Wednesday, April 2, 2025
HomeBeritaOPINI | Empat jurus Ahmad Al-Syara' hentikan agresi Israel

OPINI | Empat jurus Ahmad Al-Syara’ hentikan agresi Israel

Syar'a juga memahami, tekanan Israel terhadap Suriah adalah bagian dari proyek "Timur Tengah Baru" yang diusung Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu

Oleh Mahmoud Alloush

Salah satu alasan utama Presiden Suriah, Ahmad Syar’a, menghindari konfrontasi langsung dengan Israel adalah karena negara itu baru saja keluar dari konflik yang menghancurkan selama 13 tahun.

Suriah kini tengah berupaya membangun kembali negaranya, memperkuat institusi militer, serta keluar dari isolasi internasional. Sehingga tidak dalam posisi untuk berperang langsung dengan Israel tanpa risiko kehancuran bagi eksperimen politik barunya.

Anggapan ini tampaknya cukup realistis. Konflik berskala besar selalu memiliki konsekuensi yang mahal, bahkan bagi negara yang stabil, apalagi bagi negara seperti Suriah yang masih dalam tahap pemulihan.

Namun, pendekatan Syar’a dalam menghadapi tantangan dari Israel tidak hanya didasarkan pada alasan ini, meskipun faktor tersebut sangat relevan.

Sebagai sosok yang memimpin Suriah dalam masa transisi yang sensitif—dengan latar belakangnya sebagai mantan pemimpin salah satu kelompok Islam—transformasi ini mungkin tampak mengejutkan bagi sebagian pihak.

Namun, perubahan ini mencerminkan karakter baru Ahmad Syar’a sebagai seorang negarawan.

Ia tercermin ingin membangun negara modern, menjaga persatuan Suriah, serta mencegah negara itu tergelincir ke dalam kekacauan domestik, di tengah meningkatnya ancaman dari agresi Israel.

Syar’a juga memahami, tekanan Israel terhadap Suriah adalah bagian dari proyek “Timur Tengah Baru” yang diusung Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Di saat yang sama, ketegangan antara Israel dan Turki di wilayah Suriah juga menjadi bagian dari dinamika geopolitik yang lebih luas.

Dengan kata lain, pendekatan Israel terhadap Suriah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor regional daripada sekadar isu bilateral.

Sejak menjabat, Syar’a berjanji untuk tidak menjadikan Suriah sebagai ancaman bagi negara-negara tetangga, termasuk Israel. Namun, ketakutan Israel terhadap kehadiran kepemimpinan Islam di Suriah bukanlah satu-satunya alasan di balik agresinya.

Netanyahu melihat perubahan di Suriah sebagai peluang untuk membentuk realitas keamanan baru di wilayah selatan Suriah, melemahkan kekuatan negara baru ini, serta memanfaatkan perpecahan internal untuk keuntungan geopolitiknya sendiri.

Kebijakan ekspansionis Israel yang semakin agresif sejak perang 7 Oktober, ketegangan geopolitik antara Turki dan Israel di Suriah, serta dukungan pemerintahan AS yang lebih akomodatif terhadap kebijakan Tel Aviv, menjadi faktor-faktor yang turut membentuk pendekatan Syar’a dalam menghadapi Israel. Strateginya bertumpu pada empat jalur utama:

  1. Menghindari konfrontasi militer langsung dengan Israel yang berisiko tinggi dan dapat menghambat proses transisi politik di Suriah.
  2. Membatasi ruang gerak Israel dengan cara mengintegrasikan Pasukan Demokratik Suriah ke dalam struktur negara baru, menangani ancaman di pesisir Suriah, serta membangun dialog dengan komunitas Druze di selatan agar tidak jatuh ke dalam pengaruh Israel.
  3. Menunjukkan komitmen Suriah terhadap diplomasi dan hukum internasional, sehingga memperkuat posisi negara di hadapan komunitas internasional dalam menghadapi agresi Israel.
  4. Mengandalkan diplomasi regional dan keterbukaan terhadap negara-negara Barat untuk menekan Israel agar menghentikan tindakan agresifnya di Suriah.

Prioritas Syar’a dalam meningkatkan hubungan dengan Barat, terutama dengan Amerika Serikat, dan mengatasi sanksi ekonomi, merupakan bagian dari strategi yang lebih luas.

Ia meyakini dengan menghindari eskalasi langsung dengan Israel, Washington bisa didorong untuk menekan Netanyahu agar mengurangi kebijakan agresifnya di Suriah.

Selain itu, pendekatan ini juga bertujuan untuk memperkuat legitimasi pemerintahan baru di Suriah di mata dunia Barat.

Sementara itu, penguatan kemitraan strategis dengan Turki, termasuk di sektor pertahanan, tetap menjadi opsi yang dipertimbangkan oleh Syar’a. Namun, langkah ini juga berisiko memperbesar konflik geopolitik antara Turki dan Israel di Suriah, sehingga membuatnya lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait aliansi militer dengan Ankara.

Namun, jika agresi Israel semakin meningkat dan membahayakan stabilitas pemerintahan baru di Suriah, opsi ini bisa menjadi langkah yang tak terhindarkan.

Meski strategi ini mungkin tidak segera membuahkan hasil, dari sudut pandang Syar’a, pendekatan ini setidaknya dapat mengurangi dampak buruk dari tantangan Israel terhadap Suriah yang baru bangkit.

Selain itu, strategi ini juga memperluas opsi diplomatik bagi Syar’a dalam mencari dukungan internasional guna menghadapi tekanan Israel.

Dalam hal ini, diplomasi jalur belakang yang dijalankan oleh para sekutu regionalnya dapat memainkan peran penting dalam mempengaruhi kebijakan Presiden AS terhadap keterlibatan Israel di Suriah.

Selain itu, menunjukkan komitmen terhadap proses transisi politik yang sejalan dengan ekspektasi Barat juga dapat membantu Syar’a membangun citranya sebagai pemimpin yang mampu menjaga stabilitas dalam negeri serta mengelola konflik dengan Israel secara bijaksana.

Baca juga: Pengadilan internasional akan gelar sidang dugaan keterlibatan UEA dalam genosida Sudan
Baca juga: Mengapa potensi kesepakatan militer antara Turki dan Suriah cemaskan Israel?

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular