Saturday, April 19, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Benarkah pengusiran massal di Gaza semakin dekat?

OPINI: Benarkah pengusiran massal di Gaza semakin dekat?

Oleh: Chris Hedges

Kondisi di Jalur Gaza semakin mengkhawatirkan. Sejak 2 Maret lalu, Israel memperketat blokade wilayah tersebut dengan menghentikan pasokan pangan dan bantuan kemanusiaan.

Aliran listrik juga diputus, mengakibatkan stasiun penyulingan air terakhir di Gaza berhenti beroperasi.

Militer Israel kini telah menguasai hampir separuh wilayah Gaza—sebuah daerah yang membentang sepanjang 40 kilometer dengan lebar antara 6 hingga 8 kilometer.

Sekitar dua pertiga warga sipil diperintahkan untuk mengungsi, termasuk dari Kota Rafah yang saat ini terkepung oleh pasukan Israel. Wilayah-wilayah ini kemudian dinyatakan sebagai “zona terlarang”.

Pada Jumat lalu, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz menyatakan bahwa Israel akan “meningkatkan intensitas” perang melawan Hamas.

Ia juga menyebut bahwa pemerintah akan mengandalkan “segala bentuk tekanan militer dan sipil”, termasuk mendorong evakuasi warga Gaza ke wilayah selatan dan melaksanakan skema “migrasi sukarela” sebagaimana pernah diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

Sejak penghentian sepihak gencatan senjata oleh Israel pada 18 Maret—gencatan yang sebelumnya juga tidak dijalankan sepenuhnya—serangan udara dan artileri ke wilayah sipil terus berlanjut.

Kementerian Kesehatan Palestina mencatat lebih dari 1.400 korban jiwa dan 3.600 orang terluka dalam rentang waktu tersebut.

Laporan PBB menyebutkan bahwa sekitar 100 anak-anak meninggal setiap harinya akibat konflik.

Di tengah situasi kemanusiaan yang memburuk, muncul kekhawatiran bahwa Israel tengah mempersiapkan pemindahan paksa warga Gaza ke Semenanjung Sinai, wilayah Mesir yang berbatasan langsung dengan Gaza.

Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, turut memperkuat pernyataan tersebut. Ia menegaskan bahwa blokade total terhadap Gaza akan terus berlanjut hingga Hamas dilumpuhkan dan semua sandera Israel dibebaskan.

“Bahkan sebutir gandum pun tidak akan masuk ke Gaza,” katanya.

Namun, sebagian besar pengamat dan masyarakat di Israel maupun Gaza tidak melihat tanda-tanda bahwa Hamas akan menyerah.

Di tengah kebuntuan itu, pertanyaan kini berubah dari “apakah” pemindahan paksa akan dilakukan, menjadi “kapan” dan “ke mana” warga Gaza akan diarahkan.

Beberapa pejabat Israel dilaporkan tengah mempertimbangkan dua opsi: memindahkan warga Gaza ke Mesir, atau mengirim mereka ke negara-negara Afrika Timur.

Tersebar kabar bahwa Israel dan Amerika Serikat telah menghubungi tiga pemerintahan di Afrika—yaitu Sudan, Somalia, dan Somaliland—untuk membahas kemungkinan penempatan warga Gaza di sana.

Namun, ketiga pemerintah tersebut telah secara resmi membantah keterlibatan dalam rencana tersebut.

Konsekuensi regional dan ancaman yang meningkat

Rencana pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza, jika benar-benar dilaksanakan, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang sangat besar, tidak hanya bagi rakyat Palestina, tetapi juga bagi stabilitas regional Timur Tengah secara keseluruhan.

Pakar geopolitik memperingatkan bahwa tindakan ini dapat mengguncang legitimasi pemerintahan negara-negara Arab sekutu AS, dan memicu gelombang protes di berbagai penjuru dunia Arab.

Hubungan diplomatik antara Israel dan negara-negara seperti Mesir dan Yordania kini berada di titik paling rapuh sejak penandatanganan Perjanjian Camp David tahun 1979.

Kedutaan besar Israel di Kairo dan Amman dilaporkan hampir kosong, menyusul penarikan staf atas alasan keamanan pasca serangan Hamas pada 7 Oktober lalu.

Mesir bahkan menolak menerima surat kepercayaan duta besar baru Israel, Ori Rothman, yang ditunjuk sejak September 2023.

Sementara itu, belum ada pengganti untuk duta besar Mesir yang ditarik pulang dari Tel Aviv tahun lalu.

Hubungan bilateral juga diwarnai ketegangan atas isu militer. Israel menuduh Mesir melanggar ketentuan militer Perjanjian Camp David karena meningkatkan kehadiran militernya di Semenanjung Sinai.

Tuduhan ini dibantah oleh otoritas Mesir, yang menyatakan bahwa langkah tersebut sah berdasarkan ketentuan perjanjian itu sendiri.

Ketegangan memuncak setelah Israel mengambil alih kontrol atas Koridor Philadelphi—juga dikenal sebagai Koridor Salahuddin—yang terletak di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir. Koridor sepanjang 14 kilometer ini seharusnya menjadi zona demiliterisasi.

Mantan Kepala Intelijen Militer Mesir, Letjen (Purn) Mohamed Rashad, menyebut bahwa setiap gerakan militer Israel di wilayah perbatasan tersebut merupakan “ancaman langsung” bagi keamanan nasional Mesir.

Ia menegaskan bahwa Mesir tidak akan berdiam diri di tengah eskalasi ini dan harus mempersiapkan segala kemungkinan.

Sejumlah tokoh politik Israel secara terbuka menyuarakan dukungan terhadap skenario “relokasi sukarela” warga Gaza ke wilayah Sinai.

Anggota Knesset Avigdor Lieberman menyebut pemindahan massal tersebut sebagai “solusi praktis dan efektif”, dengan menekankan kesamaan budaya dan bahasa antara rakyat Palestina dan Mesir.

Ia juga mengkritik peran Mesir yang, menurutnya, diuntungkan secara ekonomi dari posisi sebagai perantara antara Israel dan Hamas.

Aktivitas ekonomi gelap seperti penyelundupan melalui terowongan Rafah juga menjadi sorotan dalam narasi ini.

Lembaga pemikir keamanan nasional Israel, Institut Misgav, bahkan menerbitkan laporan pada 17 Oktober 2023 yang mendorong pemerintah untuk memanfaatkan “peluang langka”.

Tujuannya, guna memindahkan seluruh penduduk Gaza ke Kairo, bekerja sama dengan pemerintah Mesir.

Sementara itu, dokumen rahasia dari Kementerian Intelijen Israel menyarankan pembangunan zona penyangga di Sinai untuk mencegah warga Gaza kembali.

Jika skenario ini diwujudkan, kemungkinan besar akan dilakukan dalam waktu singkat, dengan dukungan kekuatan militer.

Operasi ini berisiko memicu konfrontasi langsung dengan militer Mesir, yang telah menegaskan bahwa pembersihan etnis warga Palestina merupakan “garis merah” yang tak bisa dilanggar.

Kondisi ini juga membuka pintu pada eskalasi konflik menjadi peperangan regional yang lebih luas.

Dalam jangka panjang, hal ini berkaitan dengan visi beberapa kelompok politik Israel tentang “Israel Raya”, yang mencakup wilayah dari Lebanon Selatan, Suriah, bahkan sebagian Mesir, Yordania, dan Arab Saudi.

Sumber daya alam, seperti ladang gas lepas pantai Gaza dan rencana pembangunan kanal alternatif untuk menyaingi Terusan Suez, menjadi bagian dari ambisi tersebut.

Ketegangan menuju titik didih

Rasa marah di kalangan rakyat Arab meningkat drastis. Dalam beberapa bulan terakhir, suasana ini terlihat jelas di Mesir, Yordania, dan Tepi Barat.

Jika terjadi pemindahan paksa besar-besaran terhadap warga Gaza, kemarahan ini bisa berubah menjadi gelombang unjuk rasa besar dan ancaman keamanan yang nyata.

Pemerintah-pemerintah di kawasan, demi mempertahankan kekuasaan dan stabilitas domestik, bisa terdorong untuk mengambil langkah-langkah drastis.

Dalam skenario terburuk, aksi terorisme bisa meningkat, baik oleh kelompok terorganisir maupun pelaku tunggal, yang menargetkan kepentingan Israel maupun Barat, termasuk AS.

Situasi ini, menurut sejumlah analis, menjadi ladang subur bagi propaganda kelompok ekstremis. Di tengah penderitaan dan ketidakadilan, tindakan kekerasan dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan.

Israel dan AS, dalam hal ini, dinilai harus memahami bahwa kebijakan yang kejam bisa menimbulkan konsekuensi jauh lebih besar daripada yang mereka perkirakan.

Bagaimana respons rakyat yang terusir dari tanah yang telah mereka huni selama berabad-abad? Apa yang diharapkan dari komunitas yang telah kehilangan harapan, martabat, dan penghidupan, serta menghadapi kekuatan militer modern yang sangat kuat?

Apakah benar-benar diyakini bahwa dengan menciptakan penderitaan sebesar ini, ekstremisme bisa ditekan, bom bunuh diri bisa dicegah, atau perdamaian bisa tercapai?

Kenyataannya, genosida di Gaza—jika terus berlangsung—akan tercatat sebagai salah satu kejahatan terbesar abad ini. Dan dampaknya tak akan berhenti di Palestina.

Ia akan menghantui Israel. Ia akan menghantui dunia. Dan pada akhirnya, ia akan kembali sebagai ancaman di pintu kita sendiri.

Sebagaimana pepatah lama berkata: “Siapa menanam, akan menuai.”

*Chris Hedges adalah seorang jurnalis, penulis, komentator, dan pendeta Presbiterian Amerika. Ia bekerja sebagai wartawan perang lepas di Amerika Tengah untuk The Christian Science Monitor, NPR, dan Dallas Morning News. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Hal Iqtirobat Sā’at al-Tahjīr al-Kabīr Fī Gazah?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular