Friday, December 20, 2024
HomeHeadlineOPINI: Kejatuhan tirani Assad jalan bagi pembebasan Palestina, bukan sebaliknya

OPINI: Kejatuhan tirani Assad jalan bagi pembebasan Palestina, bukan sebaliknya

Oleh: Dr Amira Abo el-Fatouh

Pada Jumat lalu, jutaan orang Suriah di seluruh dunia merayakan pembebasan tanah mereka dari dinasti Assad.

Banyak yang mengibarkan bendera asli yang digunakan di Suriah setelah dibebaskan dari penjajahan Prancis. Para pejuang revolusi memilih bendera ini 13 tahun lalu dan mengganti bendera yang melambangkan rezim brutal Assad yang bertahan selama 54 tahun, sejak Hafez Al-Assad melakukan kudeta pada tahun 1970.

Bendera ini menjadi simbol bahwa mereka tidak membedakan antara dua penjajah: Prancis dan keluarga Assad; keduanya tiran; keduanya merampas tanah Suriah; dan keduanya menguras kekayaan serta sumber daya Suriah.

Bahkan bisa dibilang, penjajah Prancis lebih berbelas kasihan dibandingkan dengan para pembantai Assad, baik sang ayah maupun anak.

Sorak-sorai di jalanan pada hari Jumat itu luar biasa. “Angkat kepala tinggi-tinggi, kamu adalah seorang Suriah yang bebas” dan “Suriah menginginkan kebebasan” menghidupkan kembali semangat nasional yang menggelora pada tahun 1920-an.

Pada masa itu, tidak ada perbedaan antara kelompok agama dan etnis di Suriah; mereka semua berjuang dalam parit yang sama melawan penjajahan Prancis, dan kini mereka kembali bersatu setelah dibebaskan dari rezim Assad yang brutal.

Di kota Sweida, mereka yang turun ke jalan mengenang sejarah dan perjuangan mereka melawan kolonialisme Prancis dan mengangkat gambar Sultan Pasha Al-Atrash, pemimpin Revolusi Suriah Besar melawan Prancis.

Mereka bahkan mengganti nama sebuah bundaran terkenal di kota itu dengan namanya, menghapus nama “Bundaran Basel,” yang sebelumnya dinamai setelah putra sulung Hafez Al-Assad.

Adegan di Alun-Alun Umayyah sangat mengesankan, mengingatkan pada Kekhalifahan Umayyah saat Damaskus menjadi ibu kota Kekaisaran Islam yang memancarkan cahaya pengetahuan, budaya, dan peradaban ke seluruh dunia.

Keluarga Assad telah menghancurkan tanah Suriah, membunuh, menghina, dan merendahkan rakyatnya

Para pejuang revolusi dari Suriah utara tiba di Damaskus, setelah merebut Aleppo, Hama, dan Homs, untuk bertemu dengan teman-teman mereka dari Quneitra, Sweida, Daraa, serta daerah pedesaan sekitar Damaskus dan sekitarnya.

Mereka membentuk sebuah ikatan yang tak dapat dipisahkan, dalam harmoni yang sempurna.

Semua orang gembira dengan kejatuhan sang tiran, dan semua ingin membangun Suriah baru yang didasarkan pada kebebasan, keadilan, dan martabat setelah keluarga Assad menghancurkan tanah ini dan membunuh, menghina, serta merendahkan rakyatnya.

Rezim yang digulingkan telah merobek-robek struktur sosial Suriah dan menebarkan fitnah serta konspirasi di antara berbagai sekte dan kelompok agama.

Salah satu ironi yang mengejutkan adalah, sementara rakyat Suriah mengenakan pakaian hijau, merayakan kejatuhan tiran, para nasionalis dan Arabis di Mesir mengenakan pakaian hitam, meratapi kejatuhan sang pembantai.

Mereka percaya bahwa negara Suriah telah jatuh, seolah-olah Bashar adalah negara itu dan negara itu adalah Bashar, dan mereka membelanya dengan putus asa, meskipun dia kini menjadi pelarian yang melarikan diri bersama keluarganya dan miliaran dolar dari kekayaan negara.

Mereka telah melihat dengan mata kepala sendiri para tahanan yang dibebaskan dari penyembelihan sang pembantai dan mendengar apa yang dilakukan oleh para biadabnya di penjara-penjara Suriah, sesuatu yang tak terbayangkan dan tak dapat diterima oleh siapapun yang masih memiliki hati.

Meski ada kesaksian dan bukti tragis tersebut, para nasionalis dan Arabis ini menangisi Assad dan berkata bahwa dia adalah pelindung Suriah dari Israel, yang kini memanfaatkan kejatuhan Assad untuk menduduki wilayah Suriah baru, membombardir dan menghancurkan senjata, gudang, dan pabrik militer Suriah karena takut dengan pemerintahan baru.

Tak satu pun peluru Suriah ditembakkan ke negara Zionis sejak Israel menduduki Dataran Tinggi Golan pada 1973

Dalam pernyataan ini, mereka justru bertentangan dengan diri mereka sendiri, dan pada kenyataannya mengecam dan menuduh sang pembantai—yang mengkhianati negaranya dan rakyatnya—bekerja untuk Israel, meskipun mereka bermaksud memujinya.

Apa yang mereka katakan adalah bahwa entitas Zionis tidak pernah takut dengan tentara Suriah atau senjata mereka saat dinasti Assad berkuasa, karena senjata tersebut tidak akan digunakan melawan musuh; rezim menggunakannya melawan rakyatnya sendiri.

Tak satu pun peluru Suriah ditembakkan ke negara Zionis sejak Israel menduduki Dataran Tinggi Golan pada 1973, dan meskipun Israel telah membombardir Damaskus puluhan kali, tentara yang mereka ratapi itu tidak merespons.

Sang kepala pembantai mengatakan bahwa ia akan merespons pada waktu yang tepat, yang tidak pernah datang.

Satu-satunya penjelasan logis adalah bahwa rezim Assad membocorkan informasi tentang lokasi-lokasi gudang senjata dan pabrik-pabrik tersebut.

Para pejuang revolusi yang membebaskan Suriah kini dituduh bekerja untuk entitas Zionis. Jika hal ini benar, maka mengapa rezim penjajah merasa takut jika senjata-senjata militer Suriah jatuh ke tangan pemerintahan baru?

Seluruh dunia tahu bahwa Assad Senior menjual Dataran Tinggi Golan kepada Zionis demi dukungan finansial dan politik setelah dia dilantik sebagai presiden Suriah pada tahun 1970.

Raja Faisal dari Arab Saudi (1906-1964) mengatakan hal ini kepadanya dalam sebuah pertemuan KTT Arab, sehingga tak satu pun peluru ditembakkan kepadanya sejak Israel menduduki Dataran Tinggi Golan.

Siapa pun yang percaya bahwa kejatuhan rezim pembantai Bashar Al-Assad adalah kerugian bagi perjuangan Palestina, jelas salah besar.

Rezim yang tak berguna ini menjalankan tugasnya dengan menjaga perbatasan nominal negara apartheid tersebut. Rezim itu adalah anjing penjaga pendudukan, yang diangkat oleh pendudukan untuk melakukan pekerjaan kotor mereka.

Palestina tidak akan pernah dibebaskan selama Suriah dikuasai oleh Assad dan karenanya dijadikan tawanan oleh entitas Zionis. Itulah sebabnya saya optimis dengan pembebasan Suriah dan masa depan yang akan menyaksikan lebih banyak keberhasilan yang akan mengembalikan kebebasan dan martabat rakyat Arab.

Inilah satu-satunya hal yang akan membuka jalan bagi kembalinya Palestina kepada rakyatnya. Saya sudah sering mengatakannya: Palestina tidak akan dibebaskan kecuali dan sampai negara-negara Arab dibebaskan dari penguasa tirani dan penindasan mereka.

Penulis adalah analis politik Timur Tengah.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular