Thursday, July 3, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Mengapa Trump mencabut sanksi terhadap Suriah sekarang?

OPINI: Mengapa Trump mencabut sanksi terhadap Suriah sekarang?

Oleh: Wael Alwan*

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali membuat kejutan besar dalam kebijakan luar negerinya.

Pada hari terakhir bulan Juni 2025, ia menandatangani keputusan eksekutif yang mencabut sanksi terhadap Suriah, negara yang selama lebih dari satu dekade berada dalam pusaran perang dan sanksi internasional.

Trump menyebut langkah ini sebagai “bagian dari dukungan terhadap keamanan nasional dan tujuan politik luar negeri AS.”

Pengumuman ini bukan tanpa konteks. Ia menjadi kelanjutan dari pertemuan Trump dengan Presiden Suriah yang baru, Ahmad Al-Sharaa, di Riyadh, Arab Saudi, pada pertengahan Mei lalu.

Pertemuan yang sempat menarik perhatian dunia itu menandai babak baru strategi Washington terhadap Suriah, negara yang selama era pemerintahan Partai Ba’ath lebih dekat ke blok Timur, namun kini berbalik arah ke orbit Barat, di bawah pengaruh Amerika Serikat.

Washington mendukung kepentingan sekutunya

Amerika Serikat tidak lagi ingin melihat Suriah sebagai medan pengaruh bagi Rusia dan Iran

Dua kekuatan yang secara konsisten menentang kepentingan Barat dan mendekatkan diri pada Tiongkok sebagai penantang utama dominasi global AS.

Secara khusus, Iran telah menjadikan wilayah Suriah sebagai pangkalan strategis untuk menekan kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah.

Dalam lanskap baru ini, sejumlah negara sekutu utama Washington, termasuk Arab Saudi dan Turki, mendorong Amerika untuk tidak hanya mendukung perubahan rezim di Suriah, tetapi juga mempercepat stabilisasi ekonomi dan politik negara itu.

Pencabutan sanksi menjadi langkah krusial untuk menghindari kembalinya kekacauan yang bisa merugikan para sekutu Amerika—dan secara tidak langsung, merugikan Amerika sendiri.

Langkah ini juga diiringi oleh pertemuan dua menteri luar negeri—AS dan Suriah—di Ankara, Turki.

Sebuah pertemuan simbolis yang mencerminkan pentingnya Riyadh dan Ankara dalam menyusun wajah baru kawasan Timur Tengah yang lebih stabil dan terhubung.

Realisme politik: “America First”

Kebijakan Trump ini konsisten dengan prinsip “America First” yang ia pegang sejak awal masa jabatannya.

Ia tidak tertarik menyebarkan demokrasi secara dogmatis atau memaksakan nilai-nilai liberal ke negara lain.

Sebaliknya, Trump lebih memilih pendekatan transaksional: setiap langkah harus membawa keuntungan strategis dan ekonomi bagi Amerika dan mitra-mitranya.

Kebijakan ini sekaligus menjadi antitesis dari doktrin “chaos kreatif” yang pernah menjadi landasan kebijakan luar negeri AS sebelumnya.

Yakni mendorong perubahan rezim dengan membiarkan konflik berlangsung panjang untuk kemudian membentuk tatanan baru.

Di Suriah, pendekatan itu ditinggalkan. Kini, yang menjadi prioritas adalah stabilitas dan keuntungan ekonomi, bukan perubahan radikal yang disertai kekacauan.

Pencabutan sanksi pun dilakukan bukan karena idealisme, melainkan sebagai respons atas diplomasi regional yang sukses meyakinkan Washington bahwa stabilitas di Suriah akan membawa manfaat nyata bagi kepentingan Amerika dan mitra strategisnya di kawasan.

Ekonomi sebagai pilar stabilitas

Amerika menyadari bahwa penggerak utama stabilitas bukan hanya rekonsiliasi politik atau keberhasilan militer, melainkan pembangunan ekonomi.

Membuka pintu investasi ke Suriah akan menciptakan lapangan kerja, mengurangi potensi radikalisasi, dan menghentikan arus migrasi yang mengancam stabilitas kawasan.

Turki dan Arab Saudi, dua kekuatan ekonomi dan politik regional, mendorong agar Suriah diintegrasikan kembali ke dalam jaringan ekonomi kawasan.

Dari Semenanjung Arab hingga Anatolia, kawasan ini tengah membangun jalur konektivitas ekonomi yang hanya akan lengkap jika Suriah menjadi bagian darinya.

Bagi Amerika, ini adalah peluang emas untuk memperluas pengaruhnya—tidak dengan senjata, tetapi dengan infrastruktur, modal, dan kerja sama ekonomi.

Dengan begitu, Suriah akan menjadi perpanjangan tangan kepentingan Amerika di Timur Tengah, bukan medan konflik bagi kekuatan lawan seperti Iran dan Rusia.

Selain peluang ekonomi, pencabutan sanksi juga merupakan sinyal kuat kepada Iran: era dominasi Tehran di Damaskus telah usai.

Dengan tumbuhnya ekonomi lokal dan membaiknya kondisi sosial, para pemuda Suriah yang sebelumnya direkrut untuk berperang akan memiliki alternatif lain.

Dalam jangka panjang, ini akan menjadi pukulan strategis bagi Iran dan proksinya di kawasan, termasuk di Lebanon.

Dengan berakhirnya peran destruktif yang dimainkan oleh berbagai milisi dan aktor non-negara, Suriah berpeluang menjadi jangkar stabilitas, bukan sumber instabilitas.

Dan itu, bagi Trump, adalah keberhasilan yang sejalan dengan prinsip utamanya: “America First”.

Insentif tidak gratis

Keputusan eksekutif Presiden Donald Trump untuk mencabut sanksi terhadap Suriah bukanlah hadiah cuma-cuma.

Ia merupakan bagian dari proses bertahap yang dirancang AS guna mendorong keberhasilan transisi politik di negara yang selama bertahun-tahun dilanda perang dan isolasi.

Sejak diumumkan enam pekan lalu, kebijakan ini telah menjadi sorotan sebagai bentuk insentif dengan tujuan strategis yang sangat jelas.

Pemerintahan Trump tidak merahasiakan syarat-syarat yang menyertai pencabutan sanksi tersebut.

Sejak awal, Washington menegaskan bahwa dukungannya terhadap pemerintahan baru di Damaskus bersyarat.

Presiden Suriah, Ahmad Al-Sharaa, pun memahami bahwa keberhasilan proyek rekonsiliasi nasional yang ia usung tak mungkin terjadi tanpa keterlibatan aktif dan positif dari negara-negara Barat, terutama AS.

Sebagian besar syarat itu sejatinya sejalan dengan visi pemerintahan baru Suriah. Contohnya adalah kesepakatan dalam hal pemberantasan kelompok teroris seperti ISIS.

Tujuan ini memberikan keuntungan timbal balik: bagi Trump, ini membuka jalan untuk menepati janji kampanyenya menarik pasukan AS dari Suriah, sekaligus memperkuat manuvernya di Irak, termasuk upaya membatasi pengaruh milisi populer pro-Iran di sana.

Namun, tidak semua syarat AS bisa segera dipenuhi. Beberapa isu tetap memerlukan perundingan dan waktu.

Salah satu yang paling rumit adalah hubungan Suriah dengan Israel—sebuah topik sensitif yang menyimpan banyak lapisan kepentingan dan sejarah.

Meski demikian, fakta bahwa Washington telah membuka pintu pengakuan politik dan ekonomi terhadap pemerintahan Al-Sharaa menjadi pendorong utama bagi upaya pemenuhan syarat lainnya.

Dukungan dari Amerika bukanlah cek kosong. Setiap langkah pemerintahan di Damaskus akan diawasi dan dievaluasi secara berkelanjutan.

Pemerintahan Trump menuntut agar Suriah memperkuat prinsip inklusivitas dalam pemerintahan, menghindari praktik diskriminasi atau marginalisasi kelompok tertentu, serta mengambil sikap tegas terhadap ekstremisme dan keberadaan kelompok militan asing.

Sikap ini tidak berbeda dengan pendekatan yang diambil Uni Eropa. Seperti halnya Brussels, Washington menyatakan bahwa pencabutan sanksi adalah langkah reversibel.

Jika komitmen Suriah goyah atau melenceng dari harapan, maka sanksi bisa saja diberlakukan kembali sewaktu-waktu.

Dengan demikian, insentif ekonomi ini tidak hanya berfungsi sebagai dorongan, melainkan juga sebagai ujian. Amerika dan sekutunya seolah berkata kepada Damaskus.

“Kami telah memberi Anda kesempatan penuh untuk membuktikan keseriusan menjalankan transisi. Kini, semua mata tertuju pada Anda,” katanya.

Bagi pemerintahan Al-Shar’a, ini adalah peluang bersejarah sekaligus beban tanggung jawab yang besar. Pintu-pintu telah dibuka.

Namun, terbukanya pintu juga berarti munculnya kewajiban baru—dari membangun lembaga yang inklusif, menjaga stabilitas keamanan, hingga mengelola ekspektasi masyarakat yang lelah oleh perang.

Di sisi lain, pengawasan terhadap proses ini bukan hanya datang dari Amerika dan Eropa. Negara-negara kawasan seperti Turki dan Arab Saudi juga akan berperan sebagai penjamin sekaligus penekan terhadap jalannya reformasi di Suriah.

Kedua negara tersebut memiliki kepentingan langsung terhadap stabilitas di kawasan, dan kini menjadi mitra utama dalam membentuk wajah baru Timur Tengah pasca-konflik.

Dengan kata lain, keputusan untuk mencabut sanksi bukanlah akhir dari babak panjang konflik Suriah.

Sebaliknya, ia menjadi awal dari ujian baru bagi pemerintahan di Damaskus—ujian yang hasilnya akan menentukan nasib masa depan Suriah dan keseimbangan kekuatan regional di sekitarnya.

*Wael Alwan adalah peneliti yang mengkhususkan diri dalam urusan Suriah. Ia juga penulis dan analis politik Suriah. Ia telah menjadi peneliti di Jusoor Center for Studies sejak Mei 2019 dan direktur unit informasi di pusat tersebut. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Limadzā Rafa’a Trāmb al-‘Uqubāt ‘An Sūiriyā al-Ān?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular