Friday, September 12, 2025
HomeBeritaOPINI - Serangan Israel di Qatar dan ketakutan para tiran

OPINI – Serangan Israel di Qatar dan ketakutan para tiran

Oleh: Fahmi Salim Lc. M.A

Ketua Umum Forum Dai & Mubaligh Azhari Indonesia
Direktur Baitul Maqdis Institute

Pernyataan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan bahwa serangan Israel terhadap delegasi Hamas di Qatar pada Selasa (9/9/25) bertujuan “memperdalam konflik dan mengacaukan stabilitas”, sekilas terdengar sebagai pidato diplomatis biasa.

Namun, di balik kalimat itu tersembunyi kenyataan yang lebih dalam: konflik ini bukan sekadar soal Gaza, bukan sekadar soal Tel Aviv dan Hamas, tetapi tentang ketakutan para penguasa tiran terhadap kebangkitan umat.

Serangan Israel bukan dimulai hari ini, dan kekacauan stabilitas bukan pula lahir kemarin sore. Sejak 1948, setiap agresi militer Tel Aviv selalu meninggalkan dua jejak sekaligus: luka fisik di tubuh bangsa Palestina, dan luka batin di hati umat Islam. Dari Nakba 1948, Perang 1967, Intifadah 1987, Intifadah 2000, hingga blokade Gaza yang memasuki tahun ke-18, semuanya menggores memori kolektif umat.

Data PBB menyebutkan, sejak 2008 hingga 2023 sebelum Taufan Al-Aqsa, lebih dari 40 ribu warga Palestina syahid atau terluka akibat agresi Israel. Ratusan ribu anak-anak kehilangan rumah, pendidikan, dan masa depan. Tetapi di balik penderitaan itu, lahir pula generasi perlawanan yang tak mengenal kata menyerah. Mereka menyebutnya dengan istilah sumud (ketahanan dan ketegaran).

Inilah yang ditakuti para penguasa Israel, Amerika, dan sekutu-sekutu Arab yang bergelimang istana megah: bahwa derita Gaza bisa berubah menjadi bahasa pemersatu umat untuk mengguncang dan meruntuhkan arasy kekuasaan mereka.

Ketakutan yang Sebenarnya

Para tiran yang bercokol di Tel Aviv, Washington, dan Teluk Arab tidaklah terlalu cemas terhadap Gaza. Mereka lebih takut kursi kekuasaan mereka runtuh karena diseret oleh gelombang kesadaran rakyat.

Mereka takut darah para syuhada dan derita blokade justru membangkitkan kesadaran politik Islam yang mereka berusaha kubur dengan retorika “moderasi agama”, “harmoni agama Abraham”, dan “normalisasi” demi “kesejahteraan bersama” di kawasan.

Kita lihat misalnya, gelombang protes di Yordania, Mesir, Maroko, Tunisia, bahkan di negara-negara Teluk, di mana rakyat turun ke jalan menolak normalisasi dengan Israel. Para penguasa berusaha meredam dengan sensor, penangkapan, dan pembungkaman, tetapi kesadaran itu semakin meluas.

Baca Juga:  Peran Mahkamah Internasional Mengatasi Ancaman Nuklir

Karena Gaza bagi umat bukan sekadar tanah, tetapi simbol. Luka Gaza adalah luka umat, keteguhan Gaza adalah harapan umat, dan pengkhianatan penguasa adalah bukti nyata bahwa mereka sejatinya pelindung musuh, bukan pelindung rakyat.

Israel membangkitkan kesadaran

Israel, meski melampaui batas dalam kejahatannya, tanpa sadar justru menyalakan api kesadaran besar. Penyerangan di Qatar hanyalah bukti bahwa rezim Netanyahu sedang kehilangan kendali.

Tetapi yang lebih penting: setiap bom yang jatuh di Gaza, setiap blokade yang mencekik, justru mendorong umat untuk melihat dengan lebih jernih siapa kawan sejati, siapa pengkhianat, dan siapa musuh abadi.

Data survei Arab Barometer 2024 menunjukkan lebih dari 70 persen rakyat Arab menolak normalisasi dengan Israel, meski pemerintah mereka menandatangani Abraham Accords pada tahun 2020 silam.

Angka ini adalah alarm bagi rezim-rezim rapuh: singgasana mereka lebih rapuh daripada sarang laba-laba, dan kapan saja bisa runtuh jika umat menemukan momentum persatuan.

Panji Palestina dan persatuan umat

Sesungguhnya, kekacauan stabilitas yang disebut Erdoğan bukan hanya ancaman bagi Tel Aviv. Itu adalah pertanda bahwa proyek-proyek politik Amerika di Timur Tengah sedang kehilangan legitimasi. Rezim yang merapat ke pangkuan Washington atau menjual agamanya demi kepentingan asing, cepat atau lambat akan tersapu oleh gelombang perlawanan.

Dari Gaza lahir sebuah kesadaran: bahwa umat ini hanya bisa dipersatukan di bawah panji Islam, bukan panji nasionalisme sempit atau kompromi geopolitik. Dan itulah yang paling ditakuti para tiran: melihat rakyatnya disatukan oleh isu Palestina, menjadikan darah para syuhada sebagai ikatan persaudaraan, dan mengibarkan kembali bendera perlawanan Islam yang sesungguhnya.

Penutup

Maka, serangan Israel di Doha, ibu kota Qatar, bukan sekadar tindakan militer, melainkan simbol keputusasaan. Tetapi di balik keputusasaan itu, umat menemukan harapan: kesadaran yang tumbuh, api yang menyala, dan tekad yang kian menguat.

Ketakutan terbesar para tiran bukanlah roket Hamas yang harganya sangat murah, hanya berkisar 300–800 dolar Amerika, melainkan rakyat mereka sendiri yang suatu hari menyadari: Palestina adalah kita, luka Gaza adalah luka kita, dan kemerdekaan Palestina adalah awal dari kemerdekaan umat seluruhnya

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular