Friday, March 14, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Mengapa pemerintahan Trump berikan lampu hijau untuk perjanjian antara Al-Sharaa dan...

OPINI: Mengapa pemerintahan Trump berikan lampu hijau untuk perjanjian antara Al-Sharaa dan SDF?

Oleh: Dhaham al-Azzawi

Dalam sebuah langkah bersejarah yang penuh harapan dan masa depan yang cerah, sebuah perjanjian bersejarah ditandatangani di ibu kota Damaskus antara Presiden Suriah, Ahmad Al-Sharaa, dan pemimpin Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mazloum Abdi, pada hari Senin, 10 Maret 2025.

Perjanjian ini merupakan titik balik penting dalam sejarah modern Suriah. Karena menyatukan pihak-pihak yang bertikai dan meletakkan dasar bagi rekonsiliasi nasional yang berkelanjutan.

Ini juga menjadi pesan kuat bagi mereka yang bertaruh pada kegagalan rakyat Suriah dalam mencapai persatuan dan keamanannya, setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad.

Penandatanganan perjanjian ini bertepatan dengan momen penting dalam kehidupan rakyat Suriah, setelah krisis besar yang melanda wilayah pesisir di provinsi Latakia dan Tartus.

Krisis ini dipicu oleh kelompok-kelompok loyalis rezim sebelumnya yang berusaha menyalakan konflik sektarian yang bisa menyeret negara ke dalam perang saudara yang mengancam semua pihak tanpa kecuali.

Latar belakang perjanjian

Tanpa diragukan lagi, perjanjian ini bukanlah hasil dari keputusan mendadak. Jelas bahwa perjanjian ini melewati berbagai tahap negosiasi yang sulit dan rahasia antara kedua belah pihak sejak jatuhnya rezim Assad.

Pemimpin SDF, Mazloum Abdi, sempat diterima di Damaskus bersama seorang jenderal Amerika, meskipun Al-Shara’ menolak untuk bertemu dengan jenderal tersebut pada saat itu.

Dalam negosiasi ini, Kurdi dan pemerintah Suriah telah sepakat dalam beberapa hal. Tetapi masih berbeda pendapat dalam beberapa poin lainnya. Seperti integrasi pasukan Kurdi ke dalam Kementerian Pertahanan Suriah serta pengakuan pemerintah atas identitas Kurdi di Suriah.

Salah satu isu paling kompleks yang menunda pengumuman perjanjian ini adalah masa depan penjara yang menampung anggota ISIS, terutama Penjara Al-Hol dan Penjara Al-Sina’a di kawasan Ghweiran, Hasakah.

Ribuan anggota ISIS, termasuk pemimpin penting, ditahan di sana. SDF awalnya ragu untuk menyerahkan kendali atas penjara-penjara ini, karena mereka bergantung pada persetujuan dari pemerintah AS.

Washington meyakini bahwa rezim Suriah yang baru belum memberikan jaminan keamanan yang cukup untuk menjaga penjara-penjara tersebut agar tidak dibobol dan menyebabkan pelarian anggota ISIS.

Namun, setelah pemerintahan baru AS mengumumkan niatnya untuk menarik pasukan Amerika dari timur Suriah dan mendukung kesepakatan damai antara pemerintah Turki dan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), beban di pundak pemimpin SDF Mazloum Abdi menjadi lebih ringan.

Ini akhirnya mendorongnya untuk menyetujui penyerahan penjara-penjara tersebut, yang sebelumnya bergantung pada restu Amerika.

Tidak diragukan lagi, perjanjian ini akan membawa dampak signifikan terhadap persatuan nasional Suriah.

Kesepakatan ini akan meningkatkan kemampuan rezim baru untuk menarik kelompok-kelompok lokal lain yang masih melihatnya sebagai ancaman bagi keberadaan dan identitas mereka. Khususnya di wilayah pesisir Alawi serta di Jabal al-Arab di Suwayda, tempat mayoritas penduduknya adalah Druze.

Diharapkan bahwa kesepakatan ini akan menyadarkan komunitas Druze bahwa mereka tidak boleh menjadi kantong pemberontakan yang mendorong gagasan pemecahan Suriah, terutama dengan dukungan dari Israel.

Dua minggu lalu, Perdana Menteri Israel mengumumkan dukungan untuk apa yang disebut “Koalisi Minoritas,” yang mencakup Kurdi, Druze, Alawi, dan mungkin juga Kristen, sebagai upaya untuk menghadapi rezim baru Suriah.

Selain itu, perjanjian ini akan meningkatkan legitimasi dan dukungan rakyat terhadap pemerintahan Al-Sharaa, karena seluruh poin dalam kesepakatan ini selaras dengan tujuan revolusi Suriah.

Al-Sharaa berupaya untuk memulihkan kesatuan Suriah, memulai proses politik yang inklusif, serta menegaskan kembali hasil Konferensi Dialog Nasional yang diadakan pada Februari 2025.

Konferensi tersebut menegaskan pentingnya persatuan Suriah dan rakyatnya, hak eksklusif negara dalam mengendalikan senjata dan mempertahankan otoritasnya di seluruh wilayah Suriah, serta membangun negara hukum yang menjamin kesetaraan bagi semua warga negaranya.

Sikap regional dan internasional

Tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan ini bukan hanya hasil dari kesepakatan internal antara Al-Shara’ dan Mazloum Abdi semata.

Niat baik saja tidak cukup untuk meloloskan perjanjian bersejarah yang memiliki dampak regional dan internasional yang luas.

Dengan demikian, dinamika internasional menjadi salah satu faktor utama yang mendukung kesepakatan antara pemerintah Suriah dan Kurdi.

Amerika Serikat (AS) memberikan lampu hijau kepada pemimpin Pasukan Demokratik Suriah (SDF) untuk melanjutkan kesepakatan ini dan mengintegrasikan pasukannya ke dalam Kementerian Pertahanan Suriah.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi pemerintahan Trump untuk mengurangi beban keuangan yang ditanggung oleh AS dalam mendanai SDF, yang telah menelan anggaran lebih dari 500 juta dolar per tahun sejak pembentukannya oleh AS pada 2015.

Jelas bahwa sejak kejatuhan Assad, visi strategis Amerika telah bergeser untuk berfokus pada rehabilitasi Suriah agar menjadi pemain utama dalam tatanan baru Timur Tengah.

Pembentukan rezim baru di Suriah terkait erat dengan kepentingan AS dalam memastikan pengaruhnya tetap mengalir di wilayah tersebut.

Baik untuk tujuan normalisasi hubungan dengan Israel, membendung ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh Hizbullah Lebanon, maupun untuk memperkuat kepentingan ekonomi perusahaan-perusahaan AS di Suriah. Terutama dalam sektor minyak, gas, dan infrastruktur.

Oleh karena itu, pemerintahan Trump memberikan lampu hijau untuk merehabilitasi dan mendukung rezim Suriah yang baru serta memfasilitasi penguasaan penuh tentara Suriah atas seluruh wilayah negara tersebut.

Dengan demikian, diperkirakan bahwa dalam tahap berikutnya akan ada upaya AS untuk mengurangi atau bahkan mencabut sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh AS dan Uni Eropa.

Langkah ini akan mempermudah transaksi perbankan internasional dengan Suriah dan membuka jalan bagi hubungan diplomatik. Langkah ini memungkinkan kepemimpinan Suriah menstabilkan kondisi keamanan dan kembali bergabung dengan komunitas internasional.

Hal ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa rezim baru tidak akan menjadi sarang ekspor terorisme, seperti yang dilakukan oleh rezim Bashar al-Assad sebelumnya.

Sementara itu, meskipun Turki menerima kesepakatan ini dengan sikap hati-hati. Perjanjian tersebut merupakan konsekuensi langsung dari pengumuman bersejarah oleh Partai Pekerja Kurdistan (PKK) Turki yang menyatakan penghentian aktivitas militernya terhadap tentara Turki.

Keputusan ini mendorong para pemimpin Pasukan Demokratik Suriah untuk menandatangani kesepakatan tersebut. Turki, di sisi lain, berupaya memastikan bahwa kesepakatan ini tidak akan memberikan kendali politik dan keamanan kepada SDF di wilayah utara dan timur Suriah.

Turki juga tidak ingin kesepakatan ini mengarah pada pembentukan bentuk pemerintahan otonom bagi Kurdi Suriah. Hal itu dapat menjadi ancaman bagi keamanan nasional Turki di masa depan.

Ranjau di jalan kesepakatan

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kesepakatan ini adalah langkah bersejarah yang penting dalam upaya memulihkan persatuan Suriah, menyatukan kembali tentaranya, dan memperkuat ekonominya.

Integrasi SDF ke dalam tentara Suriah akan meningkatkan kapabilitas tempur militer, mengingat bahwa para pejuang Kurdi telah mendapatkan pelatihan tingkat tinggi dari pasukan AS dan dilengkapi dengan persenjataan canggih.

Selain itu, pemulihan lebih dari 27% wilayah Suriah yang saat ini dikuasai oleh SDF, termasuk kekayaan minyak, ladang gas, perbatasan, dan sumber daya air, akan membantu rezim Suriah yang baru secara ekonomi.

Termasuk juga memungkinkannya mengatasi berbagai masalah seperti kemiskinan dan pengangguran, serta menghidupkan kembali sektor minyak, gas, pertanian, dan industri di wilayah utara dan timur Suriah.

Namun, seperti yang sering dikatakan dalam politik, niat baik saja tidak cukup. Oleh karena itu, keberlanjutan kesepakatan ini masih penuh dengan tantangan dan risiko, terutama terkait dengan integrasi Pasukan Demokratik Suriah ke dalam tentara Suriah.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah seluruh 120 ribu anggota SDF akan diterima, atau hanya sebagian yang akan diintegrasikan, sementara yang lain akan diberhentikan atau dialihkan ke pekerjaan sipil?

Selain itu, apakah pejuang Kurdi akan diutamakan sementara pejuang Arab dalam SDF justru diberhentikan? Bagaimana dengan senjata yang diberikan oleh AS? Apakah rezim Suriah yang baru dan Turki akan menyetujui SDF untuk mempertahankan persenjataan canggihnya? Ataukah senjata tersebut akan dilucuti dan dialihkan ke unit-unit lain dalam tentara Suriah? Apakah pasukan SDF akan didistribusikan ke berbagai wilayah sesuai dengan penyebaran tentara Suriah, atau tetap berpusat di wilayah mereka saat ini?

Dari sisi ekonomi, meskipun kesepakatan ini membuka peluang investasi asing dan membawa perubahan struktural dalam ekonomi Suriah.—termasuk penghapusan hukum ekonomi lama yang berbasis sosialisme yang menghambat investasi—mengambil alih kendali atas sumber pendanaan utama yang saat ini dikuasai oleh SDF bukanlah hal yang mudah.

SDF memperoleh pendapatan besar dari penyelundupan minyak dan gas, pertanian, serta pos perbatasan.

Ditambah lagi, keberadaan jaringan mafia senjata, kejahatan terorganisir, dan perdagangan narkoba yang telah lama mengakar dapat menghambat implementasi kesepakatan ini.

Selain itu, ada kelompok-kelompok Kurdi yang menolak kesepakatan ini serta pejuang asing yang telah terbiasa dengan perdagangan gelap, seperti narkoba, penyelundupan minyak, dan senjata lintas batas.

Tantangan lain yang masih menjadi hambatan utama dalam kesepakatan ini adalah faktor Israel.

Kesepakatan ini membawa Kurdi kembali ke dalam kendali negara Suriah, yang merupakan pukulan telak bagi strategi Israel dalam memainkan kartu minoritas di Suriah dan melemahkan rezim barunya.

Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa Israel akan kembali mengaktifkan strateginya dengan mendukung kelompok-kelompok Kurdi dan non-Kurdi yang merasa dirugikan oleh kesepakatan ini.

Kesimpulan

Pada akhirnya, kesepakatan ini tetap menjadi langkah yang hati-hati dalam perjalanan politik yang kompleks.

Keberhasilan dan masa depannya akan sangat bergantung pada kemampuan pihak-pihak terkait dalam menyeimbangkan kepentingan yang saling bertentangan serta dalam mengelola tantangan internal dan eksternal yang muncul di sepanjang jalan.

*Dhaham al-Azzawi bekerja sebagai penasihat politik di Kementerian Perencanaan Irak. Sebelumnya, ia bekerja sebagai pengajar dan peneliti di Universitas Al-Nahrain, serta sebagai Direktur Jenderal dan anggota Komisi Hak Asasi Manusia Irak. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Limādzā Munikhat Idārah Trāmb al-Dhau’ al-Akhdhor Li Ittifāq al-Syarā’ wa QSD?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular