Sunday, June 1, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Apa yang dicari Trump di Timur Tengah?

OPINI: Apa yang dicari Trump di Timur Tengah?

Oleh: Dr. Basil Hussein*

Di sudut-sudut sepi peta pengaruh global—di mana garis-garis geografi bertemu dengan pola-pola dominasi, dan prinsip-prinsip bertukar rupa dengan kepentingan layaknya bayangan di senja hari—kehadiran Donald Trump dalam gelanggang politik luar negeri tidak lain adalah gebrakan keras terhadap tatanan yang lama dikungkung tradisi protokoler dan bahasa diplomasi institusional.

Trump tidak datang sebagai reformis yang hendak merancang ulang tatanan dunia, melainkan sebagai negosiator yang menimbang untung dan rugi, menilai transformasi dari kaca mata pasar, bukan dari sudut pandang nilai atau teori transisi demokrasi.

Dalam konteks ini, pendekatannya terhadap Timur Tengah tidak mencerminkan suatu “doktrin” seperti yang pernah diperkenalkan Truman, Carter, atau Bush.

Sebaliknya, ia melambangkan antitesis dari komitmen moral yang dahulu kerap menjadi fondasi diplomasi Amerika Serikat (AS).

Trump meletakkan fondasi pada pendekatan yang tidak mengutamakan ekspor model politik atau intervensi demi perubahan.

Ia justru memilih untuk mendefinisikan ulang legitimasi bukan atas dasar keabsahan nilai-nilai demokratis, tetapi berdasarkan kegunaan praktisnya.

Demokrasi, dalam pandangannya, adalah investasi berisiko tinggi yang lebih baik dihindari ketimbang dikembangkan.

Dalam dunia yang diatur oleh logika transaksi, Trump menjauhkan kebijakan luar negerinya dari semangat “tugas pembaruan”, dan menggantikannya dengan narasi tentang bagaimana sebuah negara dapat diperintah tanpa mengganggu tatanan kepentingan yang telah mapan.

Inilah wajah kebijakan luar negeri AS di bawah Trump: tidak ingin terlibat dalam proyek-proyek transformasi terbuka, tetapi lebih memilih stabilitas yang bisa dimanfaatkan dan dinegosiasikan.

Filosofi ini menemukan momentumnya dalam kunjungan terakhir Trump ke Timur Tengah pada Mei 2025.

Perjalanan yang mencakup Riyadh, Abu Dhabi, dan Doha itu menandai babak baru dalam relasi Amerika dengan kawasan: bukan lagi sebagai penceramah demokrasi, melainkan sebagai mitra pragmatis yang mengukur relasi berdasarkan stabilitas dan kesepakatan.

Di Riyadh, Trump secara terbuka menyatakan bahwa proyek demokratisasi di Baghdad dan Kabul tidak lebih dari sebuah petualangan gagal yang menyita energi dan sumber daya tanpa menghasilkan model yang bisa bertahan atau ditiru.

Sebagai gantinya, ia menawarkan visi kerja sama yang tidak saling memaksakan, namun menjaga kepentingan bersama dalam bingkai yang simetris.

Trump juga menyampaikan penghargaan terhadap apa yang ia sebut sebagai “efektivitas model pemerintahan stabil” yang berhasil menciptakan iklim pembangunan, kemitraan strategis, dan struktur keamanan yang tangguh—tanpa perlu terlibat dalam eksperimen politik atau menduplikasi model dari luar.

Dengan demikian, keterlibatan Trump di kawasan diwarnai oleh kecenderungan untuk menjadikan relasi bilateral sebagai kontrak-kontrak besar: dari kesepakatan alutsista hingga kemitraan digital.

Semua ini mencerminkan filosofi yang memandang negara mitra sebagai aktor rasional, bukan sebagai objek rekayasa sosial atau target agenda perubahan struktural dari luar.

Pandangan Trump terhadap Timur Tengah bukanlah kebijakan sementara, melainkan visi menyeluruh yang mengedepankan stabilitas yang bisa dinegosiasikan.

Ia menangguhkan—bukan menolak—pertanyaan besar soal transisi politik. Sebuah pendekatan yang tidak bertumpu pada nilai-nilai liberal klasik, melainkan pada tuntutan manajemen kepentingan dan keseimbangan kekuasaan yang lentur.

Dalam bentuknya yang utuh, prinsip Trump bukanlah dokumen resmi, melainkan narasi tak tertulis yang lahir dari realitas lapangan, bukan dari perumusan konseptual.

Ini bukan ajakan pada stagnasi, melainkan penundaan sistematis atas perubahan, agar peta kepentingan tetap cair dan dapat diatur sesuai kalkulasi politik terkini.

Pada akhirnya, kehadiran Amerika di kawasan pun menjadi bersyarat: bukan berdasarkan misi penyebaran nilai, tetapi atas dasar kesepahaman strategis.

Bukan karena dominasi ideologis, melainkan karena kemampuan untuk beradaptasi pada realitas sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya menurut teori.

Prinsip Trump di Timur Tengah tidak mewakili pembalikan arah total kebijakan luar negeri Amerika, tetapi justru perwujudan paling ekstrem dari pragmatisme itu sendiri.

Sebuah pendekatan yang mereduksi nilai menjadi kalkulasi, dan menjadikan urusan geopolitik sebagai perpanjangan dari dinamika pasar—campuran antara intuisi dan perhitungan, yang lebih mengutamakan stabilitas menguntungkan daripada perubahan yang penuh risiko.

Dengan pendekatan ini, Trump tidak sedang membuka jalan bagi fase transisi baru. Ia justru sedang membingkai era politik yang berbeda—di mana prinsip-prinsip lama dipertanyakan, dan kepastian-kepastian lama ditangguhkan.

Sebuah dunia baru yang tak lagi diatur oleh ideologi, tetapi oleh kemampuan bertahan dalam pusaran kepentingan yang terus bergerak.

*Dr. Basil Hussein adalah seorang peneliti dan Profesor Hubungan Internasional dari Irak. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Mā al-Lladzī Yabḥatsu ‘Anhu Trām Fī al-Syarqi al-Ausaṭh?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular