Wednesday, March 19, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Apa yang diinginkan Israel dari genosida terbaru di Gaza?

OPINI: Apa yang diinginkan Israel dari genosida terbaru di Gaza?

Oleh: Sari Orabi

Israel mengklaim bahwa mereka melanjutkan perang terhadap Gaza karena Hamas menolak mencapai kesepakatan untuk membebaskan tawanan Israel yang ditahan oleh mereka.

Klaim ini tidak lebih dari propaganda bohong semata. Bahkan jika didukung oleh Amerika Serikat (AS) dalam konteks dukungannya terhadap perang Israel terhadap Gaza — sejak awal, berlanjut, dan diperbarui — tanpa ada perbedaan antara pemerintahan Biden dan Trump.

Cukuplah diingat bahwa Israel telah berhasil membebaskan banyak tahanannya melalui gencatan senjata, bukan melalui tembakan.

Kita tidak perlu lebih dari pernyataan yang diungkapkan oleh mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang mengatakan bahwa kesepakatan yang dicapai dengan Hamas pada Januari 2025 sebenarnya bisa saja tercapai beberapa bulan sebelumnya. Namun dengan syarat yang lebih baik bagi Israel jika bukan karena sikap keras kepala Benjamin Netanyahu.

Jika kita menggabungkan pernyataan Gallant dengan perilaku Israel sejak kesepakatan itu dibuat, menjadi jelas bahwa Israel tidak menginginkan apa-apa selain membebaskan para tahanannya. Lalu melanjutkan perang dengan karakter genosida.

Israel menolak memenuhi kewajiban penting yang ditetapkan dalam kesepakatan tersebut. Seperti memasukkan bantuan kemanusiaan dan rumah sementara, serta memulai negosiasi tahap kedua.

Negoisasi itu seharusnya — menurut kesepakatan — mengarah pada pembebasan sisa tawanan Israel dengan prinsip negosiasi yang baru, berbeda dari tahap pertama.

Israel tidak hanya menolak melaksanakan kewajiban dalam tahap pertama. Tetapi setelah membebaskan sebagian besar tahanannya.

Israel berusaha mengosongkan makna kesepakatan itu sebagai gencatan senjata, dan mengubahnya menjadi sekadar kesepakatan pertukaran tawanan yang tidak menyiratkan penghentian perang atau penarikan pasukan. Dalam hal ini, Israel didukung oleh Amerika Serikat.

Hal ini memperjelas bahwa masalah sepanjang perang adalah kemauan Israel yang memisahkan isu tahanan dari kelanjutan perang.

Mereka ingin membebaskan tahanannya, tetapi tanpa menghentikan perang. Bahkan jika Hamas menyerahkan semua tawanan Israel dengan syarat penghentian perang tanpa meminta pembebasan tawanan Palestina, Israel tetap tidak akan menerimanya.

Fakta ini kini telah menjadi kenyataan yang terang benderang.

Oleh karena itu, perang dan niat Israel harus dievaluasi kembali secara terpisah dari perilaku dan pilihan Hamas.

Karena Israel tidak ingin membiarkan rakyat Palestina memiliki pilihan apa pun — bahkan jika itu berupa penyerahan diri.

Ditambah lagi, masalah yang disebut sebagai “hari setelah”, namun Israel dan AS serta mungkin negara-negara regional tertentu yang tidak menginginkan perang berakhir tanpa kekalahan total Hamas dan perlawanan Palestina, justru menolak.

“Hari setelah” adalah hari di mana Hamas telah menyetujui usulan Mesir untuk membentuk komite penunjang yang mengelola Gaza tanpa melibatkan Hamas, dan negara-negara Arab telah menyusun rencana untuk membangun kembali Gaza.

Terlepas dari intensitas dan alatnya, Israel terus menggunakan metode kelaparan dan menghalangi rakyat Palestina dari sumber-sumber ketahanan hidup sepanjang tahap pertama.

Dapat dipastikan bahwa metode ini akan terus digunakan untuk memeras dalam hal bantuan, rumah sementara, dan pembangunan kembali, jika kesepakatan berlanjut.

Ini adalah tindakan agresif dengan karakter perang yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan genosida dan pengusiran. Kebijakan Israel terhadap Gaza tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan situasi regional.

Jika Israel melanjutkan ekspansinya di Suriah dan Lebanon, serta terus melakukan agresi terhadap kedua negara, meskipun pemerintahan baru Suriah tidak memiliki sejarah konfrontasi dengan Israel dan bahkan menahan diri dalam mengkritik agresi Israel terhadap Suriah — hingga beberapa pendukungnya menilai bahwa sikap ini terlalu lunak — maka bagaimana mungkin Israel menarik diri dari Gaza pada saat bersejarah ini?

Kebijakan kolonial Israel secara historis didasarkan pada pemaksaan realitas dan kemudian bergantung pada realitas ini dalam setiap usaha selanjutnya, baik itu militer maupun diplomatik.

Jika ini adalah kebijakan Israel di kawasan, maka bagaimana dengan Tepi Barat? Israel menjalankan kampanye keamanan intensif yang mendalam dan berkepanjangan.

Hal ini menyebabkan pengusiran puluhan ribu warga Palestina dari kamp-kamp di utara Tepi Barat, tanpa ada penolakan serius dari pihak regional atau internasional.

Karena genosida di Gaza selama 15 bulan tidak mendapat penolakan regional dan internasional yang serius.

Begitu pula kebijakan pengusiran dan penghancuran di Tepi Barat — meskipun tidak ada lagi dalih mengenai Hamas dan peristiwa 7 Oktober, atau propaganda Israel yang mendasari perang genosida terhadap Gaza — maka kemungkinan Israel melanjutkan perang terhadap Gaza tetap terbuka, tanpa mempedulikan dampaknya terhadap rakyat Gaza.

Dalam beberapa jam saja, lebih dari 400 warga Palestina gugur dan lebih dari 500 terluka. Dukungan Amerika terhadap kelanjutan perang dengan karakter genosida sudah jelas terjamin.

Hal ini tidak terpisah dari politik domestik Israel, termasuk pelarian Benjamin Netanyahu yang terus-menerus dari proses hukum dan pertanggungjawaban atas kegagalan terkait 7 Oktober. Dengan manifestasi terakhir berupa konfliknya dengan Kepala “Shin Bet” Ronen Bar.

Namun, pertimbangan domestik ini adalah bagian dari gambaran yang lebih besar, yaitu perjuangan sayap kanan Israel untuk menguasai seluruh struktur kekuasaan Israel, yang memerlukan selubung perang ini.

Dengan demikian, kembalinya partai “Kekuatan Yahudi” yang dipimpin Itamar Ben Gvir ke pemerintahan Netanyahu dapat dipahami. Di mana ternyata kesepakatan kembalinya mereka telah dicapai 5 hari sebelum Israel kembali melancarkan perang genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza.

Di sini, proyek-proyek sayap kanan Israel di dalam negeri, visi strategis entitas Israel, serta kepentingan pribadi Benjamin Netanyahu saling terkait.

Netanyahu ingin menjamin stabilitas koalisi pemerintahannya. Karena adanya kekhawatiran terhadap partai-partai Haredi yang bersekutu dengannya.

Dengan demikian kemungkinan untuk mengambil keputusan atau ada anggota parlemen mereka yang memilih menolak anggaran atau undang-undang wajib militer.

Israel merasakan kebebasan penuh selama perangnya terhadap Gaza, lalu memperluasnya ke Tepi Barat dan ke negara-negara tetangga.

Saat mereka kembali memulai perang genosida terhadap Gaza, mereka juga memperluas kampanye keamanan dan militer ke utara Tepi Barat. Termasuk Nablus dan kamp-kamp pengungsi di sana.

Artinya, Israel dapat melanjutkan dengan intensitas yang sama ke daerah lain di Tepi Barat yang relatif tenang selama beberapa tahun terakhir.

Hal ini merupakan bagian dari rencana domestik sayap kanan untuk menguasai kekuasaan, serta bagian dari kebijakan kolonial terkait aneksasi dan pengusiran.

Selain itu juga bagian dari visi strategis Israel yang melihat ini sebagai peluang historis untuk memperkuat realitas baru dan memperbarui dominasi Israel.

Selama mereka merasa bebas bertindak, apa yang mencegah mereka melanjutkan perang? Apa yang menghalangi Netanyahu menggunakan darah rakyat Gaza untuk memperkuat koalisinya dan meloloskan anggaran?

*Sari Orabi adalah seorang Penulis dan peneliti tentang isu-isu Arab dan Islam. Mantan tahanan pendudukan Israel beberapa kali, total lima tahun, dan mantan tahanan politik Otoritas Palestina. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Mādzā Turīd Isrāīl?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular