Saturday, March 29, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Tiga usulan beracun yang diajukan kepada Hamas

OPINI: Tiga usulan beracun yang diajukan kepada Hamas

Oleh: Oraib al-Rantawi

Hamas tidak berada dalam posisi yang patut ditiru, tekanan datang dari segala arah. Israel melanjutkan perang pemusnahan dan pembantaian dengan mengandalkan taktik “teror dan kejut”. Perang ini berjalan di dua jalur parallel.

Pertama, adalah jalur pembunuhan terarah. Jalur ini berhasil mencapai sejumlah pencapaian penting setelah 2 bulan ketenangan. Waktu yang tampaknya cukup bagi Israel untuk memperbarui data dan koordinat “bank target” mereka.

Kedua, adalah jalur teror terhadap warga sipil melalui serangan udara, laut, dan darat. Jalur ini memaksa ratusan ribu orang untuk mengungsi. Mungkin untuk kesepuluh kalinya sejak perang dimulai.

Ini terjadi di tengah janji-janji terbuka untuk melaksanakan rencana Trump dalam mengusir penduduk. Termasuk pembentukan badan khusus di bawah Kementerian Pertahanan Israel untuk menyelesaikan tugas ini.

Pemerintah dan militer Israel juga secara terbuka membicarakan aneksasi Jalur Gaza dan penerapan pemerintahan militer, baik secara sementara maupun permanen.

Dengan koordinasi penuh antara pemerintahan Netanyahu dan administrasi Trump, kesepakatan gencatan senjata yang sebelumnya ditengahi oleh tim Trump sebelum ia masuk ke Gedung Putih telah digagalkan.

Israel awalnya menerima kesepakatan tersebut dan menandatanganinya. Tetapi kemudian kedua sekutu strategis ini berbalik arah, menggagalkan tahap kedua perjanjian tersebut, dan mulai menyalahkan Hamas atas kegagalannya.

Akibatnya, Hamas menjadi target salah satu kampanye “demonisasi” yang paling brutal, dengan administrasi Trump memainkan peran lebih aktif dalam kampanye ini dibandingkan pemerintahan Netanyahu.

Selain itu, terdapat sejumlah aktor lain. Termasuk beberapa pihak yang seharusnya sekutu, yang juga berkontribusi dalam tekanan terhadap perlawanan dan menyalahkannya atas gagalnya mediasi serta kembalinya perang.

Ini bukan hal baru. Banyak pemerintah telah terbiasa menekan rakyat Palestina ketika mereka kehilangan kemampuan untuk mempengaruhi posisi keras kepala Israel.

Hal ini terjadi pada era Yasser Arafat dan terus terjadi hingga hari ini. Sisanya sudah menjadi sejarah yang kita ketahui bersama.

Sementara itu, para pelaku dalam kampanye demonisasi ini memiliki rekam jejak panjang dalam menentang semua gerakan perlawanan dan bahkan seluruh gerakan Islam politik.

Mereka secara terang-terangan mendukung proyek pemindahan paksa penduduk Palestina yang diprakarsai oleh Trump. Sumber-sumber yang beragam juga melaporkan bahwa mereka ingin mempercepat proses eliminasi Hamas, menganggapnya sebagai ancaman bersama bagi mereka dan “sekutu Israel”.

Hingga saat ini, tidak ada yang mengejutkan dalam analisis ini. Semua ini sudah diperkirakan oleh banyak warga Palestina dan Arab. Karena kita semua memiliki ingatan yang penuh dengan kejadian serupa dalam momen-momen sejarah yang krusial.

Buku sejarah dan investigasi jurnalistik telah mengungkap banyak sekali “pengkhianatan”. Namun, sayangnya tidak lagi memalukan bagi para pelakunya.

Bahkan, mereka tidak merasa perlu untuk membantah atau memberikan klarifikasi seperti yang mereka lakukan di masa lalu.

Namun, yang baru dan menyedihkan adalah keterlibatan sejumlah aktivis Palestina (dahulu), penulis, peneliti, jurnalis, dan “aktivis masyarakat sipil” dalam salah satu kampanye tekanan dan pemerasan terhadap perlawanan yang paling keji.

Semua ini dilakukan dengan dalih menghentikan pertumpahan darah, menyelamatkan warga sipil, menghindari perang, mengutamakan kepentingan umum, dan mengadopsi “realisme politik” yang jauh dari slogan-slogan kosong.

Di sini, kita harus menggali lebih dalam untuk memahami motif dan alasan mereka bergabung dalam kampanye demonisasi dan pemerasan terhadap perlawanan. Sebab, tidak semua mereka berasal dari latar belakang yang sama.

Kelompok pertama terdiri dari mereka yang telah menyesuaikan diri dengan solusi yang dipaksakan oleh Israel atas masalah Palestina. Mereka aktif dalam memburu perlawanan di Tepi Barat, Gaza, dan wilayah lainnya. Senjata utama mereka adalah semakin eratnya “koordinasi keamanan” dengan Israel.

Kelompok kedua adalah mereka yang sudah kalah sejak awal konflik ini. Mereka tidak percaya pada gagasan perlawanan dan ketahanan, serta sudah pasrah bahkan sebelum bencana itu benar-benar terjadi.

Sebagian besar dari mereka sudah meninggalkan Gaza sejak lama karena memiliki cukup sumber daya untuk hidup nyaman di ibu kota-ibu kota dunia atau kota-kota pengasingan lainnya.

Kelompok ketiga adalah mereka yang terkena “virus kebencian terhadap Islam politik dan Islam bersenjata”. Mereka takut dan menginginkan kehancuran gerakan ini, bahkan jika itu berarti kemenangan bagi musuh kolonial yang brutal.

Mereka tidak mampu menghadapi musuh ini di arena politik dan pemilu, dan mereka juga tidak siap untuk melawannya di medan perang. Mereka adalah kaum elitis yang menganggap diri mereka sebagai pendukung modernitas dan pasca-modernitas, meskipun keyakinan mereka ini hanyalah ilusi.

Kelompok keempat adalah warga biasa yang hanya ingin Gaza terbebas dari perang dengan cara apa pun. Mereka merasa ngeri melihat genosida dan kehancuran, darah dan tubuh yang tercerai-berai, serta penderitaan dalam mencari makanan atau air minum.

Mereka adalah orang-orang yang kita pahami kekecewaannya, kita hormati jeritan mereka, dan kita berikan pemakluman, bahkan ketika mereka mengungkapkan perasaan mereka dengan kegetiran yang dalam. Mereka adalah keluarga, saudara, dan saudari kita.

Usulan beracun

Dalam beberapa minggu terakhir, muncul berbagai tawaran beracun yang ditujukan kepada perlawanan Palestina dalam artikel, pernyataan, dan di media sosial. Sebagian besar berkisar pada 3 usulan berikut:

Usulan pertama

Hamas harus menyerahkan kepemimpinannya kepada Otoritas Palestina. Hal ini mengikuti jejak Hizbullah saat bernegosiasi mengenai kesepakatan gencatan senjata pada 27 November. Saat itu Hizbullah menyerahkan urusan negosiasi kepada pemerintah Lebanon untuk mencapai penghentian pembantaian.

Mereka yang mengajukan usulan ini sengaja mengabaikan beberapa fakta penting:

  • Pertama, di Otoritas Palestina tidak ada sosok seperti Nabih Berri yang dapat dipercaya oleh perlawanan Palestina untuk memimpin negosiasi. Di Lebanon, negosiasi dipimpin oleh salah satu dari dua pemimpin utama dalam “Aliansi Syiah,” dan tidak diserahkan kepada pihak-pihak dalam negara dan masyarakat yang mendukung eliminasi perlawanan.

Memang benar ada hubungan yang kompleks antara Gerakan Amal dan Hizbullah, serta antara Nabih Berri dan Hassan Nasrallah. Meskipun Gerakan Amal sering dikritik karena kurangnya komitmen terhadap perlawanan, tetap ada “kesatuan kepentingan” antara kedua pihak, setidaknya dalam menghadapi musuh eksternal. Situasinya sangat berbeda di Palestina.

  • Kedua, di dalam lingkungan politik Syiah yang mendukung Hizbullah di Lebanon, ada pihak-pihak yang membandingkan perjanjian Palestina pada 17 Januari dengan perjanjian Lebanon pada 27 November. Mereka memuji yang pertama dan mengkritik yang terakhir karena kelemahannya.

Bahkan, meskipun kritik ini mungkin didorong oleh persaingan politik atas kepemimpinan kelompok Syiah—seperti yang terlihat dalam pernyataan Jenderal Jamil Sayyed—keinginan untuk membandingkan kedua perjanjian tetap kuat. Singkatnya, “hanya tanganmu sendiri yang bisa menggaruk gatalmu.”

  • Ketiga, meskipun perjanjian 27 November memiliki banyak kelemahan dan kompromi, pemerintah Lebanon tetap menyetujuinya, dengan kehadiran dan persetujuan menteri-menteri Hizbullah. Namun, terungkap adanya “perjanjian paralel” antara Amerika Serikat dan Israel yang membatalkan perjanjian tersebut, dalam bentuk “dokumen pemahaman bilateral.”

Israel tidak berkomitmen pada isi perjanjian ini. Mereka terus melanggar wilayah Lebanon—baik daratan, udara, maupun perairan teritorialnya—melakukan pembunuhan, penghancuran, dan serangan di seluruh negeri.

Mereka juga menghalangi kepulangan para pengungsi ke desa-desa di garis depan. Mereka tetap menduduki 5 puncak gunung strategis di Lebanon, tanpa memedulikan perjanjian dan komite pengawas pelaksanaannya.

Pada saat yang sama, Lebanon menghadapi ancaman proyek-proyek yang bertujuan untuk melucuti senjata Hizbullah dan menerapkan sanksi ekonomi yang kejam terhadapnya.

Bukankah pelajaran ini cukup sebagai peringatan? Jika melihat bagaimana perjanjian ini dilanggar, haruskah perlawanan Palestina disalahkan karena tetap berpegang pada tuntutan penghentian perang secara permanen dan penarikan penuh pasukan pendudukan dari Gaza?

Usulan kedua

Hamas harus menyerahkan urusannya kepada Liga Arab, atau dalam versi lain, kepada negara-negara Arab yang berpengaruh untuk bernegosiasi atas namanya.

Namun, banyak dari mereka yang mengajukan usulan ini adalah orang-orang yang sebelumnya telah “mengecam” Liga Arab sebagai lembaga yang sudah usang dan tidak berguna.

Mereka juga tidak peduli dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Liga Arab tentang perlawanan. Atau, mereka merasa perlu membaca buku “Perang” karya Bob Woodward yang mengungkap sejarah panjang permusuhan Liga Arab terhadap perlawanan Palestina. Mulai dari era Yasser Arafat hingga saat ini, terutama dalam fase Islamis perlawanan.

Mereka bahkan tidak merasa perlu meyakinkan kita bahwa perjuangan Palestina dan perlawanan akan berada di tangan yang aman jika diserahkan kepada Liga Arab.

Yang lebih aneh, beberapa dari mereka yang mengajukan usulan ini adalah pendukung paling vokal dari konsep “perwakilan sah satu-satunya” dan “keputusan nasional yang independen.”

Mereka tampaknya melupakan atau mengabaikan berbagai bentuk kelemahan, kolusi, dan bahkan pengkhianatan yang terungkap selama 15 bulan terakhir sejak perang dimulai.

Mereka juga tidak mau mengakui kegagalan berbagai pertemuan puncak Arab dalam membuka perbatasan, mencabut blokade, atau bahkan memasukkan sebutir obat tanpa persetujuan Israel yang ketat.

Mereka lupa atau berpura-pura lupa bahwa pembantaian ini tidak akan terus berlanjut dan mencapai tingkat kekejaman yang luar biasa tanpa adanya kegagalan komunitas internasional dalam menghentikannya.

Perang pemusnahan ini juga tidak akan berlanjut selama ini jika bukan karena lemahnya respons dari dunia Arab.

Mereka juga mengabaikan fakta bahwa ada semacam kolusi. Baik secara implisit maupun terang-terangan, untuk menghapus “keberhasilan” perlawanan dalam memberikan guncangan terbesar dalam sejarah Israel.

Bahkan jika harga yang harus dibayar adalah kematian dan cedera 7% dari penduduk Gaza, ini tetap merupakan kemenangan bagi perlawanan.

Usulan ketiga

Usulan ini mengajak Hamas untuk mundur dari panggung, menghilang dari gambar, tanpa memberikan jawaban sedikit pun atas pertanyaan: Kemana perginya gerakan ini? Apa yang akan terjadi dengan geografi Arab yang sudah tidak mampu menampung rakyat Palestina, bahkan bagi para tahanan yang dibebaskan, baik dari Hamas maupun lainnya? Apakah Hamas hanyalah sekumpulan pemimpin dan beberapa ratus pejuang yang bisa disingkirkan begitu saja dari panggung dan gambar?

Apakah mereka tidak mendengar pernyataan dari jenderal-jenderal Israel, mantan perdana menteri mereka, dan pejabat-pejabat Amerika, yang menggambarkan gerakan Hamas sebagai “sebuah ideologi dan gagasan” yang telah mengakar di kalangan rakyat Palestina? Mereka mengatakan bahwa menghapusnya dari eksistensi adalah gagasan yang “utopis”, yang tidak memiliki pijakan untuk dilaksanakan!

Apa yang sebenarnya mereka usulkan? Terutama kelompok yang “tidak ada di pihak manapun”, yang dalam kondisi terbaiknya, tidak mewakili lebih dari 10 persen dari rakyat Palestina dan lingkungan perlawanan?

Mari kita lihat sejenak sejarah perlawanan Palestina. Pada tahun 1982, setelah mereka keluar dari “Lebanon yang terinvasi dan Beirut yang terblokade”. Dengan perlindungan internasional (Amerika – Prancis), berkat sebuah kesepakatan yang difasilitasi oleh Philip Habib pada waktu itu.

Saat itu, geografi Arab masih mampu menampung diaspora perlawanan Palestina, kepemimpinan dipindahkan ke Tunisia, dan para pejuang tersebar di berbagai negara Arab. Apakah mungkin untuk mengulang kembali skenario tersebut dalam kondisi dunia Arab saat ini?

Namun, belum dua minggu setelah para pejuang “menyeberang laut” dan meninggalkan Lebanon, kita menyaksikan pembantaian mengerikan di kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Salah satu pembantaian terburuk dalam sejarah perang-perang Arab, baik antar negara Arab maupun dengan Israel.

Apakah para pendukung ide untuk menghapus perlawanan saat ini memiliki jaminan bahwa Israel tidak akan mengulangi skenario pembantaian ini di Gaza? Tentunya, dengan skala yang lebih luas dan lebih mengerikan dari yang terjadi di kamp-kamp pengungsi Lebanon, tanpa membayar harga apapun.

Apakah mereka berpikir bahwa kekejaman yang terjadi sejauh ini adalah puncak dari kejahatan Israel? Ataukah mereka percaya bahwa hasrat Israel untuk menumpahkan darah Palestina tidak akan ada habisnya? Seperti neraka yang terus bertanya: “Apakah aku sudah penuh?”

Pendekatan ini mencerminkan sebuah naivitas yang kadang kala terlihat polos. Namun sering kali tampak mencurigakan. Hanya mengandalkan niat baik serta komitmen dari musuh yang sudah terbukti sejuta kali bahwa mereka tidak memegang janji dan tidak menghormati kesepakatan.

Niat jahat mereka untuk memusnahkan akan mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang lebih kejam dari yang pernah mereka lakukan sebelumnya.

Sementara itu, lingkungan internasional yang membiarkan mereka lolos dari hukuman. Menjadikan kejahatan-kejahatan di Rwanda antara suku Hutu dan Tutsi tampak seperti perjalanan singkat, jika dibandingkan dengan apa yang bisa mereka lakukan di Gaza, terhadap warganya dan perlawanannya.

Akhirnya, tulisan ini tidak akan lengkap tanpa menyebutkan fenomena “para bijak setelah kejadian,” yang sekarang mengeluarkan komentar mereka dengan mengatakan: “Bukankah kami sudah bilang?” Apakah kalian tidak seharusnya memikirkan segala kemungkinan sebelum meluncurkan petualangan pada 7 Oktober? Apakah kalian tidak berbagi tanggung jawab dengan Israel atas bencana yang menimpa rakyat kalian?

Masalah dengan orang-orang ini bukan hanya klaim-klaim kosong mereka yang tak berguna dan bodoh. Tetapi juga layanan gratis yang mereka berikan kepada musuh rakyat dan bangsa mereka, baik mereka sadar atau tidak.

*Oraib al-Rantawi adalah penulis dan analis politik Yordania. Pendiri dan Direktur Jenderal Pusat Studi Politik Al-Quds. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Muqtaraḥāt Masmūmah Quddimat Li Hamās, Mā Hiya?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular