Thursday, July 24, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Bagaimana menghentikan politik kelaparan di Gaza?

OPINI – Bagaimana menghentikan politik kelaparan di Gaza?

Oleh: Sari Arabi

Kelaparan yang saat ini melanda warga Gaza bukanlah akibat sampingan dari perang, melainkan kebijakan yang disengaja.

Hal ini bagian dari proyek genosida yang tengah dijalankan untuk menaklukkan dan pada akhirnya mengusir warga Gaza dari tanah mereka.

Dalam sejumlah pertemuan kabinet politik dan keamanan Israel, ketika dibahas bagaimana mempercepat dan “menyelesaikan” operasi militer dengan mencapai tujuan strategis yang diinginkan, muncul perdebatan antara pihak militer dan politisi.

Sementara sebagian mempertimbangkan okupasi penuh atau apa yang disebut “koridor kemanusiaan”, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu justru mengusulkan satu hal: memperketat blokade atas Gaza.

Usulan ini, jika dilihat sekilas, tampak aneh. Sebab Gaza memang sudah sejak lama hidup dalam cengkeraman blokade.

Namun yang dimaksud Netanyahu adalah penghentian total—mencegah masuknya bahan makanan yang selama ini masih terbatas masuk selama berbulan-bulan perang berlangsung.

Dengan demikian, kelaparan yang sejak awal memang telah dijadikan sebagai senjata dalam perang ini, kini berkembang menjadi fase lebih ekstrem: kelaparan total.

Warga Gaza tak lagi memiliki apa pun untuk dimakan, bahkan dedak hewan yang dahulu sempat dijadikan bahan roti pun kini tak tersedia.

Tujuannya jelas: memaksa penyerahan total dengan mendorong proyek genosida mencapai “penyelesaian akhir”.

Bersamaan dengan pembunuhan massal, pengusiran, dan pengeboman yang tak kunjung henti, pasukan Israel juga terus merangsek ke wilayah tengah Gaza.

Mereka menciptakan jalur isolasi baru yang memisahkan Deir al-Balah dari kawasan Al-Mawasi.

Di saat yang sama, Israel memainkan peta negosiasi dengan tetap membuka kemungkinan menciptakan zona-zona transisi kemanusiaan yang sejatinya adalah kamp-kamp konsentrasi modern.

Di kamp-kamp ini, warga dipisahkan berdasarkan afiliasi politik untuk memudahkan Israel menargetkan para pendukung kelompok perlawanan, termasuk keluarga mereka—sekalipun tidak terlibat dalam sayap militer kelompok tersebut.

Lebih dari itu, lembaga yang disebut “Gaza Humanitarian Foundation” justru berfungsi sebagai alat untuk memperdalam penderitaan warga Gaza.

Titik distribusi bantuan mereka berubah menjadi “zona kematian”—warga yang antre untuk mendapatkan makanan justru dibombardir, dijadikan target, dan diintimidasi agar menyerah atau meninggalkan Gaza ketika “kesempatan” itu tiba.

Di balik semua itu, institusi ini juga berfungsi ganda: sebagai instrumen propaganda dan legitimasi hukum bagi kelanjutan perang dan kelaparan, seolah bantuan tetap mengalir dan tidak ada krisis yang dibuat secara sistematis.

Tak hanya itu, milisi-milisi lokal bersenjata yang disponsori oleh Israel turut diperkuat, diberi tempat aman oleh militer, dan digunakan untuk memecah-belah masyarakat Gaza dari dalam.

Situasi ini diperparah oleh keterlibatan langsung Amerika Serikat (AS). Sejak awal Mei 2025, AS mengumumkan pendirian sistem baru penyaluran bantuan melalui sektor swasta.

Gaza Humanitarian Foundation dipimpin oleh Johnny Moore, seorang pendeta evangelis yang pernah menjabat sebagai penasihat Gedung Putih di era Presiden Donald Trump.

Ini mengindikasikan bahwa AS bukan sekadar “mendukung” melainkan turut aktif merancang sistem kelaparan sebagai strategi.

Dengan demikian, semua narasi tentang “perbedaan” antara AS dan Israel dalam menyikapi perang ini perlu dikaji ulang.

Kelaparan ini bukan kebijakan sepihak Israel, tetapi hasil dari kolaborasi internasional yang terstruktur.

Di Eropa, situasinya tak jauh berbeda. Uni Eropa memang sempat menyatakan telah mencapai kesepakatan dengan Israel untuk memperbaiki kondisi kemanusiaan di Gaza, meningkatkan jumlah truk bantuan, dan membuka kembali jalur distribusi.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya: kelaparan makin meluas, bahkan memicu bencana kelaparan mematikan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pernyataan 25 negara Barat pada 21 Juli lalu—termasuk Inggris, Prancis, Italia, Jepang, dan Kanada—memang mengutuk Israel atas model penyaluran bantuannya yang dianggap “berbahaya dan merampas martabat kemanusiaan rakyat Gaza”.

Tapi sejauh ini, pernyataan semacam itu belum membuahkan perubahan apa pun.

Langkah-langkah seperti pemberlakuan sanksi terhadap Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich oleh Inggris, Kanada, Australia, dan Norwegia pada 10 Juni lalu, hanya berfungsi sebagai sinyal moral di ranah diplomasi.

Pada kenyataannya, kebijakan kelaparan tetap dilaksanakan dan terus menjadi bagian dari operasi militer.

Bahkan tuntutan terhadap Israel atas kejahatan genosida di Mahkamah Internasional pun belum membuahkan hasil nyata.

Putusan-putusan pengadilan internasional seperti tak punya daya paksa, dan kekebalan Israel terhadap akuntabilitas hukum tetap terjaga.

Namun faktor paling menentukan dari kelanjutan genosida dan kelaparan ini adalah ketiadaan respons tegas dari kawasan regional—khususnya dunia Arab dan Islam.

Meski agresi Israel kini melampaui Gaza dan merambah Lebanon serta Suriah, belum terlihat adanya langkah serius untuk menahan laju kehancuran ini.

Bahkan, transformasi besar yang sedang dijalankan Israel—yakni menjadikan Gaza sebagai batu loncatan untuk tampil sebagai kekuatan regional semi-imperial—masih berlangsung tanpa perlawanan yang berarti.

Bukan hanya penderitaan warga Gaza yang dibiarkan berlarut-larut, melainkan juga gagalnya negara-negara kawasan untuk membaca ulang ancaman strategis Israel terhadap stabilitas kawasan secara menyeluruh. Yang terjadi adalah diam kolektif yang menyedihkan.

Bagaimana kelaparan bisa dihentikan?

Dalam membicarakan jalan keluar dari bencana kelaparan di Gaza, dunia Arab dan Islam tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab langsung atas situasi yang terjadi.

Sebab, ketika para pemimpin negara-negara Arab dan Islam berkumpul dalam KTT gabungan di Riyadh pada 11 November 2023, mereka dengan tegas menyerukan agar bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza “secara segera, berkelanjutan, dan mencukupi”.

Seruan serupa kembali ditegaskan setahun kemudian, dalam KTT lanjutan yang juga berlangsung di Riyadh.

Namun hingga hari ini, pernyataan-pernyataan tersebut tetap tinggal sebagai teks di atas kertas. Tidak ada langkah nyata yang diambil untuk melaksanakan keputusan bersama tersebut.

Maka pertanyaannya, mengapa dunia Arab dan Islam gagal mengimplementasikan komitmen yang mereka umumkan secara kolektif?

Apakah keputusan-keputusan itu sejak awal memang tidak dimaksudkan untuk dijalankan? Ataukah pernyataan tersebut hanyalah manuver retoris untuk menyelamatkan muka dan menenangkan opini publik, tanpa niat sungguh-sungguh untuk bertindak?

Apa pun jawabannya, yang pasti, kebuntuan dunia Arab dalam menghadapi krisis ini telah menjadi faktor utama yang memungkinkan kebijakan genosida dan kelaparan terus berlangsung.

Hal ini terlepas dari apapun dalih yang diajukan: apakah soal menjaga hubungan normalisasi dengan Israel, apakah karena ketakutan akan dampak geopolitik, atau karena keberpihakan diam-diam kepada narasi yang melemahkan perjuangan rakyat Palestina.

Lebih buruk lagi, sebagian besar negara Arab justru mempersempit ruang publik—membungkam suara rakyatnya sendiri agar tidak bisa menekan pemerintah untuk berpihak kepada Gaza. Bahkan sekadar dukungan moral pun menjadi barang langka.

Faktanya, masalah utama bukan terletak pada kurangnya bantuan atau dana. Andaikata pemerintah-pemerintah Arab membuka keran solidaritas, rakyat-rakyat mereka—termasuk yang termiskin—akan dengan rela berbagi rezeki dan memotong jatah makan anak-anak mereka sendiri demi membantu warga Gaza.

Namun, masalahnya justru lebih struktural. Pertama, bagaimana membuka jalur distribusi agar bantuan benar-benar sampai ke Gaza.

Kedua, bagaimana menghentikan genosida secara efektif. Ketiga, bagaimana melindungi perlawanan rakyat Palestina yang selama ini menjadi sasaran pengepungan, delegitimasi, dan pengkhianatan.

Terlepas dari apa pun pandangan terhadap strategi perlawanan Palestina—baik dari segi metode, ideologi, maupun visi politiknya—membiarkan genosida terjadi atas mereka berarti juga membiarkan kehancuran martabat politik dunia Arab.

Ini bukan hanya soal Gaza, melainkan tentang dominasi Israel yang kian menjadi-jadi di seluruh kawasan.

Dari titik inilah, solusi sejati harus muncul dari dunia Arab sendiri. Sebuah langkah nyata dan kolektif diperlukan, terutama mengingat fakta bahwa bantuan kemanusiaan selama ini tertahan di sisi perbatasan Mesir.

Jika dunia Arab serius, maka ia bisa memaksakan kehendaknya: menerobos blokade, menjalankan keputusan KTT, dan memanfaatkan kekuatan kolektif untuk menciptakan perubahan.

Israel, pada akhirnya, tidak akan berani mempertaruhkan seluruh hubungan regionalnya dengan negara-negara Arab, apalagi jika berhadapan dengan front politik dan diplomatik bersama yang bersikap tegas dan sah secara hukum dan moral.

Lebih dari itu, negara-negara Arab juga bisa membuka ruang publiknya—membiarkan rakyatnya menyuarakan solidaritas terhadap warga Gaza, mengekspresikan amarahnya atas kejahatan kemanusiaan yang sedang berlangsung.

Langkah ini bukan hanya akan memperkuat legitimasi moral pemerintah masing-masing, tetapi juga dapat memberi tekanan tambahan terhadap AS, agar menghentikan dukungannya terhadap kebijakan kelaparan yang terus dijalankan.

Dengan kata lain, dunia Arab dan Islam masih memegang kunci. Pertanyaannya kini bukan apa yang bisa dilakukan, melainkan apakah ada kemauan politik untuk melakukannya.

Sebab, jika kelaparan di Gaza dibiarkan terus berlanjut, sejarah akan mencatat bahwa genosida ini tidak hanya dilakukan oleh pelaku langsung, tetapi juga oleh mereka yang memilih diam.

*Sari Arabi adalah seorang penulis dan peneliti isu-isu Arab dan Islam. Sebelumnya, ia pernah dipenjara oleh pendudukan Israel beberapa kali selama total 5 tahun, dan pernah menjadi mantan tahanan politik oleh Otoritas Palestina. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Kaifa Nūqif Tajwī’ Ghazah?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular