Oleh: Dr. Muhammad Zulfikar Rahmat
Pada 23 Agustus, Universitas Indonesia (UI), institusi pendidikan tinggi tertua dan paling dihormati di negeri ini, melakukan sebuah kesalahan besar. Dalam acara orientasi program pascasarjana, UI memberikan podium kepada Peter Berkowitz — seorang pembela lama penjajahan Israel dan genosida yang sedang berlangsung di Gaza.
Berkowitz bukanlah cendekiawan netral. Selama puluhan tahun, ia telah membenarkan kampanye pengeboman Israel, hukuman kolektif, dan pendudukan ilegal atas tanah Palestina. Ia pernah menjabat sebagai direktur perencanaan kebijakan di Departemen Luar Negeri AS era Donald Trump — pemerintahan yang memberi Israel kebebasan penuh untuk meningkatkan kekerasannya. Tulisan-tulisannya, termasuk sebuah buku yang membela Israel dari penyelidikan kejahatan perang internasional, mengulang satu pesan berkali-kali: bahwa Israel berhak membunuh tanpa pertanggungjawaban.
Namun, dalam acara utama UI untuk menyambut para sarjana masa depan Indonesia, Berkowitz justru diundang untuk menyampaikan orasi bertajuk “Pendidikan untuk Kebebasan dan Demokrasi.”
Ironi ini tidak bisa lebih tajam lagi. Inilah sosok yang telah mendedikasikan kariernya untuk menyerang mahasiswa dan akademisi di Amerika Serikat yang membela Palestina. Ia mengejek aktivis kampus yang menyerukan gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS). Ia membela upaya pembungkaman suara-suara Palestina di ruang kelas. Memberinya panggung di Indonesia — negara yang konstitusinya secara eksplisit menolak kolonialisme, dan yang rakyatnya secara luas mendukung Palestina — bukan sekadar keteledoran. Itu adalah bentuk keterlibatan dalam ketidakadilan.
Penjelasan resmi UI adalah permintaan maaf karena “kurang berhati-hati” dalam memeriksa latar belakang Berkowitz. Alasan ini sungguh menghina. Rekam jejak Berkowitz tidak tersembunyi dalam catatan kaki yang samar. Pencarian singkat saja sudah akan menunjukkan puluhan tahun tulisan yang membela apartheid, memutihkan kejahatan perang, dan merasionalisasi pembersihan etnis. Ini bukan kesalahan administratif. Ini adalah kegagalan moral.
Dengan menampilkan Berkowitz sebagai otoritas sah dalam topik “demokrasi,” UI memperlakukan genosida Palestina sebagai topik sah untuk perdebatan akademik yang sopan. Ini menyiratkan bahwa mendukung atau menolak kekerasan kolonial hanyalah masalah pendapat yang setara. Padahal genosida bukan soal perspektif. Tidak ada netralitas akademik ketika satu pihak menyerukan kemerdekaan dan pihak lain membenarkan pembantaian.
Keputusan ini juga merupakan pengkhianatan terhadap sejarah Indonesia sendiri. UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan. Indonesia selama ini berdiri di garis depan solidaritas global untuk Palestina justru karena kemerdekaannya sendiri diperoleh melalui perjuangan melawan penjajahan. Memberikan panggung bagi pembela Zionisme sama saja dengan meludahi warisan itu.
Keputusan UI bukan hanya tidak peka; itu menyebabkan luka nyata. Bagi mahasiswa dan akademisi Palestina, pesannya sungguh menghancurkan: penderitaan rakyat mereka dianggap bahan diskusi, hak mereka atas kebebasan diperlakukan sebagai pilihan. Bagi mahasiswa Indonesia, pesannya sama merusaknya: bahwa mereka yang membela imperium dan pembantaian patut dihormati sejajar dengan mereka yang melawannya.
Akan ada yang berargumen bahwa universitas harus menerima semua perspektif atas nama kebebasan akademik. Namun kebebasan akademik bukanlah perjanjian bunuh diri. Ia tidak mengharuskan kita melegitimasi propaganda, atau meninggikan suara-suara yang membela pembersihan etnis. Berkowitz bebas menerbitkan tulisannya dan mencari audiens yang sepaham dengannya. UI tidak punya kewajiban untuk menghormatinya — apalagi menjadikannya pusat dari acara orientasi untuk generasi penerus bangsa.
Para mahasiswa yang segera mengecam undangan terhadap Berkowitz, serta gelombang kemarahan publik yang memaksa UI menyampaikan permintaan maaf, menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tahu persis di mana mereka berpijak. Mereka tahu bahwa solidaritas terhadap Palestina bukan sekadar slogan, tapi prinsip. Mereka tahu bahwa menormalisasi pembelaan terhadap Zionisme adalah pengkhianatan — bukan hanya terhadap Palestina, tetapi terhadap identitas antikolonial Indonesia sendiri.
UI harus mengakui betapa besar kegagalannya. Permintaan maaf sekilas tidak cukup. Universitas ini harus bertanya pada dirinya sendiri: mengapa mereka tak melihat masalah dalam merayakan seorang yang membela kejahatan perang? UI harus menerima bahwa netralitas dalam menghadapi penindasan adalah sebuah pilihan — dan pilihan itu berarti berpihak kepada sang penindas.
Sejarah mungkin tidak akan mengingat pidato Peter Berkowitz di UI. Tapi sejarah akan mencatat apakah universitas terkemuka Indonesia memilih menormalisasi genosida, atau berdiri di sisi mereka yang tertindas. Demi Palestina — dan demi integritas moral Indonesia sendiri — UI dan institusi akademik lainnya tidak boleh mengulangi kesalahan ini.
Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat adalah Direktur Desk Indonesia-MENA di Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta dan seorang Research Affiliate di Middle East Institute, National University of Singapore. Ia menghabiskan lebih dari satu dekade tinggal dan berkelana di Timur Tengah, meraih gelar sarjana dalam Hubungan Internasional dari Qatar University. Ia kemudian menyelesaikan gelar M.A dalam Politik Internasional dan Ph.D dalam Politik di University of Manchester. Tulisan ini diambil dari opininya di Middle East Monitor berjudul Universitas Indonesia betrayed Palestine