Friday, March 28, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Pembantaian Hama, berkas lama yang menghadang pemerintah baru Suriah

OPINI: Pembantaian Hama, berkas lama yang menghadang pemerintah baru Suriah

Oleh: Fadl Abdul Ghani*

Pembantaian Hama tahun 1982 merupakan salah satu kejahatan massal paling mengerikan dalam sejarah modern Suriah. Tragedi ini merenggut nyawa puluhan ribu warga sipil dan meninggalkan luka mendalam dalam ingatan nasional yang belum sembuh hingga kini.

Tragedi ini mendapatkan dimensi baru seiring dengan perkembangan politik terbaru di Suriah, yaitu jatuhnya rezim Assad dan terbentuknya pemerintahan transisi baru.

Dalam konteks perubahan besar ini, membuka kembali berkas pembantaian, mengungkap fakta-faktanya, serta mengadili para pelaku kejahatan menjadi syarat penting untuk membangun negara yang berlandaskan supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Pentingnya membuka kembali berkas Pembantaian Hama tidak dapat dipisahkan dari prinsip keadilan transisi. Yaitu, suatu pendekatan yang dirancang untuk membantu masyarakat yang keluar dari konflik internal atau rezim otoriter dalam mengatasi warisan masa lalu yang represif.

Prinsip ini menekankan pengungkapan kebenaran, akuntabilitas, pemulihan korban, serta jaminan agar pelanggaran serupa tidak terulang di masa depan.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, pengakuan resmi atas kejahatan masa lalu dan pelanggaran sistematis menjadi langkah krusial dalam mencapai rekonsiliasi nasional dan perdamaian sosial.

Konteks politik singkat

Pengambilalihan kekuasaan oleh Partai Ba’ath di Suriah pada tahun 1963 menjadi titik balik dalam sejarah politik negara itu. Harapan untuk membangun sistem parlementer yang demokratis dan pluralis pun pupus. Kudeta yang dikenal sebagai “Revolusi 8 Maret” memberikan kekuasaan hampir mutlak kepada komite militer Partai Ba’ath.

Di tengah perubahan tersebut, Hafiz al-Assad muncul sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam komite itu. Ia merebut kekuasaan pada tahun 1970 melalui gerakan yang disebut “Gerakan Koreksi”, yang memungkinkannya mengkonsolidasikan kekuasaan di seluruh institusi negara.

Selama periode ini, rezim Assad menguasai tiga cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, melalui serangkaian undang-undang dan kebijakan keamanan yang represif.

Kehidupan politik yang sehat dengan partai-partai independen dihancurkan, sementara serikat pekerja dan asosiasi profesional digabungkan ke dalam struktur yang dikontrol oleh partai.

Dalam iklim politik yang represif ini, prinsip “satu partai, satu pemimpin” mendominasi, sementara peluang bagi oposisi politik dan kebebasan berekspresi sepenuhnya diberangus.

Dengan ketiadaan pengawasan internasional yang efektif dan dinamika Perang Dingin, rezim Assad merasa bebas untuk menindak siapa pun yang dianggap sebagai lawan politiknya.

Hal ini membuka jalan bagi terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk Pembantaian Hama tahun 1982, yang terjadi dalam konteks pemerintahan yang sepenuhnya mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan mekanisme akuntabilitas.

Pembantaian Hama: Februari 1982

Ketegangan politik dan keamanan yang meningkat di akhir 1970-an dan awal 1980-an memicu bentrokan di Kota Hama antara pasukan pemerintah Suriah dan kelompok-kelompok bersenjata yang menentang rezim, termasuk anggota dan simpatisan Ikhwanul Muslimin.

Pemerintah Suriah memanfaatkan bentrokan berskala kecil ini sebagai dalih untuk melancarkan operasi militer besar-besaran di seluruh kota.

Serangan ini dimulai pada awal Februari 1982 dan berlangsung selama hampir sebulan, dengan tingkat kekerasan yang sangat brutal.

Skala pasukan dan sifat sistematis serangan

Rezim Suriah mengerahkan kekuatan militer yang sangat besar ke Kota Hama, termasuk unit-unit pasukan khusus, Brigade Pertahanan, beberapa divisi tank, serta aparat keamanan dan intelijen.

Pasukan ini mengepung kota secara ketat, memutus pasokan air, listrik, dan komunikasi, menjadikan Hama sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Meskipun rezim mengklaim bahwa operasi itu bertujuan untuk memberantas “kantong-kantong bersenjata,” skala serangan dan metode yang digunakan menunjukkan bahwa tujuan sebenarnya adalah menghukum seluruh kota dan penduduknya.

Serangan itu melibatkan pemboman artileri dan serangan udara yang masif, eksekusi di tempat, serta penjarahan terorganisir di lingkungan pemukiman.

Kesaksian dari para peneliti dan organisasi hak asasi manusia, termasuk laporan dari Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah pada peringatan 40 tahun pembantaian pada Februari 2022, mengungkapkan pola serangan yang sistematis.

Rezim menerapkan pendekatan “penghancuran total” terhadap lingkungan yang dianggap sebagai basis pendukung oposisi, tanpa membedakan antara warga sipil dan kelompok bersenjata.

Dengan demikian, apa yang awalnya diklaim sebagai “operasi keamanan terbatas” berubah menjadi salah satu kampanye represi terbesar dalam sejarah modern Suriah.

Jumlah korban dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Mendapatkan angka pasti mengenai jumlah korban pembantaian Hama sangat sulit akibat penyensoran ketat yang diberlakukan oleh rezim saat itu. Namun, perkiraan dari berbagai organisasi hak asasi manusia menunjukkan bahwa antara 30.000 hingga 40.000 warga sipil tewas selama operasi tersebut.

Selain korban jiwa, diperkirakan sekitar 17.000 orang mengalami penangkapan sewenang-wenang atau penghilangan paksa, dan hingga kini nasib sebagian besar dari mereka masih belum diketahui.

Kota Hama juga menjadi saksi munculnya banyak kuburan massal yang ditemukan setelah tragedi tersebut.

Kehancuran Total dan Penjarahan

Pelanggaran yang terjadi tidak hanya terbatas pada pembunuhan dan penangkapan, tetapi juga mencakup kehancuran luas di berbagai wilayah kota, terutama di lingkungan-lingkungan bersejarah di pusat dan pinggiran kota.

Pemboman artileri dan udara menghancurkan banyak bangunan, termasuk masjid, gereja, dan pasar tradisional yang merupakan bagian dari warisan budaya kota.

Selain itu, terjadi penjarahan secara sistematis, di mana banyak rumah dan toko dikosongkan oleh pasukan militer atau agen keamanan yang menyamar dengan pakaian sipil. Setelah penjarahan, beberapa rumah, toko, dan pasar dibakar secara sengaja.

Serangan militer yang brutal ini meninggalkan dampak jangka panjang pada struktur sosial dan ekonomi kota. Ribuan keluarga mengungsi dari Hama untuk menghindari kekerasan, sementara banyak rumah dan usaha dagang disita.

Generasi yang tumbuh setelah tragedi ini terus dihantui oleh ketakutan, trauma, dan rasa ketidakadilan yang mendalam.

Pengabaian internasional dan lokal terhadap pembantaian

Meskipun besarnya kejahatan yang terjadi di Hama pada tahun 1982, tidak ada tindakan resmi atau internasional yang dapat dianggap efektif pada waktu itu.

Sama sekali tidak ada penyelidikan independen dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengungkap fakta, bahkan di kalangan organisasi hak asasi manusia internasional, pembahasan mengenai tragedi ini hampir tidak terdengar.

Pada puncak pembantaian, Suriah berada di bawah pengaruh keseimbangan geopolitik yang rumit, di mana dunia terbagi menjadi dua blok selama Perang Dingin. Situasi ini menyebabkan banyak pelanggaran hak asasi manusia di Timur Tengah berlalu tanpa pertanggungjawaban nyata.

Di tingkat domestik, rezim Suriah memberlakukan kebungkaman media secara ketat. Surat kabar independen telah ditutup sejak awal pemerintahan Ba’ath, dan narasi resmi menguasai sedikit saluran media yang tersisa.

Dengan diberlakukannya undang-undang darurat sejak tahun 1963, ruang gerak bagi aktivitas politik independen yang dapat menuntut penyelidikan atau pertanggungjawaban menjadi sangat sempit.

Bahkan, berbicara tentang pembantaian Hama menjadi hal yang tabu, di mana siapa pun yang melanggarnya akan menghadapi ancaman penangkapan dan penganiayaan.

Akibat dari pengabaian ini, baik secara lokal maupun internasional, adalah menguatnya budaya impunitas yang berlangsung selama dekade-dekade berikutnya.

Rezim Suriah mengirimkan pesan bahwa mereka dapat melakukan pelanggaran berat terhadap warga sipil tanpa rasa takut akan hukuman, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Situasi ini menciptakan kekosongan keadilan yang terus berlanjut dan memperburuk pelanggaran serupa di masa depan. Warga Suriah, khususnya penduduk Hama, kehilangan harapan untuk mendapatkan keadilan atau kompensasi, sementara rezim Assad merasa semakin percaya diri untuk menggunakan kekerasan ekstrem sebagai alat mempertahankan kekuasaan.

Pentingnya membuka kembali berkas pembantaian hari ini

Ketika gelombang protes rakyat meletus pada tahun 2011, ingatan tentang pembantaian Hama kembali mencuat ke permukaan, baik di kalangan masyarakat yang melihatnya sebagai simbol kekejaman rezim, maupun di kalangan aparat keamanan yang sekali lagi menerapkan pendekatan represif.

Dalam arti tertentu, peristiwa tahun 2011 dapat dilihat sebagai kelanjutan dari sejarah penindasan yang tidak pernah ditangani secara tuntas akibat kelalaian komunitas internasional dan ketiadaan pertanggungjawaban atas kejahatan besar yang dilakukan rezim Assad, mulai dari Hama hingga pelanggaran yang terdokumentasi baru-baru ini.

Dengan jatuhnya rezim Assad dan terbentuknya pemerintahan transisi baru, membuka kembali berkas pembantaian Hama menjadi langkah penting untuk memberikan keadilan bagi para korban dan memastikan bahwa kekejaman semacam itu tidak terulang di masa depan.

Di tingkat internasional, langkah ini membutuhkan tindakan nyata dari sistem PBB dan organisasi hak asasi manusia. Ini dapat dilakukan melalui pembentukan komisi penyelidikan internasional yang independen, serta mendukung pemerintah Suriah yang baru dalam membangun landasan hukum dan administratif untuk menangani warisan kejahatan masa lalu.

Peran pemerintah Suriah yang baru

Pemerintah transisi Suriah menghadapi tanggung jawab historis untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan transisi. Ini dimulai dengan penghapusan undang-undang yang mengabadikan impunitas, terutama yang memberikan kekebalan hukum kepada aparat keamanan.

Misalnya, dekrit legislatif No. 14 tahun 1969 melarang pengajuan tuntutan hukum terhadap personel keamanan tanpa persetujuan resmi dari otoritas tertinggi. Ini menciptakan rasa kekebalan total di kalangan aparat keamanan dan militer.

Konsekuensi dari undang-undang semacam itu adalah sistem peradilan yang lumpuh, di mana hampir tidak mungkin membuka penyelidikan serius terhadap kejahatan besar yang terjadi selama dekade-dekade sebelumnya.

Oleh karena itu, salah satu tugas utama pemerintah baru adalah mengesahkan undang-undang yang secara eksplisit membatalkan ketentuan-ketentuan tersebut, serta memulihkan independensi sistem peradilan agar dapat mengadili pelaku kejahatan berat sesuai standar pengadilan yang adil.

Di samping reformasi legislatif, dokumentasi dan pengumpulan kesaksian menjadi pilar penting dalam mengungkap kebenaran. Pelanggaran berat seperti pembantaian Hama tidak dapat ditangani secara efektif tanpa pengumpulan bukti yang kuat serta penyelidikan yang transparan dan independen.

Penyelidikan, dokumentasi, dan perlindungan saksi

Dalam konteks ini, pembentukan komisi penyelidikan nasional menjadi sangat penting. Komisi tersebut harus terdiri dari hakim, ahli hukum independen, dan perwakilan keluarga korban, serta diberi kewenangan penuh untuk mengakses dokumen keamanan, memanggil saksi, dan menganalisis bukti.

Tantangan dalam proses dokumentasi, seperti waktu yang telah berlalu dan kelangkaan dokumen resmi, menjadikan kesaksian para penyintas, keluarga korban, dan saksi mata sebagai sumber yang tak tergantikan untuk merekonstruksi kebenaran.

Untuk itu, pemerintah baru harus menciptakan lingkungan yang aman bagi para saksi dan mendukung pembentukan arsip nasional yang menyimpan kesaksian dan bukti terkait pembantaian. Ini penting untuk mencegah pemalsuan atau penghapusan fakta di masa depan.

Selain penyelidikan yudisial dan dokumentasi, mengungkap nasib ribuan orang yang hilang selama pembantaian Hama menjadi langkah penting dalam upaya mencapai keadilan dan memberikan penghormatan kepada keluarga korban.

Mengungkap nasib orang hilang dan mengembalikan hak korban

Selama operasi militer tahun 1982, sekitar 17.000 orang dilaporkan hilang, dan hingga kini keluarga mereka masih belum mengetahui nasibnya.

Oleh karena itu, diperlukan tim investigasi khusus yang terdiri dari ahli forensik dan pakar DNA untuk mengidentifikasi lokasi kuburan massal dan menganalisis jenazah guna menentukan identitas korban.

Pengembalian jenazah kepada keluarga mereka merupakan langkah krusial dalam pengakuan resmi atas kejahatan yang terjadi, serta membantu mengurangi penderitaan keluarga yang selama puluhan tahun hidup dalam ketidakpastian dan kesedihan.

Di samping itu, pengakuan resmi pemerintah baru terhadap pembantaian Hama dan pengintegrasiannya ke dalam catatan sejarah nasional melalui kurikulum pendidikan dan peringatan resmi akan menjadi langkah identitas yang penting.

Ini akan memastikan bahwa peristiwa tragis tersebut tidak dilupakan atau diputarbalikkan di masa depan, serta menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang.

Kompensasi dan pemulihan korban

Selain mengungkap kebenaran, pemerintah baru juga harus mengambil langkah nyata untuk memulihkan hak korban dan keluarga mereka, baik secara material maupun moral.
Kerugian yang diakibatkan oleh pembantaian tidak hanya terbatas pada hilangnya nyawa, tetapi juga mencakup kehancuran properti, penjarahan rumah, dan pengungsian keluarga.

Oleh karena itu, diperlukan program kompensasi yang adil guna memulihkan hak-hak yang hilang.

Kompensasi ini mencakup pemberian santunan finansial kepada keluarga korban dan penyintas, serta pengembalian properti yang disita atau memberikan kompensasi sesuai nilai pasarnya.
Di samping itu, langkah-langkah pemulihan juga harus mencakup permintaan maaf resmi dari negara, pendirian monumen peringatan untuk mengenang para korban, serta penyediaan dukungan psikososial bagi penyintas dan keluarga orang hilang yang masih menghadapi dampak trauma.

Reformasi institusional dan jaminan ketidakberulangan

Untuk mencegah terulangnya kejahatan serupa di masa depan, reformasi institusional menjadi agenda prioritas yang harus dijalankan oleh pemerintah baru. Tanpa reformasi mendalam di sektor keamanan dan peradilan, ancaman kembalinya tirani tetap ada.

Ini mencakup pembentukan mekanisme pengawasan independen terhadap kinerja aparat keamanan, pemecatan pejabat yang terlibat dalam pelanggaran berat, serta memperkuat independensi peradilan untuk memastikan bahwa semua pelanggaran dapat diadili secara adil.

Selain itu, prinsip-prinsip hak asasi manusia harus diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan untuk menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar akan pentingnya keadilan dan akuntabilitas.

Pemerintah juga harus mengesahkan kerangka hukum yang secara eksplisit mengkriminalisasi kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk penyiksaan, penghilangan paksa, dan serangan terhadap warga sipil.

Mekanisme hukum ini harus memungkinkan penuntutan pelaku kejahatan, tanpa memandang jabatan atau status mereka.

Di samping reformasi domestik, penting untuk memperkuat kerja sama dengan organisasi hak asasi manusia internasional guna memastikan netralitas penyelidikan serta memanfaatkan keahlian global dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia.

Kesimpulan

Berkas pembantaian Hama tahun 1982 menjadi ujian nyata bagi keseriusan pemerintah baru Suriah dalam mengemban tanggung jawab historis dan menutup lembaran masa lalu dengan cara yang adil.

Tanpa penyelidikan transparan dan mekanisme akuntabilitas yang jelas, serta langkah konkret untuk memulihkan hak korban, warisan represif rezim Assad akan terus menghantui negeri ini, dan rekonsiliasi nasional yang sesungguhnya akan sulit tercapai.

Dalam konteks ini, kerja sama antara otoritas baru Suriah dan badan internasional sangatlah penting. Bantuan teknis dan hukum dari komunitas internasional akan memberikan legitimasi global terhadap setiap langkah yang diambil di tingkat nasional.

Pada akhirnya, langkah-langkah ini adalah satu-satunya cara untuk menutup celah sejarah yang diakibatkan oleh kegagalan komunitas internasional pada tahun 1980-an, sekaligus menjadi bukti bahwa Suriah kini memilih untuk menghadapi masa lalunya dengan cara yang berbeda.

*Fadl Abdul Ghani adalah Pendiri dan Direktur Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah. Tulisan ini diambil dari situs aljazeera.net dengan judul asli “Majzarah Hamāh, Milafun Qadīm Yuwājih al-Hukūmah al-Sūriyyah al-Jadīdah”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular