Oleh: Dr. Abdullah Maruf
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa izin yang diberikan oleh penjajah untuk melaksanakan ibadah dan salat di Masjid Al-Aqsha selama bulan Ramadan menunjukkan bahwa situasi di masjid dan kota suci secara umum sedang tenang. Atau, bahkan dianggap sebagai pencapaian bagi warga Al-Quds dan rakyat Palestina.
Namun kenyataannya, anggapan ini tidak objektif dalam memahami sifat dan filosofi kebijakan yang diterapkan oleh penjajah di Masjid Al-Aqsha.
Faktanya, keputusan apa pun yang diambil oleh penjajah terkait dengan ibadah di masjid tersebut pada dasarnya adalah sebuah masalah yang harus segera disikapi tanpa menunggu.
Jika kita mengkaji konsep status quo Masjid Al-Aqsha dari segi hukum murni, maka kesimpulan yang kita dapatkan adalah bahwa penjajah seharusnya tidak memiliki peran apa pun dalam mengatur urusan masjid, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebab, konsep status quo merujuk pada keadaan yang harus tetap seperti sebelum pendudukan Israel terhadap Masjid Al-Aqsha pada pagi hari 7 Juni 1967.
Ini berarti bahwa pengelolaan masjid sepenuhnya berada di tangan Departemen Wakaf Islam yang berafiliasi dengan Yordania.
Israel telah mencoba mengubah keadaan ini sejak awal pendudukannya. Kementerian Agama Israel kala itu mengirim surat kepada Departemen Wakaf Islam, meminta daftar nama pegawai masjid agar mereka dapat dipekerjakan langsung di bawah Kementerian Agama Israel.
Seolah-olah mereka menggantikan status mereka sebagai pegawai Departemen Wakaf dan Urusan Keagamaan Yordania.
Namun, para ulama dan syekh Al-Quds, yang dipimpin oleh Syekh Abdul Hamid Al-Sa’ih, dengan tegas menolak langkah ini.
Bahkan, Syekh Al-Sa’ih dan rekan-rekannya menolak untuk membuka pintu Masjid Al-Aqsha atau melanjutkan ibadah di dalamnya di bawah kekuasaan penjajah.
Saat itu, Syekh Al-Sa’ih mengangkat slogan terkenalnya yang kemudian menjadi judul memoarnya: “Tidak ada sholat di bawah bayonet.”
Para ulama di Al-Quds lalu membentuk Badan Islam Tertinggi untuk mengelola urusan Muslim di kota tersebut. Israel pun segera mundur karena khawatir terulangnya pengalaman Dewan Islam Tertinggi pada masa mandat Inggris.
Akhirnya, Israel mengembalikan pengelolaan Masjid Al-Aqsha kepada Departemen Wakaf, sesuai dengan hukum status quo yang berlaku.
Poin utama dari langkah-langkah yang diambil oleh Syekh Al-Sa’ih dan para ulama Al-Quds saat itu adalah penolakan terhadap segala bentuk klaim kedaulatan Israel atas Masjid Al-Aqsha.
Bagi mereka, keterlibatan Israel dalam urusan masjid, meskipun hanya sebatas pengawasan, berarti pengakuan terhadap kedaulatan penjajah atas masjid dan kota suci tersebut.
Jika hal ini diterima, maka Israel akan memiliki celah untuk mengubah berbagai aturan dan kebijakan, sehingga pada akhirnya menjadi satu-satunya penguasa atas Masjid Al-Aqsha di masa depan.
Inilah yang sedang dilakukan oleh penjajah selama sepuluh tahun terakhir. Mereka berupaya menyusup ke dalam sistem pengelolaan Masjid Al-Aqsha. Mereka berusahamengurangi peran Departemen Wakaf Islam hingga sebatas mengatur kehadiran umat Islam di dalamnya, bukan mengelola masjid itu sendiri.
Jika upaya ini berhasil, maka secara de facto, kedaulatan atas masjid akan beralih ke Israel.
Dari perspektif ini, kita harus melihat rekomendasi yang diajukan oleh aparat keamanan Israel kepada pemimpin politik sebelum Ramadan. Rekomendasi itu membatasi jumlah jamaah salat Jumat di Masjid Al-Aqsha hanya 10.000 orang.
Bahaya utama dari keputusan ini bukanlah pada jumlah jamaah yang ditentukan. Namun, pada tujuan penjajah untuk menguji reaksi rakyat Palestina, dunia Arab, dan Muslim secara global terhadap batasan ini.
Jika Israel kemudian menaikkan jumlah tersebut sedikit, hal itu akan diklaim sebagai “kemenangan” bagi warga Al-Quds. Seolah-olah mereka telah berhasil “memperoleh” tambahan kuota jamaah yang diizinkan sholat di masjid.
Namun, di sinilah letak bahayanya. Jika masyarakat Palestina menerima logika ini, berarti mereka mengakui hak Israel untuk menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh salat di Masjid Al-Aqsha selama Ramadan. Ini sama saja dengan mengakui kedaulatan Israel atas masjid tersebut!
Masalah yang lebih besar bukan hanya terkait dengan izin masuk atau jumlah jamaah yang diperbolehkan salat. Tetapi lebih pada prinsip utama: Israel tidak memiliki hak apa pun untuk mengatur urusan Masjid Al-Aqsha.
Karena itu, sekadar pemikiran bahwa Israel memiliki kewenangan untuk mengizinkan atau melarang umat Islam masuk ke Masjid Al-Aqsha selama Ramadan seharusnya cukup untuk memicu kemarahan besar rakyat Palestina terhadap penjajah.
Diamnya umat Islam terhadap kebijakan serupa selama bertahun-tahun telah membuat Israel semakin berani melanggar batasan-batasan.
Misalnya, pada Mei tahun lalu, Israel bahkan mengeluarkan kebijakan baru yang mengecualikan Muslim Inggris dan Afrika Selatan dari daftar Muslim yang diakui di Al-Quds.
Mereka menggolongkan mereka sebagai “turis” yang hanya boleh masuk ke masjid di luar waktu salat Muslim, mengikuti aturan yang diberlakukan terhadap wisatawan non-Muslim.
Langkah-langkah bertahap ini bertujuan untuk memperkuat klaim Israel sebagai penguasa utama Masjid Al-Aqsha dan menghapus peran Departemen Wakaf Islam.
Israel juga ingin membiasakan warga Al-Quds agar tunduk pada aturan-aturan mereka dan menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Ramadan tahun ini merupakan momen yang dianggap ideal oleh Israel untuk menguji efektivitas kebijakan ini.
Dengan situasi gencatan senjata di Gaza dan kampanye militer di Tepi Barat, penjajah berharap bahwa rakyat Palestina telah cukup lelah dan takut untuk menolak kebijakan mereka.
Sehingga mereka lebih memilih menjalankan ibadah dengan “tenang” meskipun dengan pembatasan.
Strategi Israel juga mencakup penciptaan konsep “jamaah yang patuh”. Mereka mengaitkan izin untuk salat di Masjid Al-Aqsha dengan seberapa besar ketenangan warga Al-Quds dan seberapa sedikit mereka menentang kebijakan Israel, baik di Gaza, Tepi Barat, maupun Al-Quds sendiri.
Bukti dari strategi ini adalah meningkatnya jumlah serangan pemukim Israel ke Masjid Al-Aqsha sejak awal Ramadan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tetap ingin menegaskan supremasi mereka atas masjid tersebut.
Saya tidak ingin terdengar pesimistis. Tetapi yang ingin saya lakukan adalah membuka mata terhadap tipu daya strategis yang sedang dimainkan oleh Israel terhadap rakyat Palestina dan umat Islam secara keseluruhan.
Masalahnya bukan pada jumlah jamaah yang diizinkan salat. Tetapi pada prinsip bahwa Israel tidak berhak memberikan izin tersebut sejak awal!
Rakyat Palestina, khususnya di Al-Quds dan Tepi Barat, memiliki keunggulan jumlah yang ditakuti oleh penjajah. Sejarah telah membuktikan bahwa mereka mampu menggagalkan berbagai rencana Israel melalui aksi-aksi perlawanan massal.
Jika rakyat Palestina benar-benar memahami konspirasi yang sedang dilakukan terhadap mereka dan tempat suci mereka, maka mereka pasti akan bangkit dan menggagalkan rencana ini sekali lagi.
*Dr. Abdullah Maruf adalah Peneliti dan spesialis dalam ilmu pengetahuan Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa, saat ini bekerja sebagai pengajar di Universitas Istanbul 29 Mei di Istanbul, Turki. Ia juga merupakan Asisten di Universitas Taibah di Madinah, Profesor Studi Yerusalem, meraih gelar PhD dalam Studi Yerusalem dari Universitas Aberdeen di Inggris. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Khadī’ah Jadīdah, Mā Warāa Simākh Isrāīl bil al-Sholāh Fī al-Masjīd al-Aqshā Fī Ramadhān”.