Wednesday, June 18, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Mampukah Israel goyang stabilitas internal Iran?

OPINI – Mampukah Israel goyang stabilitas internal Iran?

Oleh: Dr. Ammar Ali Hassan

Dalam hiruk-pikuk analisis militer terkait serangan Israel terhadap Iran, sebagian besar perhatian terfokus pada kekuatan tempur atau kecakapan elite politik di Teheran dalam mengelola krisis.

Namun, satu aspek penting kerap luput dari sorotan, yakni kondisi sosial dalam negeri yang merupakan salah satu penopang utama dalam menghadapi perang, baik secara militer maupun politik.

Ketahanan sebuah negara dalam situasi konflik sangat dipengaruhi oleh kohesi masyarakatnya.

Ketika rakyat bersatu dan mendukung penuh kepemimpinan politik, agama, dan militer, daya tahan negara meningkat secara signifikan.

Sebaliknya, jika masyarakat terpecah, titik lemah ini akan menjadi sasaran utama lawan yang hendak mengguncang atau menjatuhkan kekuasaan.

Israel dan sekutunya, terutama Amerika Serikat (AS), sangat menyadari hal ini. Mereka pernah mencoba menggulingkan rezim Iran dengan memanfaatkan 2 gelombang protes besar di dalam negeri, yang disokong dengan sorotan media massif. Namun, upaya itu gagal membuahkan hasil.

Kini, ketika Israel menyebut serangannya terhadap Iran sebagai “perang” bukan lagi sekadar “operasi militer”, dapat diduga bahwa rencana menggulingkan rezim ulama di Iran telah masuk ke dalam agenda strategis mereka.

Kemungkinan besar, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan lingkaran kekuasaannya telah merumuskan langkah-langkah konkret untuk merealisasikannya, meski untuk saat ini masih dilakukan secara diam-diam.

Tujuan serangan tidak semata-mata melemahkan kekuatan tempur militer Iran, tetapi juga meruntuhkan kewibawaan kepemimpinan politik dan keagamaan di mata rakyatnya sendiri.

Pemerintah Iran tentu menyadari skenario ini. Dalam respons awal, para pemimpinnya langsung menyebut serangan itu sebagai bentuk “perang psikologis”.

Pemerintah Iran juga menyerukan rakyat untuk tetap percaya pada kemampuan negara membalas dengan cara yang memuaskan harga diri nasional.

Namun, tantangan utama bagi Iran justru datang dari dalam. Sejak lama, masyarakat Iran dikenal sebagai masyarakat majemuk yang tidak homogen secara etnis, agama, maupun identitas kebangsaan.

Rezim pasca-revolusi 1979 mewarisi mosaik sosial yang kompleks: mayoritas Syiah, minoritas Sunni, Bahai, Zoroaster, Kristen, Yahudi, dan kelompok kepercayaan lainnya seperti Mandaean dan Yarsani.

Dari sisi etnis, terdapat bangsa Persia, Arab, Kurdi, Baluch, Turkmen, Azeri, serta kelompok-kelompok kecil lain seperti Armenia dan Lur.

Masalahnya, keberagaman ini tidak tersebar merata, melainkan cenderung terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu.

Konfigurasi geografis semacam ini menyulitkan integrasi nasional dan memperbesar beban pemerintah pusat untuk membangun negara-bangsa yang solid dalam pengertian modern.

Lebih jauh, diskriminasi yang dialami sebagian kelompok minoritas, baik secara etnis maupun agama, membuat proyek kebangsaan Iran tampak rapuh dari dalam.

Memang, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Iran mencoba mengakomodasi pluralisme ini dengan memberi ruang perwakilan politik terbatas bagi kelompok minoritas.

Perlindungan hukum terhadap agama-agama non-Islam dan pengakuan konstitusional atas hak etnis-etnis tertentu turut diperkenalkan.

Namun, sebagian kalangan menilai langkah ini masih bersifat simbolik—hiasan semata—dan belum berakar pada prinsip kewarganegaraan yang sejati, yang menjunjung asas meritokrasi ketimbang afiliasi etnik atau keagamaan.

Selain polarisasi vertikal yang bersifat historis, Iran juga menghadapi fragmentasi horizontal yang kian tajam dalam dua dekade terakhir.

Ketimpangan kelas makin mencolok, dengan kekayaan nasional terkonsentrasi di tangan 10 persen penduduk, sementara kontribusi pajak kelompok kaya ini hanya sekitar 3 persen dari total penerimaan negara.

Di sisi lain, gelombang sekularisasi yang meluas di kalangan generasi muda telah memunculkan tantangan serius terhadap legitimasi ideologi Wilayat al-Faqih, konsep kepemimpinan ulama yang menjadi dasar teokrasi Iran.

Anak-anak muda Iran kini tampil sebagai generasi yang kritis terhadap narasi religius tradisional, menuntut keterbukaan, dan ingin lebih terhubung dengan dunia luar.

Perubahan nilai-nilai ini turut menciptakan tantangan budaya baru yang tak mudah dihadapi oleh pemerintahan yang dibangun di atas semangat revolusi keagamaan.

Meski otoritas Iran telah mencoba meredam potensi konflik dengan retorika inklusif dan kebijakan afirmatif, sejarah menunjukkan bahwa keberagaman yang tidak dikelola dengan bijak dapat memicu benturan dan kekerasan.

Ideologi negara yang kaku dan sering kali represif terhadap aspirasi kelompok tertentu memperparah keretakan ini.

Kini, di tengah ancaman militer eksternal, masyarakat Iran menghadapi ujian besar. Apakah mereka akan bersatu mendukung pemerintah, menjunjung kepentingan nasional di atas perbedaan identitas, atau justru melihat situasi ini sebagai momentum untuk menuntut perubahan radikal, demi masa depan yang lebih adil bagi masing-masing komunitas?

Apabila serangan Israel berlanjut, dan Iran kehilangan kemampuan membalas atau menahan pukulan, maka bukan tidak mungkin propaganda Israel akan bergeser ke medan sosial.

Menggugah keresahan rakyat Iran dan mempercepat proses delegitimasi dari dalam.

Keberhasilan skenario ini sangat bergantung pada dua hal: seberapa kuat militer Iran bertahan, dan seberapa besar kemampuan negara itu untuk membalas, hingga memaksa Israel menghentikan perang.

Jika salah satu dari dua unsur ini runtuh, maka yang berikutnya bisa menyusul: keretakan dalam tubuh bangsa Iran sendiri. Dan di sanalah, bagi Israel, kemenangan sejati bisa dimulai.

*Dr. Ammar Ali Hassan adalah seorang penulis dan peneliti sosiologi politik. Ia adalah seorang novelis dan pemikir Mesir yang lulus dari Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik, Universitas Kairo, pada tahun 1989. Ia meraih gelar doktor dalam Ilmu Politik pada tahun 2001. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Hal Tanjahu Isrāīl Fī Taalīb al-Dākhil al-Īrānī?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular