Media Israel pada Kamis (5/6/2025) melaporkan dua insiden keamanan yang mengguncang operasi militer di Jalur Gaza, memicu pertanyaan serius mengenai efektivitas agresi yang telah berlangsung selama lebih dari 20 bulan.
Peristiwa tersebut menewaskan seorang perwira cadangan dan melukai sejumlah tentara Israel, serta mengindikasikan bahwa kelompok Hamas masih mempertahankan kemampuan serang yang signifikan meski telah lama dibombardir.
Dalam insiden pertama yang terjadi di lingkungan Shujaiya, tim militer Israel yang tengah memperluas wilayah operasinya disergap oleh seorang penyerang yang bersembunyi.
Serangan mendadak itu menewaskan Mayor Elon Virkis, anggota batalion patroli 6646. Pelaku berhasil melarikan diri meski dilakukan pencarian intensif selama beberapa jam.
Insiden kedua berlangsung hampir bersamaan di Jabalia, bagian utara Gaza. Sekitar pukul tujuh malam waktu setempat, sebuah pesawat tak berawak yang dimodifikasi menjatuhkan bahan peledak ke arah sekelompok tentara Israel.
Sebanyak 3 prajurit dilaporkan terluka—2 dari satuan elit Yahalom mengalami luka sedang, sementara satu agen dari badan intelijen Shin Bet mengalami luka ringan.
Wartawan Channel 12, Nitzach Shapira, menyebut serangan kedua itu sebagai “luar biasa”, menyatakan belum pernah ada insiden serupa sebelumnya yang melibatkan pesawat tak berawak dengan kemampuan penyerangan seperti itu.
Hamas masih punya daya gempur
Sejumlah analis militer Israel menilai bahwa kedua insiden ini memperkuat dugaan bahwa Hamas masih memiliki kekuatan signifikan.
Selain tetap mampu meluncurkan roket ke arah wilayah Israel, kelompok ini menunjukkan penguasaan teknologi baru, termasuk penggunaan drone bersenjata untuk menjatuhkan bom langsung ke posisi tentara.
Alon Ben David, koresponden militer Channel 13, mengungkapkan bahwa pejuang Palestina di Gaza kini berupaya mendaur ulang ribuan bom aktif yang belum meledak, sisa dari serangan udara Israel, untuk dijadikan ranjau darat ala Hizbullah Lebanon.
Ranjau-ranjau ini dikemas dalam drum kecil dan dikubur dalam tanah, berisi bahan peledak militer dengan daya rusak tinggi.
Kritik dari dalam negeri
Seiring dengan peristiwa ini, kritik tajam terhadap kebijakan militer dan politik dalam negeri Israel kembali mengemuka.
Mantan kepala pertahanan udara, Brigadir Jenderal (Purn) Zvika Haimovich, mempertanyakan absennya data transparan mengenai keberhasilan operasi militer.
“Berapa banyak terowongan yang ditemukan? Berapa unit Hamas yang dilumpuhkan? Berapa jumlah kombatan yang berhasil dilumpuhkan?” katanya dalam wawancara.
Ia juga menyindir bahwa klaim kemajuan selama ini tidak disertai bukti konkret.
Sementara itu, jurnalis dan penyiar kawakan, Hila Lieberman, menuding pemerintah Israel tengah menjalankan “perang abadi” tanpa niat menyelesaikannya.
Ia menyebut Menteri Keuangan Bezalel Smotrich sebagai sosok paling berkuasa dalam pemerintahan, dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Netanyahu kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional, berada dalam posisi tergantung kepadanya untuk menghindari pemilu dini.
Leean Volik David, mantan penasihat di kantor perdana menteri, turut menyuarakan pesimisme.
Ia menilai kecil kemungkinan kesepakatan pertukaran tahanan dapat tercapai karena Hamas diyakini tidak akan membebaskan semua tawanan tanpa imbalan signifikan.
Ia memperingatkan bahwa situasi saat ini bisa terus berulang dan membawa Israel kembali ke titik nol.
Senada dengan itu, kolumnis Yedioth Ahronoth, Sharon Kidon, menyerukan diakhirinya perang.
Ia menekankan bahwa setiap hari yang berlalu hanya menambah risiko, baik bagi tentara di lapangan maupun bagi para sandera yang masih ditahan Hamas.
“Setiap hari tambahan adalah potensi keterlibatan lebih dalam dan ancaman yang makin besar terhadap nyawa para tawanan,” tegasnya.