Monday, October 27, 2025
HomeBeritaMedia Internasional: Palestina absen dari rencana perdamaian, Tepi Barat kian tercekik represi

Media Internasional: Palestina absen dari rencana perdamaian, Tepi Barat kian tercekik represi

Sejumlah media internasional menyoroti tantangan besar dalam menegakkan gencatan senjata di Gaza meski berbagai upaya diplomatik tengah digalang Amerika Serikat (AS).

Di saat yang sama, kekerasan dan penindasan di Tepi Barat terus meningkat, sementara Eropa bersiap menghadapi ancaman baru di masa depan.

Dari pusat koordinasi sipil dan militer di Kiryat Gat, Israel bagian selatan—yang kini menjadi lokasi kendali operasi pengawasan gencatan senjata di Gaza oleh militer AS—The Wall Street Journal mencatat bahwa fasilitas ini telah menjelma menjadi poros utama dalam strategi Presiden Donald Trump untuk menegakkan rencana perdamaian di wilayah tersebut.

Surat kabar itu menulis, kendati Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan dalam negeri yang kian berat dan statusnya sebagai buronan Mahkamah Pidana Internasional, pemerintahan Trump tetap memandang keberhasilan pusat tersebut sebagai satu-satunya jalan yang tersisa.

Kegagalannya, menurut sumber Gedung Putih, dapat membawa kawasan itu kembali ke lingkaran kekerasan.

Namun, di Eropa, pandangan terhadap rencana perdamaian versi Washington diwarnai keraguan mendalam.

Dalam tulisannya di Le Monde, akademikus Prancis Jean-Pierre Filiu menilai bahwa menyingkirkan pihak Palestina dari proses perdamaian hanya akan melemahkan kredibilitas inisiatif Trump.

Filiu menyoroti kenyataan bahwa rencana itu sama sekali tidak melibatkan perwakilan Palestina, melainkan sebatas koordinasi dengan Israel dan beberapa negara Arab.

Sementara tanggung jawab rekonstruksi dan pelucutan senjata Hamas justru dibebankan kepada pihak lain.

Menurutnya, pendekatan tersebut hanya mengulang pola perjanjian normalisasi 2020—yakni menjadikan perdamaian sebagai proyek geopolitik tanpa subjek Palestina di dalamnya.

“Mengabaikan Palestina dalam rencana damai apa pun, pada hakikatnya merupakan bentuk lain dari perang terhadap mereka,” tulis Filiu.

Di lapangan, kondisi kemanusiaan di Gaza jauh dari kata pulih. Laporan investigatif Mediapart dari Prancis menggambarkan bahwa situasi di wilayah itu “hanya membaik secara marginal”, jauh dari klaim bahwa “semuanya telah selesai”.

Sejumlah pejabat di badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan bahwa kesan seolah-olah keadaan sudah normal adalah persepsi yang keliru dan berbahaya.

Salah seorang pejabat badan tersebut mengatakan bahwa “gambaran stabilitas semu hanya menunda perhatian dunia terhadap penderitaan nyata di Gaza”.

Seorang petugas kemanusiaan di dalam wilayah itu juga mengungkapkan bahwa masalah utama saat ini bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga kekurangan uang tunai yang parah—sebuah krisis likuiditas yang memukul ekonomi keluarga dan memperlambat pemulihan sosial.

Sementara sorotan dunia tertuju pada Gaza, kolumnis Haaretz Gideon Levy mengingatkan bahwa di Tepi Barat, represi militer Israel dan kekerasan para pemukim telah menjadikan kehidupan warga Palestina “nyaris mustahil”.

Levy menulis bahwa Israel menggunakan perang Gaza sebagai dalih untuk memperketat kontrol di Tepi Barat, padahal operasi militer di Gaza telah berhenti.

“Perang di Gaza telah usai, tetapi penindasan di Tepi Barat terus berjalan dalam bentuk penangkapan, pos pemeriksaan, dan kekerasan pemukim yang mendapat perlindungan tentara,” tulisnya.

Ia menambahkan, lebih dari 150 ribu warga Palestina kehilangan pekerjaan dalam dua tahun terakhir akibat kebijakan pembatasan tersebut.

Levy menyerukan intervensi internasional segera untuk melindungi penduduk Palestina yang kian terjepit di bawah tekanan ekonomi dan kekerasan struktural.

Manuver global Washington

Di panggung global, The New York Times menyoroti lawatan Presiden Trump ke Asia.

Dalam kunjungan itu, Trump menampilkan diri sebagai “negarawan pembuat kesepakatan” di hadapan para pemimpin Asia yang berharap pada pemangkasan tarif dan penguatan hubungan bilateral.

Namun, tulis NYT, negara-negara Asia berupaya menjaga keseimbangan: di satu sisi mereka ingin tetap dekat dengan Washington, sementara di sisi lain mereka tak ingin memutus hubungan dengan Tiongkok yang semakin kuat.

AS sendiri, kata surat kabar itu, sangat membutuhkan kawasan Asia Tenggara karena nilai strategis dan pasar ekonominya yang besar.

Di Eropa, kecemasan terhadap ancaman Rusia semakin terasa. Dalam wawancara dengan The Sunday Times, Perdana Menteri Polandia Donald Tusk mengungkapkan bahwa negaranya menghadapi “aksi sabotase Rusia hampir setiap pekan”.

Tusk juga menegaskan keyakinannya pada kemampuan Ukraina bertahan di medan perang selama dua hingga tiga tahun ke depan, meski memperingatkan tentang dampak sosial dan ekonomi yang akan sangat berat bagi rakyatnya.

Ia memperingatkan pula bahwa “jika Moskwa memperluas perang, Inggris akan menjadi salah satu target berikutnya.”

Sejalan dengan suasana itu, majalah Le Point melaporkan bahwa militer Prancis kini tengah memusatkan perhatian pada cara paling efektif dan murah untuk menghadapi ancaman drone di berbagai zona konflik seperti Ukraina dan Laut Merah.

Majalah itu menyebut adanya koordinasi lintas angkatan di tubuh militer Prancis untuk memanfaatkan teknologi yang sebelumnya digunakan untuk misi lain, serta mengembangkan sistem baru yang mampu mendeteksi dan menetralkan drone lebih cepat.

Eropa dan bayangan sayap kanan

Di Brussel, Ketua Parlemen Eropa Roberta Metsola membela citra lembaganya dalam wawancara dengan Financial Times, menepis tudingan bahwa parlemen kini dikuasai oleh kelompok kanan populis.

Menurutnya, keberadaan sayap kanan populis di parlemen merupakan cerminan realitas politik Eropa saat ini.

“Mereka adalah bagian dari parlemen yang sah dan dipilih rakyat,” ujarnya.

Karena itu, Metsola menegaskan pentingnya bekerja sama secara pragmatis dengan semua pihak demi kelancaran proses legislasi.

“Saya di sini untuk membangun kerja sama yang konstruktif dengan siapa pun, terlepas dari afiliasi politiknya,” katanya.

Dalam laporan lain, The Washington Post menyoroti langkah Swiss yang tengah menggelontorkan miliaran dolar untuk memperbarui dan memperluas jaringan bunker bawah tanah mereka.

Negara kecil di jantung Eropa itu memiliki sekitar 370 ribu tempat perlindungan yang dapat menampung hampir seluruh penduduknya dalam kondisi darurat.

Sebuah kebijakan yang lahir dari budaya kesiapsiagaan panjang di tengah ketidakpastian geopolitik dunia.

Langkah pemerintah Swiss itu meliputi perbaikan sistem ventilasi di bunker lama, serta penguatan struktur perlindungan agar mampu menghadapi ancaman perang modern dan teknologi senjata baru.

Menurut Washington Post, hak setiap warga atas tempat perlindungan aman bahkan diatur dalam konstitusi Swiss, menjadikannya satu-satunya negara di dunia dengan jaminan semacam itu.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler