Sunday, May 4, 2025
HomeHeadlineOPINI - Mengapa Israel menyerang Suriah dan menargetkan Ahmad Sharaa?

OPINI – Mengapa Israel menyerang Suriah dan menargetkan Ahmad Sharaa?

Oleh: Pizaro Gozali Idrus

Serangan Israel ke berbagai wilayah Suriah kembali menunjukkan agresivitas yang terus dilancarkan Tel Aviv terhadap negara-negara yang menolak tunduk pada kehendaknya.

Tidak hanya itu, Israel juga menargetkan wilayah dekat dengan istana Kepresidenan Suriah yang merupakan lokasi Presiden Suriah Ahmad Sharaa.

Perlu dicatat, serangan ini terjadi di tengah meningkatnya tekanan AS dan kawasan terhadap Suriah agar Damaskus mengikuti jejak beberapa negara Arab lain untuk menjalin normalisasi dengan penjajah Israel.

Namun berbeda dengan beberapa negara Teluk seperti UEA dan Bahrain, Presiden Suriah Ahmad Sharaa memilih untuk tidak menyerahkan prinsip dan posisi negaranya kepada agenda geopolitik Israel.

Sebaliknya, Sharaa bersikukuh menuntut Israel agar segera angkat kaki dari seluruh wilayah Suriah yang dikuasai secara ilegal dan menarik seluruh pasukannya, termasuk unsur intelijen dan milisi proksi yang diam-diam disusupkan melalui operasi-operasi rahasia.

Sikap Ahmad Sharaa inilah yang menjadi alasan utama Suriah kembali menjadi target serangan penjajah Israel.

Namun Israel tidak berhenti di situ. Untuk melemahkan kekuasaan Sharaa, penjajah Zionis pun memanfaatkan sentimen minoritas Druze untuk menyerang Ahmad Sharaa.

Bagi Israel, jika Ahmad Sharaa tidak bisa ditaklukan, minimal ia bisa dilemahkan. Kartu truf yang dimainkan Israel adalah isu minoritas. Sebab jika pemerintah Suriah sukses menggandeng minoritas, maka tidak ada isu intoleransi lagi yang bisa dijual Israel sendiri ke negara-negara Barat dan dunia internasional untuk menutupi kejahatan genosidanya di Palestina.

Dan sejauh ini Ahmad Sharaa relatif sukses menggandeng mayoritas komunitas Druze untuk masuk ke dalam pemerintahan.

Pada Maret lalu, pemerintah Suriah telah mencapai kesepakatan dengan perwakilan provinsi Suwayda yang mayoritas beragama Druze untuk terintegrasi penuh ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan Suriah. Kesepakan ini benar-benar menampar penjajah Zionis yang ingin merobek-robek Suriah.

Hal isu ini kembali didapatkan momentumnya oleh penjajah menyusul pecahnya bentrokan antara sejumlah milisi Druze dengan aparat keamanan Israel di Ashrafiyat Sahnaya dan Jaramana — dua kawasan di Rif Dimashq yang dihuni komunitas Druze — pada pekan ini.

Kerusuhan dipicu oleh beredarnya rekaman suara yang diduga berasal dari seorang warga Druze, yang berisi penghinaan terhadap Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam.

Namun demikian, tensi ketegangan ini sebenarnya perlahan sudah mengendur usai ada deklarasi dari para tokoh Druze untuk menjaga stabilitas di Suriah dan menolak intervensi Israel atas masalah ini.

Jumlah komunitas Druze sendiri di Timur Tengah total mencapai 1,5 juta jiwa yang tersebar di Suriah, Israel, dan Lebanon. Dari jumlah itu, 700.000 di antaranya berada di Al Suwayda, Suriah.

Upaya Israel untuk melemahkan pemerintah Suriah yang baru terlihat saat untuk pertama kalinya sejak lebih dari 50 tahun puluhan tokoh agama Druze asal Suriah menyeberang ke Israel pada Maret lalu.

Mereka melakukan ziarah ke makam yang mereka yakini sebagai tempat suci Nabi Syu’aib di kota Julis, dekat Danau Tiberias, wilayah penjajahan Israel. Tempat ini merupakan salah satu situs paling suci bagi komunitas Druze.

Manuver ini dilakukan lewat koordinasi erat dengan rezim penjajah Zionis Israel untuk memecah belah kesatuan Druze yang sebagian besar memilih berintegrasi ke pemerintahan baru Suriah.

Siapa tokoh utama dalam manuver ini? Dia adalah Mowafaq Tarif. Pemimpin spiritual Druze di Israel yang sangat pragmatis dan pro-Zionis. Sejak tahun 1957, komunitas Druze di Israel telah mematuhi wajib militer dan menunjukkan loyalitas kepada penjajah.

Mowafaq juga telah bertemu dengan Benjamin Netanyahu dan mengucapkan terima kasih terhadap pelaku genosida itu atas dukungannya terhadap komunitas Druze di Suriah.

Tak hanya itu, Mowafaq bahkan berterima kasih kepada Netanyahu atas serangannya kompleks istana presiden di Damaskus yang disebut Mowafaq sebagai pesan terhadap Ahmad Sharaa.

Untuk menciptakan wilayah separatis di Suriah dengan dukungan sejumlah kelompok Druze, Israel kini membujuk kelompok Druze untuk menolak pemerintahan baru di Damaskus dan menuntut otonomi dengan mengadopsi sistem federal.

Ini mirip dengan skenario Belanda dulu untuk memecah belah Indonesia dengan mendorong diadopsinya sistem negara federal.

Menurut laporan Wall Street Journal, tak tanggung-tanggung Israel mengucurkan dana lebih dari USD 1 miliar atau setara Rp 16,5 triliun untuk memuluskan rencana ini.

Kenapa Israel sampai harus membeli sejumlah oknum kelompok Druze untuk melemahkan Sharaa? Karena wajah Druze di Suriah juga tidak tunggal. Tidak semua dari mereka yang mau menuruti kehendak penjajah.

Walid Jumblatt, pemimpin Druze di Lebanon, termasuk pihak yang paling aktif mengampanyekan sikap anti-Zionisme dan menyerukan agar etnis Druze lebih beradaptasi dengan dunia Arab ketimbang penjajah Zionis.

Saat puluhan warga Druze menyeberang ke Israel, banyak internal kelompok Druze juga yang mengkritik langkah itu karena selama ini etnis Druze banyak didiskriminasikan oleh penjajah. Mereka juga menilai manuver Israel tidak lebih dari upaya memecah belah kesatuan Suriah.

Jika tokoh Druze di Suriah seperti Hikmat al-Hijri mendukung Israel dan merongrong kekuasaan Sharaa, maka Hamoud al-Hanawi dan Yusuf al-Jarbou’ adalah pemimpin spiritual Druze yang paling vokal menentang upaya separatisme dari pemerintahan Suriah.

Gubernur Al Suwayda, Mustafa Al-Bakkour, juga menyatakan bahwa kesepakatan damai dan stabilitas keamanan yang telah ditandatangani bersama para tokoh agama dan masyarakat dari komunitas Druze di wilayah Al Suwayda masih berlaku.
Hal ini untuk merespons pecahnya bentrokan sejumlah milisi Druze dengan aparat keamanan Suriah yang terjadi di Ashrafiyat Sahnaya dan Jaramana akibat isu pelecehan terhadap Rasulullah.
Al-Bakkour juga menegaskan bahwa komunitas Druze adalah bagian tak terpisahkan dari tatanan sosial Suriah dan para petinggi Druze menolak intervensi asing dalam merespons.
Ini adalah penegasan bahwa para pemimpin Druze menolak dipecah belah dan menolak intervensi penjajah Zionis untuk merusak keamanan Suriah yang baru saja bebas dari rezim penjagal Bashar Assad.
Penulis adalah Direktur Baitul Maqdis Institute. Penulis buku Runtuhnya Dinasti Al-Assad: Akhir Kekuasaan Rezim Syiah Nushairiyah di Suriah
Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular