Oleh: Dr. Jamal Qasim*
Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump untuk menggempur reaktor nuklir Iran menggunakan pesawat pengebom siluman B-2 Spirit—salah satu alutsista tercanggih dunia—menandai titik balik penting dalam eskalasi konflik Timur Tengah.
Serangan ini dilakukan di tengah tekanan yang terus meningkat dari Israel yang ingin menyeret Washington ke dalam perang terbuka dengan Iran, perang yang kini tak lagi bersifat tersembunyi.
Ketidakmampuan Angkatan Udara Israel menghancurkan sepenuhnya program nuklir Iran, khususnya reaktor bawah tanah Fordow, telah menempatkan Tel Aviv dalam posisi genting.
Ketakutan akan berlarut-larutnya perang, gempuran rudal Iran ke jantung wilayah Israel, serta beban ekonomi yang kian berat akibat operasi militer yang melelahkan, membuat Israel mendorong sekutunya—AS—untuk melancarkan serangan telak yang dapat mengubah arah konflik.
Selama beberapa hari terakhir, tekanan Israel terhadap Presiden Trump begitu jelas. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan faksi garis keras Partai Republik menggambarkan penghancuran program nuklir Iran sebagai misi yang tak sesulit yang dibayangkan publik.
Menurut mereka, rezim di Teheran terlalu rapuh untuk berani melawan kepentingan Amerika secara langsung di kawasan.
Presiden Trump tampaknya juga menghitung bahwa respons Iran tidak akan jauh berbeda dari peristiwa pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani pada masa jabatan pertamanya dulu.
Ketika itu, Iran hanya membalas secara terbatas terhadap sasaran Amerika tanpa memicu perang besar-besaran.
Konflik Islam-Israel
Yang membedakan situasi kali ini adalah keterlibatan langsung Iran—sebuah negara Islam non-Arab—dalam konflik Israel.
Untuk pertama kalinya sejak berdirinya negara Israel pada 1948, sebuah negara Muslim non-Arab menyerang langsung wilayah Israel.
Ini merupakan lompatan besar dari posisi Iran sebelumnya yang hanya mendukung kelompok-kelompok perlawanan anti-Israel.
Kini, isu Palestina betul-betul telah menjadi isu dunia Islam, dengan darah yang tumpah bukan hanya di Gaza, tetapi juga di jalan-jalan Teheran.
Perdana Menteri Netanyahu tampak ingin memanfaatkan Perang Gaza sebagai batu loncatan untuk memperkuat dominasi Israel di kawasan, dengan menyingkirkan setiap kekuatan regional yang dapat menjadi penantang.
Ia memulai kampanye luas, bukan hanya terhadap Hamas di Gaza, tetapi juga Hezbollah di Lebanon dan proksi Iran lainnya.
Dengan mengandalkan kejatuhan rezim Bashar al-Assad di Suriah, sekutu utama Iran, Netanyahu melihat peluang untuk menggulung pengaruh Teheran sekaligus mengakhiri program nuklirnya.
Dukungan strategis terhadap kemenangan Trump dalam pemilu AS menjadi bagian dari kalkulasi Israel.
Dan kali ini, perhitungan Netanyahu terbukti manjur. Trump akhirnya memenuhi permintaan Tel Aviv dengan menggempur fasilitas nuklir Iran.
Presiden Trump sendiri sebelumnya telah melibatkan Iran dalam 5 putaran perundingan langsung yang tidak membuahkan hasil.
Ia sempat membuka kemungkinan kompromi, yakni mengizinkan Iran memperkaya uranium pada tingkat rendah untuk tujuan damai, asalkan ada pengawasan ketat.
Namun, pada akhirnya, ia beralih ke posisi keras Israel yang menuntut pelarangan total atas pengayaan uranium sebagai satu-satunya jaminan bahwa Iran tak akan pernah memiliki senjata nuklir.
Meski Israel kini terang-terangan mendorong kebijakan “pergantian rezim” di Iran, kecil kemungkinan AS mengikuti jejak invasi seperti ke Irak pada 2003.
Trump tampak lebih ingin mengirimkan pesan: bahwa serangan udara ini adalah pilihan terakhir setelah diplomasi gagal.
Dalam pidatonya, Trump menegaskan bahwa serangan ke reaktor Iran tidak dimaksudkan untuk memperluas perang, melainkan menjadi titik tolak bagi proses perdamaian.
Ini kontras dengan pendekatan George W. Bush ketika melancarkan invasi ke Irak dua dekade lalu.
Isyarat bahwa Washington tidak ingin membawa konflik ini ke medan perang yang lebih luas, terlihat pula dari berbagai saluran diplomatik yang diam-diam dibuka kembali.
Melalui “diplomasi pintu belakang”, Amerika diduga telah menyampaikan pesan kepada Teheran bahwa konflik ini tak perlu bereskalasi lebih jauh.
Namun, pesan ini bisa jadi justru berbalik arah. Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran bisa memperkuat tekad Teheran untuk mempercepat program nuklirnya dan—untuk pertama kalinya secara terbuka—berupaya memperoleh senjata nuklir, berapa pun biayanya.
Kerapuhan sistem keamanan Israel
Perang yang kini berlangsung antara Iran dan Israel membuka tabir kebutuhan mendesak Israel akan dukungan militer langsung dari AS.
Situasi ini sekaligus mengungkap kelemahan serius dalam sistem keamanan Israel, menjadikannya lebih bergantung pada Washington dibanding masa-masa sebelumnya.
Ketergantungan ini juga bisa membuat Israel semakin rentan terhadap tekanan AS, terlebih jika Presiden Donald Trump memutuskan untuk mengakhiri perang yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.
Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah konflik regional, Amerika terlibat langsung dalam perang yang tengah dijalani Israel, bukan hanya dalam bentuk dukungan politis atau bantuan senjata, melainkan melalui keterlibatan militer penuh demi mencapai tujuan bersama.
Implikasi dari intervensi ini kemungkinan besar akan terasa dalam waktu dekat, terutama dalam mendorong proses rekonsiliasi antarnegara Muslim di kawasan, seperti terbukanya peluang perbaikan hubungan antara Turki dan Suriah, atau antara Turki dan Mesir.
Namun, Israel tampaknya telah melakukan kesalahan strategis besar dengan memperluas front perangnya.
Dimulai dari Gaza, lalu merambah ke Lebanon, Yaman, Suriah, dan kini Iran—semua ini memperlebar medan tempur yang justru melemahkan posisi Israel sendiri.
Serangan rudal Iran yang berhasil menembus pertahanan Israel memperlihatkan bahwa keunggulan teknologi militer saja tidak cukup menjamin keamanan dan ketenangan bagi warga Israel.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah panjang peperangan Israel di kawasan, rakyat Israel merasa terancam di jantung kota-kota besar mereka—di Tel Aviv, Haifa, dan wilayah lainnya.
Perubahan opini publik Amerika
Kendati masyarakat Amerika selama ini lebih disibukkan oleh isu-isu domestik seperti ekonomi, sosial, dan politik dalam negeri, sejarah mencatat bahwa beberapa perang di luar negeri—seperti Perang Vietnam dan Perang Irak—telah meninggalkan dampak mendalam pada opini publik Amerika.
Menariknya, serangan udara Amerika terhadap Iran saat ini berpotensi menyatukan 2 kutub ideologis yang selama ini kerap berseberangan.
Yaitu kelompok konservatif kanan yang menentang keterlibatan militer luar negeri karena alasan ekonomi, dan kalangan progresif kiri yang menolak perang atas dasar kemanusiaan.
Kedua kelompok ini kini sama-sama menuntut diakhirinya keterlibatan militer Amerika di luar negeri.
Terutama setelah pengalaman traumatis di Afghanistan dan Irak yang berkontribusi besar terhadap meningkatnya utang publik dan defisit anggaran negara selama lebih dari dua dekade.
Seruan penghentian perang juga menggema di kampus-kampus ternama Amerika, yang mengangkat isu kemanusiaan di Gaza dan penderitaan rakyat Palestina.
Tak pelak, serangan Amerika terhadap Iran diperkirakan akan memperbesar perhatian publik terhadap biaya politik dan ekonomi yang harus dibayar AS demi mendukung Israel.
Diskusi yang mulai muncul di berbagai media lokal Amerika mengenai peran Washington di Timur Tengah dan kedekatannya dengan Israel menunjukkan adanya perubahan atmosfer politik domestik.
Ini menjadi dinamika yang sebelumnya jarang terjadi dan patut dicermati dalam jangka panjang.
Saat ini, Presiden Trump boleh jadi telah berhasil merebut inisiatif militer dan politik dengan menghantam fasilitas nuklir Iran di Fordow.
Namun, Iran sendiri belum mengeluarkan semua kartu as-nya. Teheran masih memiliki beragam instrumen politik dan kekuatan militer yang cukup untuk memperpanjang konflik, sesuatu yang mungkin tak akan sanggup ditanggung Israel sendirian.
*Dr. Jamal Qasim merupakan seorang spesialisasi dalam Studi Timur Tengah dan Ilmu Politik di Grand Valley State University di Amerika Serikat. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Madzā Ya’nī Dharb Amrīkā li Īrān?”.