh 66 anggota parlemen dan ditolak oleh 52.

Sehari sebelumnya, pemerintah Israel juga menyetujui pengembalian para menteri dari partai “Kekuatan Yahudi” yang dipimpin oleh Itamar Ben Gvir ke posisi mereka.

Setelah sebelumnya mengundurkan diri dari pemerintahan pada Januari lalu sebagai protes atas kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan dengan Hamas.

Hal itu terjadi hanya beberapa jam setelah Israel kembali melanjutkan perang pemusnahan di Gaza pada 18 Maret.

Dengan serangan mendadak dan sangat brutal yang menyebabkan ratusan korban jiwa dan luka-luka hanya dalam hitungan jam.

Pelanggaran terbesar terhadap gencatan senjata yang sebelumnya dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat (AS) pada Januari.

Di sisi lain, Tibon menekankan bahwa Hamas telah memenuhi janjinya dalam tahap pertama kesepakatan dan membebaskan para tawanan.

“Jika Israel benar-benar ingin memulangkan para tawanan, maka jalan satu-satunya adalah melalui kesepakatan — itu yang harus dikejar,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa semua pernyataan mengenai efektivitas tekanan militer dalam memulangkan para tawanan terbukti tidak berhasil.

Sementara itu, Nadav — saudara dari tawanan Israel Omri Miran — mengatakan bahwa tekanan militer saat ini di Gaza tidak akan berhasil “mematahkan” Hamas.

“Kami merasa bahwa kami tidak melakukan cukup banyak upaya di Gaza,” katanya dalam pernyataannya kepada surat kabar Yedioth Ahronoth pada Minggu.

Ia menambahkan dirinya tidak melihat bahwa pertempuran saat ini bisa memaksa Hamas untuk menyerah.

Hal ini bertolak belakang dengan klaim pemerintah ekstremis Netanyahu yang menyatakan bahwa tekanan militer saja cukup untuk memulangkan para tawanan.

Meski bukti di lapangan menunjukkan sebaliknya, bahkan di tengah blokade ketat dan perang pemusnahan yang terus berlangsung.

Tel Aviv memperkirakan bahwa ada 59 tawanan Israel di Jalur Gaza, 24 di antaranya masih hidup. Sementara itu, lebih dari 9.500 warga Palestina berada di penjara-penjara Israel.

Mereka mengalami penyiksaan, kelaparan, dan kelalaian medis — yang telah menyebabkan kematian sejumlah tahanan, menurut laporan media dan organisasi HAM Palestina dan Israel.

Sebagai imbalan atas ratusan tahanan Palestina, faksi-faksi perlawanan di Gaza telah membebaskan puluhan tawanan Israel.

Baik yang hidup maupun yang gugur, secara bertahap dalam tahap pertama kesepakatan gencatan senjata yang berlaku mulai 19 Januari 2025.

Namun, Netanyahu — yang sedang dicari oleh pengadilan internasional — enggan melanjutkan ke tahap kedua dari kesepakatan, demi memenuhi tuntutan dari kelompok-kelompok ekstremis dalam koalisi pemerintahannya.

Ia kembali melanjutkan perang pemusnahan di Gaza sejak 18 Maret lalu, yang menyebabkan tewasnya 1.249 warga Palestina dan melukai 3.022 lainnya. Mayoritas adalah anak-anak, perempuan, dan lansia.

Dengan dukungan penuh dari AS, Israel telah melakukan genosida di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Akibatnya menewaskan dan melukai lebih dari 165.000 warga Palestina. Sebagian besar adalah anak-anak dan Perempuan, serta menyebabkan lebih dari 11.000 orang hilang.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular