Oleh: Saeed bin Muhammad Al-Jahfali*
Penyair besar Irak, Muhammad Mahdi al-Jawahiri, pernah membuka salah satu puisinya dengan bait yang masyhur: “Ya sayyidi as‘if fami”—“Wahai Tuan, selamatkanlah lisanku.”
Sebuah ungkapan rendah hati yang meminta pertolongan, agar kata-kata yang lahir mampu menghormati peristiwa besar dan menggambarkan perasaan dengan jujur, tanpa hiasan berlebih ataupun basa-basi.
Dengan semangat itulah penulis mengajak dirinya—dan siapa pun yang menulis tentang Gaza, warganya, serta para pembela kebenaran di seluruh dunia—untuk menajamkan nurani dan memaksimalkan daya pikir.
Tujuannya satu: agar kata-kata yang ditulis mampu memberikan tempat yang layak bagi rakyat Gaza dan semua yang berdiri di sisi mereka; kelompok yang, dalam keyakinan penulis, adalah “fī‘ah manshūrah”—golongan yang memperoleh pertolongan Tuhan.
Mereka, warga Gaza, meski dilanda pembantaian dan tragedi yang terus berulang, telah memegang “kitab dengan kekuatan” sebagaimana Nabi Yahya.
Mereka menunjukkan kegigihan Nabi Muhammad SAW, ketabahan Nabi Ayyub, hingga pengalaman pahit Nabi Yusuf saat dikhianati oleh orang-orang dekat. Dengan keteladanan itulah mereka terus melangkah—mantap, yakin, berserah.
Kita tahu Gaza telah luluh-lantak; menjadi puing dan debu. Namun kehancuran fisik itu tak pernah menjatuhkan tekad warganya.
Mereka teguh mempertahankan tanah mereka. Seakan berkata:
“Bunuhlah kami semaumu. Yang akan kalian temukan hanyalah ketegaran—di atas tanah maupun di bawahnya.”
Di luar Gaza, suara rakyat dunia menggema. Lapangan-lapangan kota dipenuhi solidaritas.
Rezim-rezim otoriter pun terguncang oleh gelombang dukungan yang tak mereka duga.
Sekaligus, terkuak pula kegagalan kelompok-kelompok yang selama ini menghabiskan miliaran untuk memperkuat mesin perang dan mendukung proyek pemusnahan; proyek yang kini terburai sia-sia.
Penyair Abu al-Baqa’ al-Rundi, saat meratapi jatuhnya Andalusia, menutup puisinya dengan bait getir:
“Untuk tragedi seperti ini, hati pun menangis pilu, bila dalam hati itu masih tersisa iman dan Islam.”
Mereka yang mengucurkan dana besar untuk melenyapkan perlawanan Palestina justru menerima kenyataan pahit: harta itu lenyap tanpa hasil.
Firman Allah dalam Surat Al-Anfal ayat 36 pun seakan menemukan relevansinya:
“Mereka membelanjakan harta, lalu menjadi penyesalan bagi diri mereka sendiri, dan pada akhirnya mereka kalah”.
Tulisan ini menyoroti dukungan politik dan media dari para pembela kemanusiaan di dunia bagi rakyat Gaza. Soal dukungan militer, akan dibahas dalam tulisan tersendiri.
Gaza kini tampil sebagai fenomena yang menggetarkan tatanan dunia—dunia yang dikuasai segelintir elite uang dan teknologi, kelompok yang kerap menutup mata terhadap derita korban dan menginjak hukum demi kepentingan.
Kekejaman yang menimpa Gaza telah mengguncang nurani global. Di berbagai penjuru dunia, mereka yang memperjuangkan keadilan berdiri untuk satu seruan.
Bahwa kemanusiaan masih hidup, dan bahwa despotisme tak boleh dibiarkan berkuasa tanpa perlawanan.
Sementara itu, kebebasan berekspresi di banyak negara Arab justru dibungkam oleh politik dominasi.
Akses jalan dan lapangan untuk aksi solidaritas ditutup. Perbatasan ditutup oleh perintah Benjamin Netanyahu. Nanyak pemerintahan patuh tanpa bantahan. Bahkan doa untuk Gaza pun, di beberapa negara, dapat berujung hukuman penjara.
Lebih memalukan lagi, ketika pemimpin Israel mengancam secara terbuka akan menduduki wilayah Arab lain untuk mewujudkan “Israel Raya”, tak ada protes serius.
Tidak ada pengusiran diplomat, tak ada pemanggilan duta besar, tak ada nota protes. Sebuah kelumpuhan diplomasi yang tak pernah disaksikan sebelumnya.
Martabat dunia Arab seakan jatuh ke titik terendah—diam dalam genangan air keruh yang mematikan rasa.
Saat itulah para pembela keadilan dari belahan dunia lain mengambil alih peran, memperjuangkan kehormatan yang mesti dijaga bangsa Arab sendiri.
Ulama besar Muhammad al-Ghazali, menanggapi pandangan Ibnu Khaldun tentang karakter bangsa Arab, pernah menulis: bangsa Arab adalah kaum yang emosinya mudah menyala; bila tersesat, hilang arah, bila sadar, mencapai puncak.
Ia menyimpulkan: bangsa Arab tak akan stabil tanpa agama, tak akan berwibawa tanpa kenabian, dan dunia tak menganggap mereka berarti kecuali bila mereka memegang wahyu.
Bila hubungan mereka dengan langit terputus, bumi pun menjadi sempit, dan kehinaan menyergap dari segala arah.
Realitas inilah yang kini tampak. Dan kenyataan itu pula yang membuat banyak orang di dunia merasa terpanggil menolak ketidakadilan.
Mereka mengorganisasi aksi boikot, menggalang tekanan politik, memobilisasi solidaritas virtual, dan membentuk jejaring kemanusiaan lintas bangsa.
Sebuah persaudaraan kemanusiaan yang melampaui ikatan darah dan agama.
Puluhan kapal berlayar mencoba menembus blokade. Media independen bersuara lantang. Kesadaran baru tumbuh di berbagai negeri.
Selubung propaganda Zionis tersingkap; dunia menyaksikan kebiadaban yang selama puluhan tahun ditutupi narasi manipulatif.
Di Afrika Selatan—“Benua Para Pejuang”—massa turun ke jalan. Anak cucu Nelson Mandela memimpin demonstrasi, mengajukan berkas-berkas gugatan terhadap Israel ke Mahkamah Pidana Internasional.
Mereka tak gentar oleh ancaman Amerika. Mereka pernah merasakan getirnya apartheid; mereka tahu harga kebebasan.
Mandela pernah berkata:
“Kebebasan kami belum sempurna tanpa kebebasan rakyat Palestina.”
Dan juga:
“Orang yang tak tersentuh oleh penghinaan terhadap sesamanya, bukanlah orang bebas.”
Dari Eropa, gelombang kemanusiaan turut bangkit. Spanyol memilih berdiri di sisi moralitas. Perdana Menteri Pedro Sánchez menegaskan:
“Kami mungkin tak bisa menghentikan serangan Israel atas Gaza, tapi itu tidak berarti kami berhenti berusaha.”
Spanyol juga menghentikan aliran senjata melalui pelabuhannya, serta membuka ruang publik bagi demonstrasi besar-besaran.
Di Italia, rakyat menunjukkan nurani yang berbeda dengan pemerintahnya. Jalan-jalan kota dipenuhi dukungan bagi Gaza.
Sementara pemerintah tetap menjaga garis resmi yang pro-Israel. Fenomena serupa terlihat di banyak negara Eropa.
Di benua Amerika Latin—negeri Bolivar dan Che Guevara—narasi lain bergulir. Para ibu Amerika Latin yang membesarkan anak-anak mereka dengan martabat dan harga diri berdiri tegak membela rakyat Palestina.
Banyak negara memutus hubungan diplomatik, mengusir duta besar Israel, atau membekukan kerja sama dagang.
Presiden Kolombia, Gustavo Petro, menyerukan pembentukan “tentara warga dunia” untuk membebaskan Palestina.
Ia menyebut rakyat Gaza sebagai “kehormatan perjuangan global” dan menganugerahkan “Medali Bolivar” kepada rakyat Gaza.
Sementara tangis Presiden Brasil, Lula da Silva, ketika menyebut nasib anak-anak Gaza, lebih menyengat bagi rezim Zionis dibandingkan gudang-gudang senjata yang dibiarkan berdebu di dunia Arab.
Perang Gaza menyingkap banyak selubung. Kesadaran global meningkat—dan berbanding terbalik dengan menurunnya citra Israel di mata publik internasional.
Propaganda Zionis yang selama ini mendominasi media Barat runtuh; kini apa pun yang datang dari Tel Aviv justru dipandang dengan curiga.
Indikatornya jelas: kemenangan politisi Muslim progresif, Zohran Mamdani, dalam pemilihan wali kota New York—kota yang selama ini dipersepsikan sebagai “pusat kekuatan” lobi pro-Israel.
Di dunia Arab, dukungan rakyat begitu tegas. Meskipun tersandung kemunduran dan perpecahan, umat ini tidak mati. Gaza tetap menjadi pusat denyut nurani bangsa Arab dan Muslim.
Adapun sikap resmi pemerintahan Arab bervariasi. Ada yang mendukung sebatas yang memungkinkan.
Ada pula yang bersikap netral karena takut tekanan Amerika. Ada yang justru mendekat dan mendukung Israel demi posisi geopolitik yang tak akan pernah tercapai, mengingat pengaruh Zionisme kini justru kian melemah.
Variasi sikap inilah yang melemahkan posisi Arab di panggung internasional, terutama dalam isu Palestina—isu fundamental bagi martabat seluruh kawasan.
Namun dukungan rakyat dunia—dari Afrika hingga Amerika Latin, dari Eropa hingga Asia—telah membuktikan bahwa kemanusiaan tak pernah mati.
Gaza, dengan segala luka dan darahnya, telah menghidupkan kembali hati nurani dunia.
*Saeed bin Muhammad Al-Jahfali merupakan seorang blogger yang berasal dari Oman. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Ghazah wa Aḥrār al-‘Ālami: Suqūṭ al-Riwāyah al-Shuhyūniyyah wa Shu’ūdu al-Dzamīr al-Insānī!”.


