Sunday, November 2, 2025
HomeBeritaMedia internasional: Gaza berisiko kembali ke perang dan Sudan butuh mekanisme hukuman...

Media internasional: Gaza berisiko kembali ke perang dan Sudan butuh mekanisme hukuman internasional

Berbagai media internasional menyoroti dua krisis besar yang mengguncang dunia saat ini: ketegangan yang berpotensi menyeret Gaza kembali ke perang, dan tragedi kemanusiaan di Sudan yang kian memburuk di tengah absennya keadilan internasional.

Harian Israel Yedioth Ahronoth mengutip sumber militer yang mengungkap bahwa Israel sempat meminta restu Amerika Serikat (AS) untuk melancarkan operasi guna menguasai lebih banyak wilayah di Gaza.

Namun, menurut laporan itu, rencana tersebut dibekukan setelah konsultasi intensif dengan Washington.

Sumber-sumber Barat yang dikutip media itu juga menyebut bahwa pasukan internasional yang disiapkan untuk mengambil alih kendali Gaza tidak akan melibatkan tentara Barat, melainkan tentara dari negara-negara Islam.

Namun, rencana yang disponsori AS ini disebut menghadapi hambatan politik dan teknis yang serius, terutama terkait mandat operasi dan dukungan internasional terhadap pasukan tersebut.

Sementara itu, The Guardian memuat artikel karya Salam Wakil dari lembaga riset Chatham House di London, yang menilai bahwa serangan udara Israel terakhir di Gaza menelanjangi rapuhnya rencana perdamaian yang digadang-gadang.

Menurutnya, gencatan senjata yang tidak memiliki struktur jelas memberi ruang besar bagi kesalahpahaman dan tindakan sepihak.

“Masing-masing pihak menafsirkan pelanggaran sesuai kepentingannya sendiri,” tulisnya.

Ia menekankan pentingnya pembentukan mekanisme pemantauan independen, penetapan jadwal pasti untuk rekonstruksi dan penarikan pasukan.

Selain itu juga jaminan hukum bagi akses kemanusiaan, agar situasi Gaza tidak kembali terjebak dalam siklus “tenang sejenak lalu perang lagi” yang telah berulang selama dua dekade.

Dari Maariv, kolumnis Yaakov Halabi menulis bahwa Presiden AS Donald Trump telah “memasang jebakan madu” bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu lewat rencana penghentian perang yang sulit ditolak.

Menurut Halabi, peta kekuatan politik Israel akan berubah dalam waktu dekat, karena Netanyahu—yang kini buronan Mahkamah Pidana Internasional—tidak mungkin melanjutkan normalisasi hubungan dengan negara-negara Islam sembari tetap memperluas permukiman dan mencaplok wilayah di Tepi Barat.

 

Artikel itu menyimpulkan bahwa Israel kini memasuki fase politik yang rapuh, di mana kepentingan Netanyahu mulai berseberangan dengan kelompok sayap kanan ekstrem, terutama menjelang tahun pemilu yang krusial.

Dunia kembali gagal di Sudan

Sementara itu, di The New York Times, kolumnis Nicholas Kristof menulis bahwa dunia kembali gagal mencegah kekejaman di Sudan, khususnya di Kota Al-Fashir, ibu kota wilayah Darfur, yang kini dilaporkan menjadi lokasi pembantaian massal.

Kristof menyesalkan bahwa tragedi itu tidak mendapatkan perhatian internasional sebesar genosida Darfur dua dekade lalu.

Ia menegaskan, “inilah yang terjadi ketika pelaku kekerasan dibiarkan tanpa hukuman.”

Solusinya, menurut dia, bukan dengan intervensi militer Amerika, tetapi dengan menghidupkan kembali mekanisme penghukuman internasional.

Termasuk melalui pengadilan pidana, embargo senjata terhadap faksi bersenjata dan para pendukungnya, serta tekanan diplomatik terkoordinasi.

Harian The Telegraph menyoroti kemarahan publik Inggris setelah ditemukan senjata buatan Inggris digunakan oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang terlibat dalam kekerasan di Darfur.

Anggota parlemen Monica Harding dari Partai Demokrat Liberal menyebut perang di Sudan sebagai “krisis kemanusiaan terbesar di dunia saat ini”.

Dan juga fakta bahwa peralatan militer Inggris mungkin digunakan dalam kekejaman tersebut adalah “sesuatu yang mengerikan dan tak dapat diterima.”

“Tak ada gunanya membanggakan aturan ekspor senjata bila akhirnya senjata itu jatuh ke tangan pihak yang menggunakannya untuk membunuh warga sipil,” imbuh seorang mantan pakar PBB untuk Sudan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler