Dalam 2 studi terpisah, pertama berjudul “Indeks Rasisme dan Hasutan” dan yang kedua “Keamanan Digital Anak-anak Palestina di Yerusalem Timur: Antara Pelanggaran dan Keaktifan Digital”, Kampanye Pusat Arab untuk Pengembangan Media Sosial menyoroti maraknya konten elektronik yang bersifat hasutan terhadap warga Palestina.
Mereka menilai bahwa itu pelanggaran digital yang dialami anak-anak Yerusalem akibat latar belakang politik, terutama setelah peristiwa 7 Oktober.
Pada tahun 2024, Pusat Kampanye memantau lebih dari 12,5 juta konten dalam bahasa Ibrani di platform Facebook dan X.
Semuanya diklasifikasikan sebagai konten kekerasan dan hasutan, dengan rata-rata 23,6 unggahan setiap menit.
Dalam bagian studi tentang kekerasan digital terhadap warga Yerusalem, pusat tersebut menemukan bahwa ujaran kekerasan dan hasutan sangat dominan di media sosial sepanjang tahun lalu.
Studi tersebut mencatat 8.484 unggahan, sebagian besar dari platform X (7.480 unggahan) dibandingkan dengan Facebook (1.004 unggahan).
Semuanya mencerminkan pola permusuhan yang mengkhawatirkan terhadap individu dan komunitas lokal di Yerusalem.
Sebelum dan sesudah 7 Oktober
Dalam studi tentang keamanan digital anak-anak Yerusalem, peneliti Afnan Kanaaneh menyoroti lingkungan sosial anak-anak dan pelanggaran digital, serta kekerasan terkait politik yang meningkat setelah 7 Oktober.
Ia juga menyoroti peran pengasuh dalam keamanan digital anak-anak dan alat serta metode perlindungan digital.
Dalam wawancara panjangnya dengan Al Jazeera Net, Kanaaneh mengatakan bahwa kesadaran anak-anak tidak selalau tentang pelanggaran digital.
Hal itu disebabkan karena pengalaman pribadi seperti pengejaran, penangkapan, atau pengadilan. Melainkan terbentuk dari pengalaman pahit yang dialami oleh teman-teman mereka.
Kanaaneh mewawancarai banyak anak-anak Yerusalem yang mengalami penangkapan, interogasi, atau tahanan rumah karena aktivitas digital mereka. Ia juga mewancarai anak-anak lain yang menceritakan pengalaman teman dan kerabat mereka.
“Sebagian besar tuduhan terhadap anak-anak disebabkan karena menyukai sebuah unggahan terkait Palestina, atau mengonsumsi konten yang oleh Israel dikategorikan sebagai konten teroris. Salah satu anak ditangkap hanya karena menggunakan foto profil berwarna hitam di aplikasi WhatsApp, dan dituduh sedang berkabung atas warga Gaza yang terbunuh,” katanya.
Dengan demikian, latar belakang hitam di media sosial menjadi alat untuk mengejar dan menghukum anak-anak Yerusalem sejak dimulainya perang terakhir di Gaza.
Mereka bahkan ditangkap karena memposting ayat Al-Qur’an atau doa. Meskipun konten itu bersifat pribadi dan tidak terkait perang, menurut Kanaaneh. Ia sedang menempuh studi magister di bidang Komunikasi dan Media di Universitas Haifa.
Salah satu kasus paling aneh yang dialami Kanaaneh adalah penangkapan anak-anak karena bercanda di grup WhatsApp saat rudal Iran mencapai Yerusalem. Salah satu anak menulis “kita kena serang”.
Konsep hasutan yang kabur
Saat ditanya apakah konsep hasutan terlalu kabur sehingga anak-anak Yerusalem tidak bisa menghindarinya, Kanaaneh menjawab bahwa amandemen beberapa undang-undang, seperti Undang-Undang Anti-Terorisme, memungkinkan Israel memperluas alasan untuk mengejar dan menekan warga Palestina.
“Penegak hukum Israel diberi ruang lebih luas untuk mengepung warga Palestina dan meningkatkan tindakan represif, yang berdampak pada pluralisme politik, kebebasan berekspresi, dan hak mendokumentasikan kejahatan pendudukan,” tambah Kanaaneh.
Alat represi dan hukuman yang keras menciptakan lingkungan di mana warga Palestina secara sukarela menahan diri untuk tidak mengekspresikan pendapat atau berpartisipasi dalam politik.
Hal ini menyebabkan menurunnya kepercayaan terhadap sistem hukum karena sistem tersebut melindungi warga Israel dan menindas warga Palestina.
Pengawasan menyeluruh
Melalui wawancara dengan anak-anak, Kanaaneh menyimpulkan bahwa mereka hidup dalam pengawasan ketat.
Otoritas Israel memperlakukan mereka seolah-olah mereka ancaman keamanan dan memposisikan mereka sebagai tersangka atau “teroris potensial”. Penilaian ini tanpa memperhitungkan usia mereka.
“Anak-anak terus-menerus merasa diawasi, bahkan tanpa membawa ponsel. Mereka merasa diawasi hanya karena ada ponsel di kamar mereka, dan beberapa menggambarkan teknologi sebagai ‘manusia super’ yang tahu segalanya tentang mereka,” imbuhnya.
Sejak perang Gaza pecah pada Oktober 2023, Kanaaneh mendokumentasikan banyak kesaksian anak-anak tentang penahanan mereka untuk memeriksa ponsel dan pesan mereka di semua aplikasi.
Salah satu anak menceritakan bahwa seorang tentara menghapus aplikasi Telegram dari ponselnya saat ia ditahan di pos pemeriksaan.
Beberapa anak mengalami pelanggaran yang oleh Kanaaneh digambarkan sebagai “mencekik”, termasuk pemaksaan untuk melepas pakaian mereka.
“Salah satu anak dibawa ke pemakaman dan diperintahkan oleh tentara untuk melepas semua pakaiannya. Pelanggaran ini mencapai titik pelecehan seksual karena anak-anak tidak mampu melindungi bagian tubuh sensitif mereka,” ungkapnya.
Di sisi lain, menurut Kanaaneh, pihak Israel membiarkan hasutan kekerasan yang mendukung genosida di Gaza.
Israel juga mendorong kekerasan terhadap warga Palestina menyebar di dunia digital, menciptakan ruang digital yang tidak aman.
Setelah mendengar kesaksian anak-anak Yerusalem, Kanaaneh mengatakan bahwa sebagian besar merasakan “penindasan, kesepian, kemarahan, dan ketidakadilan”.
Ia mempertanyakan tentang nilai kemanusiaan mereka dan apakah mereka layak hidup dan merdeka seperti warga Israel.
Inisiatif menangani pelanggaran digital
Di akhir wawancaranya, Kanaaneh membahas rekomendasi studi tentang keamanan digital anak-anak. Termasuk wawancara dengan staf lembaga masyarakat sipil dan hak asasi manusia di Yerusalem.
Hal itu dikarenakan peran mereka dalam melindungi anak-anak dan membekali mereka dengan alat untuk memperkuat lingkungan sosial mereka.
“Kami menyerukan pengembangan inisiatif masyarakat sebagai alternatif sistem kepolisian Israel untuk menangani pelanggaran digital terhadap anak-anak, karena polisi menganggap mereka musuh, sehingga tidak layak memberikan perlindungan yang seharusnya disediakan oleh aparat kepolisian,” terangnya.
Studi tersebut menyoroti kebutuhan mendesak lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesadaran hukum dan digital bagi orang dewasa dan anak-anak. Serta pentingnya pelatihan staf mereka dalam masalah keamanan digital.