Menteri Luar Negeri Norwegia, Espen Barth Eide, menegaskan bahwa Israel secara hukum wajib memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Ia menyebut bahwa tindakan penghalangan oleh otoritas pendudukan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Eide menekankan bahwa sikap negaranya berlandaskan pada pendapat hukum yang dikeluarkan Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Rabu (23/10), yang secara tegas menetapkan tanggung jawab Israel sebagai kekuatan pendudukan terhadap wilayah Palestina.
“Keputusan ini sangat jelas, Mahkamah Internasional telah menegaskan kewajiban hukum Israel untuk menjamin akses penuh terhadap bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza. Putusan ini juga menempatkan semua negara pada posisi tanggung jawab hukum dan moral untuk memastikan Israel mematuhi kewajiban tersebut,” ujar Eide.
Putusan ICJ itu merupakan hasil sidang lanjutan dari pembahasan pada April lalu mengenai tanggung jawab hukum Israel terhadap keberadaan lembaga-lembaga internasional di wilayah pendudukan Palestina.
Kala itu, perwakilan Palestina menuding Israel menjadikan pelarangan bantuan sebagai “senjata perang”.
Mahkamah menelaah berbagai argumen tertulis dan lisan dari sejumlah negara serta organisasi internasional mengenai sejauh mana Israel menghormati perjanjian internasional.
Terutama yang menyangkut hak asasi manusia, hukum kemanusiaan, dan kebebasan lembaga bantuan untuk beroperasi di wilayah pendudukan.
Eide menjelaskan bahwa Norwegia, yang menjadi salah satu penggagas permintaan pendapat hukum kepada Mahkamah PBB sepuluh bulan lalu, akan terus menindaklanjuti hasilnya di Majelis Umum PBB.
Ia menilai putusan ICJ kali ini bersifat “tegas dan tidak ambigu”, menandaskan posisi hukum internasional bahwa Israel, sebagai kekuatan pendudukan, harus menjamin aliran bantuan tanpa hambatan apa pun.
Menlu Norwegia menyambut baik gencatan senjata sementara di Gaza yang telah memungkinkan masuknya sebagian bantuan kemanusiaan.
Namun, ia mengakui situasi di lapangan masih jauh dari ideal.
“Keadaan memang sedikit membaik dibanding dua minggu lalu, terutama setelah meningkatnya pengiriman bantuan dari Yordania dan Mesir. Tapi kebutuhan di Gaza sangat besar; ini baru langkah awal,” ujarnya.
Eide menyerukan koordinasi dan kerja sama internasional yang lebih erat untuk memenuhi kebutuhan mendesak warga Gaza.
Ia menegaskan bahwa keputusan ICJ juga memperkuat legitimasi dan netralitas UNRWA, badan PBB yang selama ini menjadi ujung tombak penyaluran bantuan di wilayah pendudukan, sekaligus menolak tuduhan Israel bahwa lembaga itu terhubung dengan Hamas.
“Israel harus mengizinkan lembaga kemanusiaan bekerja tanpa hambatan. Tugas kita bersama adalah memastikan keputusan Mahkamah tidak berhenti di atas kertas, tetapi dijalankan nyata di lapangan,” tegas Eide.
Menuju fase kedua: Perdamaian dan rekonstruksi
Eide juga menyerukan pembentukan kekuatan internasional untuk mengawasi kepatuhan Israel terhadap putusan ICJ dan menjaga stabilitas keamanan di fase pascaperang.
“Kita harus segera bergerak menuju tahap kedua — dari perang menuju stabilitas — sebelum kehilangan lebih banyak waktu dan nyawa,” katanya.
Ia mengakui jalan menuju perdamaian “tidak akan mudah”, dan mengantisipasi kemungkinan adanya “upaya sabotase dari kedua pihak — baik Israel maupun Hamas”.
Namun, menurutnya, proses perdamaian selalu menuntut pengorbanan dan kompromi dari semua pihak.
Terkait rekonstruksi Gaza, Eide mengungkapkan rencana penyelenggaraan konferensi internasional di Mesir yang akan membahas upaya pembangunan kembali wilayah yang luluh lantak akibat perang.
Ia menambahkan bahwa Norwegia, bersama mitra-mitra internasionalnya, tengah mendorong pembentukan pemerintahan teknokrat sementara di Gaza.
Tujuannya, untuk mengelola urusan sehari-hari, sebagai langkah menuju pembentukan entitas Palestina yang bersatu antara Gaza dan Tepi Barat.
“Rakyat Palestina berhak hidup dalam keamanan, dengan pemerintahan yang efektif dan damai. Dan dunia memiliki kewajiban moral untuk membantu mewujudkannya,” pungkas Eide.