Wednesday, April 16, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Tiga skenario konflik Turki-Israel di Suriah

OPINI: Tiga skenario konflik Turki-Israel di Suriah

Oleh: Oraib al-Rantawi

Tanggal 8 Desember menandai babak baru dalam sejarah hubungan Turki-Israel. Setelah 2 dekade penuh “kerja sama dan ketegangan”. Terutama dalam dekade Musim Semi Arab, hubungan ini berubah menjadi momen perpecahan dan konflik terbuka antara dua kutub regional.

Hubungan antara Ankara dan Tel Aviv kini menjadi sorotan politik dan fokus media, tidak hanya di ibu kota kawasan, tapi juga di pusat-pusat pengambilan keputusan internasional.

Para pengamat tengah mendalami dinamika hubungan ini, mencoba menelusuri jalur masa depannya, serta menyusun simulasi skenario yang mungkin terjadi.

Hal ini bukan hanya karena kedua negara memiliki bobot dalam ukuran kekuatan dan pengaruh. Atau karena mereka memiliki jaringan keamanan regional dan internasional yang kokoh.

Melainkan juga karena Suriah — yang menjadi medan konflik dan perebutan pengaruh — memegang peranan sebagai “jantung yang berdetak” di Timur Arab dan memiliki pengaruh luas di kawasan yang lebih besar, yakni Timur Tengah Raya.

Kepentingan dan jalur konfrontasi

Israel memiliki kepentingan strategis yang mendalam untuk melemahkan Suriah, sebagai langkah menuju pembagiannya menjadi negara-negara kecil berbasis sektarian, etnis, dan agama.

Ini adalah mimpi para “pendiri negara Yahudi”, yang melihat bahwa kelangsungan dan dominasi Israel hanya bisa terwujud dalam bentuk regional yang terfragmentasi.

Komunitas Yahudi menjadi kelompok minoritas terbesar, dan dengan demikian narasi tentang “negara Yahudi” mendapatkan legitimasi yang lebih luas dan dapat diterima.

Dalam upaya mewujudkan tujuan strategis ini, siapa yang memerintah di Damaskus tidak lagi penting bagi Israel, selama pemerintah itu lemah.

Baru-baru ini, bahkan tidak lagi dibutuhkan agar penguasa Damaskus memainkan peran sebagai “penjaga perbatasan”.

Karena dalam versi terbaru doktrin keamanan nasional Israel, tugas itu telah dialihkan kepada militer dan intelijen Israel sendiri, dengan pelaksanaannya dilakukan di “wilayah musuh”, jauh dari garis depan dan wilayah dalam negeri.

Selama 2 dekade terakhir, Israel merasa mampu menciptakan kekacauan di negara-negara tetangga dan “layak” secara strategis untuk mengelolanya demi keuntungannya sendiri.

Gagasan tentang “kesewenang-wenangan” dan “pelanggaran wilayah udara Suriah” menjadi kebiasaan yang dilegalkan melalui kesepakatan Netanyahu-Putin (2015).

Sejak jatuhnya rezim Assad anak, Israel memperluas wilayah kekuasaannya, menduduki wilayah baru di Suriah, dan menciptakan zona aman yang mendekati ibu kota Damaskus serta perbatasan selatan Suriah.

Salah satu alat utama dalam proyek ini adalah ide tentang “aliansi minoritas”, yang mendapat dorongan melalui kebangkitan identitas-identitas sektarian dan etnis yang ekstrem di Suriah.

Termasuk di dalamnya adalah memainkan kartu Kurdi dan menggoda impian kemerdekaan bangsa Kurdi. Semua ini bertujuan untuk memecah belah Suriah dan sekaligus menekan Turki.

Sebab, siapa pun yang menolak hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina, tentu tidak bisa dengan jujur membela hak rakyat Kurdi atas hal yang sama.

Di sisi lain, Turki sangat khawatir dengan efek “domino” yang mungkin terjadi, yang tidak hanya akan melemahkan peran dan pengaruh regionalnya melalui Suriah dan wilayah sekitarnya. Tetapi juga dapat mengguncang stabilitas dalam negerinya sendiri.

Jika “jin sektarianisme” terlepas dari botolnya di Suriah, maka dikhawatirkan akan menyebar ke wilayah dan demografi Turki, baik dalam jangka menengah maupun panjang.

Ini mungkin merupakan tantangan paling serius yang dihadapi Ankara sejak jatuhnya Kekhalifahan dan berdirinya Republik.

Turki merasa bahwa sejak akhir era Assad anak, ia memiliki tanggung jawab moral dan etis untuk mengelola transisi damai dan stabil di seluruh wilayah Suriah.

Suriah yang tenggelam dalam konflik sektarian akan menjadi beban berat bagi Turki, bukan aset. Suriah yang terpecah-belah tidak akan bisa menjadi jembatan bagi ambisi kepemimpinan Turki atas blok Arab dan Islam yang lebih besar.

Sebaliknya, Suriah yang penuh masalah ekonomi dan sosial akan menjadi “lubang hitam” yang menyerap kelebihan energi Turki. Bukan menjadi mitra yang mendukungnya untuk naik ke tingkat negara dengan ekonomi terbesar dan menjadi bagian dari G20.

Perhitungan Turki terhadap posisi strategis Suriah juga tidak lepas dari perhatian intelijen dan pemikir strategis Israel.

Tel Aviv menyatakan kekhawatirannya terhadap munculnya “sabuk Sunni” yang bisa menggantikan “bulan sabit Syiah”, yang selama ini dianggap sebagai ancaman strategis dan telah berhasil dipukul mundur.

Sabuk Sunni ini bercorak “Ikhwanul Muslimin”, dengan campuran dua gaya yang saling bertolak belakang: salafi konservatif di satu sisi, dan “Islam sipil” seperti yang diwujudkan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di sisi lain — sebuah kombinasi yang sulit ditebak bentuk dan arah akhirnya.

Menurut analisis strategis terakhir di Israel, sabuk ini bisa membentang dari Turki ke Suriah, melewati Ikhwanul Muslimin di Yordania dan Sunni di Lebanon, hingga ke Gaza dan Palestina.

Oleh karena itu, hubungan dengan Turki masuk dalam agenda prioritas rapat-rapat kabinet keamanan Israel, dan menjadi salah satu isu utama dalam aliansi strategis dengan Washington.

Kita berada dalam lintasan konfrontasi antara Ankara dan Tel Aviv, di Suriah dan tentang Suriah.

Namun jika kita berpikir secara rasional, jauh dari hiruk-pikuk pernyataan panas dan saling tuding, kita dapat menyimpulkan bahwa masa depan hubungan kedua negara ini akan mengarah pada salah satu dari tiga skenario berikut:

Skenario pertama: “Perang lewat proxy”

Yaitu ketika kedua negara (Turki dan Israel) terlibat dalam serangkaian perang tidak langsung dan berpindah-pindah lokasi, melalui aktor-aktor proksi.

Misalnya, Israel terus mendukung milisi pemberontak terhadap Damaskus dan memberikan jaminan keamanan bagi mereka: zona aman, zona larangan militer bagi pasukan Suriah, zona larangan udara, wilayah tanpa pertahanan udara—dan berbagai tindakan lainnya.

Sebaliknya, Ankara dapat menanggapi dengan mendukung milisi-milisi tandingan, sebagaimana yang pernah terjadi (dan bisa terulang kembali) di barat laut Suriah, dalam pertempuran antara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan faksi-faksi dari “Tentara Nasional” yang didukung Turki.

Skenario semacam ini sangat mungkin terulang di wilayah lain. Termasuk di selatan Suriah (dan sudah ada gejala ke arah itu), dengan mengangkat slogan-slogan seperti “perlawanan terhadap pendudukan” dan menarget siapa saja yang sejalan dengan tujuan pendudukan tersebut.

Diperkirakan, Turki memprioritaskan pembangunan tentara Suriah baru, yang dilatih dan dipersenjatai di bawah pengawasan Turki.

Sampai hal itu terwujud, jika memang terwujud, maka satu-satunya pilihan yang tersedia adalah mengandalkan kekuatan non-negara sebagai “kekuatan pendamping” yang bekerja secara terhubung (atau kadang terpisah) dengan inti pasukan baru tersebut.

Ini juga memberi celah bagi Turki (dan Damaskus nantinya) untuk menghindari tanggung jawab atas tindakan-tindakan tertentu jika diperlukan.

Skenario ini juga mendorong Ankara dan Damaskus untuk memperluas penyebaran pasukan dan pangkalan militer Turki di tanah Suriah.

Ada kesepakatan awal terkait hal ini, serta upaya-upaya pemetaan yang sedang dilakukan di lapangan di wilayah tengah Suriah (tiga bandara: Hama, T4, dan Palmyra).

Di sisi lain, Israel telah mengirimkan pesan dengan kekuatan militer kepada Damaskus dan Ankara bahwa langkah seperti ini tidak akan diterima. Bahkan berusaha menjadikannya tidak dapat diterima pula oleh Washington.

Skenario kedua: “Pembagian pengaruh”

Kedua negara dapat memilih jalur negosiasi dan diplomasi. Untuk membagi kendali dan pengaruh, serta menggambar ulang garis merah, hijau, dan kuning di peta Suriah.

Sebagai alternatif dari skenario pembagian (disintegrasi) Suriah yang penuh risiko, dan untuk menghindari perang langsung yang tak diinginkan oleh siapa pun.

Skenario ini meniru pengalaman antara Israel dan rezim Assad senior di Lebanon saat pecahnya perang saudara dan masuknya tentara Suriah untuk membantu pasukan Lebanon dan Front Nasional pada saat itu (1975–1976).

Kala itu, Damaskus “menghormati” garis merah Israel di selatan Lebanon dan tidak melampauinya.

Skenario seperti ini membutuhkan peran mediasi dari pihak kuat—dalam hal ini Amerika Serikat, sekutu Israel dan sahabat Turki.

Tidak harus melalui perjanjian tertulis, cukup dengan “kesepahaman antar-gentleman” yang dijembatani AS untuk memungkinkan adanya pembagian semacam ini.

Kesepakatan tak tertulis semacam ini terbukti lebih tahan lama daripada perjanjian formal di banyak tempat lain.

Dalam versi terbaik dari skenario ini, Israel mungkin akan mundur dari sebagian wilayah Suriah yang baru-baru ini didudukinya. Dan mungkin menghidupkan kembali Perjanjian Pemisahan Pasukan 1974.

Tapi dengan ketentuan baru yang lebih menguntungkan Israel. Seperti mempertahankan titik-titik strategis di puncak gunung atau sumber air, serta meningkatkan peran keamanan Israel dalam pengawasan dan “intervensi cepat” jika muncul ancaman. Sebagaimana pola kerja sama AS-Israel dalam Perjanjian 27 November di Lebanon.

Jika jalur Ankara–Washington–Tel Aviv semakin erat, bukan hal mustahil jika Turki mengambil peran sebagai mediator antara Suriah dan Israel.

Sebuah peran yang sering dicita-citakan oleh diplomasi Turki, dan pernah dimainkan oleh Ankara sebelum pecahnya krisis Suriah.

Kemungkinan besar, Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel tidak akan masuk dalam agenda negosiasi antara Damaskus dan Tel Aviv—itu bukan opsi Israel.

Terutama setelah pengakuan resmi dari Presiden AS sebelumnya terhadap aneksasi wilayah itu.

Namun, hal ini tak menutup peluang untuk mencapai kesepahaman baru, atau menghidupkan kembali perjanjian lama.

Setidaknya untuk meredakan ketegangan di perbatasan Suriah–Israel dan menghentikan agresi terang-terangan terhadap rakyat dan tanah Suriah.

Bagi Damaskus, negosiasi sendiri bisa menjadi sarana untuk membongkar blokade dan sanksi internasional, serta kembali terintegrasi dalam sistem ekonomi dan keuangan global.

Sebagaimana yang pernah terjadi di berbagai negara Arab lainnya, di mana negosiasi atau bahkan normalisasi dengan Israel dijadikan pintu masuk demi mencapai tujuan lain.

Skenario ketiga: Bentrokan langsung

Ini adalah skenario yang paling kecil kemungkinannya, tetapi dapat terjadi jika jalur “pembagian pengaruh” gagal total.

Karena ambisi ekspansionis Israel yang sedang berada pada puncak kekuasaan dan dominasi, bertepatan pula dengan meningkatnya tensi dalam “perang proksi” antara kedua belah pihak.

Jika terjadi, ini akan mempertemukan negara besar anggota NATO seperti Turki dengan sekutu utama Barat dan AS: Israel.

Kedua negara ini bukan aktor kecil, dan perang langsung di antara mereka tidak akan seperti perang-perang lain yang pernah terjadi di kawasan ini.

Tapi tampaknya, kemungkinan ini masih jauh, karena ada prioritas lain yang masih lebih penting untuk Israel. Seperti memukul Iran, yang dianggap sebagai ancaman lebih besar daripada “bahaya Turki yang merangkak”.

Sementara Turki pun tidak menginginkan perang dengan Israel dan jaringan aliansinya di Barat.

Namun, kita hidup di era kejutan yang melampaui imajinasi. Bahkan negara adidaya, pemimpin dunia Barat dan NATO, tidak segan-segan mengancam untuk menduduki wilayah negara anggota NATO lain: seperti Greenland (milik Denmark), atau mengklaim negara tetangga sebesar Kanada, atau bahkan mencaplok wilayah strategis seperti Teluk Meksiko dan Terusan Panama.

Singkatnya, sebagaimana pernah dikatakan Lenin lebih dari seratus tahun lalu: “Teori itu abu-abu, tetapi pohon kehidupan selalu hijau.”

Realitas di Suriah dan sekitarnya senantiasa penuh kejutan. Kemungkinan besar, skenario nyata yang akan terjadi di Suriah adalah gabungan dari dua skenario pertama: perang proksi yang berkembang menuju jalur kompromi dan kesepakatan.

Biasanya, negara-negara besar mendorong konflik hingga ke “tepi jurang”, lalu dalam detik-detik terakhir, mereka mundur satu atau 2 langkah. Karena takut benar-benar jatuh ke dalam kegelapan jurang itu.

Inilah yang paling mungkin terjadi dalam konteks Turki–Israel. Meski kemungkinan “tergelincir ke jurang” tetap ada. Karena banyak negara yang akhirnya terlibat perang yang tidak mereka rencanakan, dan bahkan tidak mereka inginkan sejak awal.

*Oraib al-Rantawi adalah penulis dan analis politik Yordania. Pendiri dan Direktur Jenderal Pusat Studi Politik Al-Quds. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Sīnāriyūhāt Tsalātsah Lil Shirā’ al-Turkī-al-Isrāīlī Fī SUriyā, Mā Hiya?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular