Friday, October 17, 2025
HomeBeritaOPINI - Tanpa opsi baru, Hamas makin Kuat

OPINI – Tanpa opsi baru, Hamas makin Kuat

Oleh: Zvi Bar’el

Rencana Trump untuk Gaza meninggalkan celah agar Hamas berubah menjadi gerakan politik tanpa senjata. Israel harus bersiap terhadap kemungkinan bahwa, sebagaimana Trump melegitimasi milisi Al‑Sharaa di Suriah dan menandatangani kesepakatan dengan Taliban di Afghanistan, ia pun bisa memandang Hamas sebagai organisasi “layak” jika saja mereka bersedia menyerahkan senjatanya.

“Saya berbicara dengan Hamas dan saya bilang, kau akan menyerah senjatamu, kan? Mereka bilang, ‘ya tuan.’ Itulah yang mereka katakan kepada saya,” ujar Presiden AS Donald Trump dalam pertemuannya dengan Presiden Argentina Javier Milei. Trump kemudian membantah telah berbicara langsung dengan Hamas dan menambahkan bahwa “jika mereka tidak menyerah senjatanya, kami akan melucuti mereka … dengan cepat dan mungkin secara paksa.”

Namun dalam percakapan dengan wartawan di pesawatnya, tampak bahwa Hamas sejatinya telah menerima izin dari Trump untuk berfungsi sebagai pasukan keamanan internal di Gaza.

Para pemimpin Hamas “memang ingin menghentikan persoalan, dan mereka bersikap terbuka tentang itu, dan kami memberi mereka izin untuk sementara waktu,” katanya. “Anda punya hampir 2 juta orang kembali ke bangunan-bangunan yang telah diratakan, dan banyak hal buruk bisa terjadi. Jadi kami ingin semuanya — kami ingin agar itu aman.”

Presiden itu menambahkan bahwa ia yakin semuanya akan berjalan lancar, meski tak seorang pun bisa memastikan. Ia juga tampak tak terganggu oleh eksekusi yang dilakukan Hamas terhadap anggota geng yang beroperasi di bawah dukungan Israel. Menurutnya, geng-geng itu “sangat, sangat jahat.”

Kemungkinan besar, Trump sendiri pun tak akan mengingat semua yang diucapkannya secara konsisten. Karena itu, Israel bijak jika tidak menyusun doktrin tempurnya semata atas dasar ucapan-ucapan itu, atau mencoba mencari garis pemikiran yang tetap darinya. Sebaliknya, Israel perlu memahami batas kebebasannya untuk bertindak militer terhadap Hamas.

Namun satu kenyataan terang tak perlu tafsir: selama fase interim — di mana proses pengembalian sandera terus berjalan lamban — dan dengan Israel yang telah menarik diri dari 53 persen wilayah Gaza, Hamas dengan cepat mengonsolidasikan kekuasaannya melalui kekuatan senjata dan, atas izin yang diterimanya dari Trump, mengambil alih kontrol keamanan internal Gaza.

Kini sulit mendamaikan dua keputusan presiden yang tampak kontradiktif: di satu sisi perang dianggap telah usai, namun di sisi lain — jika Hamas tidak menyerah senjatanya — Amerika akan melucuti mereka dengan kekuatan. Namun di antara kedua ekstrem itu, skenario seperti yang berkembang di Lebanon, Suriah, dan Irak bisa saja muncul.

Di semua negara itu, milisi bersenjata tetap menjalankan operasi militer dan bahkan menguasai sebagian wilayah, meskipun negara-negara tersebut telah berkomitmen untuk melucuti mereka atau menggabungkannya ke dalam angkatan bersenjata nasional.

Di Lebanon, Hezbollah tetap memegang senjata ofensif dan defensif — pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata. Meski tentara Lebanon telah memulai pembongkaran fasilitas kelompok itu dan menarik senjata para anggotanya di selatan Sungai Litani, di utara sungai proses tersebut — yang diamanatkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701 dan keputusan kabinet Lebanon — belum berjalan.

Kegagalan itu sebagian akibat tekanan berat dari Amerika Serikat dan ancaman, ditambah serangan udara Israel, diimbangi oleh ketakutan pemerintah Lebanon bahwa bentrokan keras dengan Hezbollah akan menyeret negeri itu ke dalam perang saudara.

Dalam pembelaannya, pemerintah Lebanon berargumen bahwa selama Israel menguasai lima lokasi di dalam wilayah Lebanon dan terus menyerang target Lebanon, mereka sulit membujuk Hezbollah agar meletakkan senjatanya. Sementara itu, Hezbollah tetap hadir dalam kabinet dan parlemen, melalui lembaga-lembaga itu memengaruhi kebijakan nasional Lebanon.

Di Suriah, rezim baru yang dipimpin oleh Presiden Al‑Sharaa menjanjikan pelucutan senjata semua milisi dan mendapatkan persetujuan AS untuk menggabungkan mereka ke dalam tentara nasional. Sebagian besar milisi yang pernah bertempur bersama Al‑Sharaa memang telah diserap ke dalam angkatan bersenjata Suriah — namun transisinya jauh dari mulus.

Penulis adalah analis urusan Timur Tengah untuk surat kabar Haaretz

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler