Monday, November 17, 2025
HomeBeritaOPINI - Sudan di titik kritis: Ketika warga sipil menanggung beban perang

OPINI – Sudan di titik kritis: Ketika warga sipil menanggung beban perang

Oleh: Amy Pope

Di Kamp al-Afad, Sudan, pekan ini—tempat ratusan keluarga tiba setelah melarikan diri dari jatuhnya El-Fasher—saya duduk bersama seorang ibu yang menempuh perjalanan ribuan kilometer bersama putrinya yang berusia lima tahun dan ibunya yang sudah lanjut usia. Putrinya itu baru menjalani operasi otak di sebuah rumah sakit militer sebelum mereka mengungsi.

Kini, bocah itu duduk diam di samping ibunya—tenang, terpaku, tak lagi bermain sebagaimana mestinya anak-anak.

Sang ibu bercerita tentang pemukulan yang dialaminya, tentang jasad-jasad yang dibiarkan tergeletak di sepanjang jalan, tentang orang-orang yang terlalu lemah untuk melanjutkan perjalanan, merangkak dan membuat parit darurat untuk menghindari pantauan drone.

Sebagian besar laki-laki dibunuh atau dicegah untuk pergi. Entah bagaimana, ia berhasil mencapai al-Afad. Namun air matanya jatuh ketika ia menelusuri bekas luka di kepala putrinya dan berbicara tentang Desember—apakah ia dapat mencapai rumah sakit tepat waktu untuk jadwal kontrol berikutnya.

Kisahnya bukan satu-satunya. Sejak April 2023, hampir 10 juta orang mengungsi di dalam Sudan—krisis pengungsian terbesar di dunia—sementara lebih dari empat juta lainnya melarikan diri ke negara-negara tetangga. Di seluruh wilayah Darfur dan Kordofan, komunitas-komunitas tercerabut dari tempat tinggalnya, warga sipil menjadi sasaran, dan layanan dasar hancur.

Setelah pengepungan selama 18 bulan, jatuhnya El-Fasher memicu rangkaian kekejaman baru: pembunuhan dengan motif etnis, kekerasan seksual, dan serangan yang disengaja terhadap warga sipil. Ini bukan sekadar tragedi; ini adalah pelanggaran hukum humaniter internasional. Warga sipil bukan alat tawar-menawar. Mereka harus dilindungi, dan akses kemanusiaan harus dijamin.

Sudan pernah menjadi persimpangan peluang. Migran dari seluruh Afrika dan Timur Tengah datang untuk belajar, bekerja, dan membangun usaha. Kota-kotanya pernah hidup dan kosmopolitan, dengan universitas-universitas terbaik di kawasan.

Kini, jalan-jalan yang sama dipenuhi orang-orang yang bergerak ke arah sebaliknya. Semakin banyak warga Sudan muncul di Libya dan lebih jauh lagi, mempertaruhkan nyawa demi mencari keselamatan dan pekerjaan. Negara yang dulu memberi perlindungan kini menjadi sumber pengungsian.

Namun, di tengah kehancuran, banyak warga Sudan berusaha kembali. Di Khartoum, Sennar, dan Gezira, keluarga-keluarga pulang ke lingkungan yang hancur dan rumah-rumah yang dijarah. Kepulangan mereka bukan sekadar ketabahan, melainkan pernyataan sikap: masyarakat ingin membangun kembali. Mereka menginginkan perdamaian.

Namun tekad saja tidak cukup untuk membangun kembali sebuah negara. Sudan sangat membutuhkan dua hal: perdamaian dan akses.

Organisasi kemanusiaan harus diizinkan mencapai warga sipil yang terisolasi oleh pertempuran untuk menyalurkan pangan, obat-obatan, dan perlindungan. Kelaparan dan wabah penyakit mengintai, dan semakin lama akses ditutup, semakin besar jumlah korban.

Di Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), kami bekerja bersama para mitra untuk memenuhi kebutuhan mendesak: menyediakan bahan hunian, paket kebersihan, makanan, dan layanan kesehatan bergerak, serta memantau pergerakan penduduk guna mendukung upaya kemanusiaan yang lebih luas. Namun tanpa jalur aman, tanpa jaminan keselamatan, bahkan operasi bantuan terbaik pun tidak akan cukup.

Bantuan kemanusiaan hanya dapat menahan keadaan agar tidak semakin memburuk; bantuan tidak dapat mengakhiri perang. Kesenjangan pendanaan global yang semakin melebar bukan hanya soal uang.

Jalan berkelanjutan satu-satunya adalah gencatan senjata yang disepakati dan proses politik inklusif yang memberi ruang bagi rakyat Sudan menentukan masa depan mereka. Aktor regional dan internasional harus menggunakan seluruh instrumen yang tersedia—diplomatik, ekonomi, hingga hukum—untuk mendorong perdamaian dan akuntabilitas.

Jika perdamaian terwujud, Sudan dapat bangkit kembali. Tanahnya subur, rakyatnya tangguh, dan potensinya besar. Dalam satu dekade, Sudan bisa kembali swasembada dan berkontribusi pada kemakmuran kawasan.

Namun pemulihan membutuhkan keterlibatan internasional yang berkelanjutan—bukan hanya bantuan darurat, tetapi juga investasi dalam tata kelola, pendidikan, dan mata pencaharian yang memungkinkan masyarakat hidup bermartabat.

Ibu yang saya temui di kamp al-Afad bermimpi untuk pulang—bukan sekadar bertahan hidup, tetapi membangun kembali. Putrinya masih menunggu jadwal kontrol berikutnya. Apakah ia bisa mencapainya akan sangat bergantung pada apa yang dipilih dunia untuk dilakukan hari ini.

Penulis adalah Direktur Jenderal, Organisasi Internasional untuk Migrasi

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler