Friday, July 18, 2025
HomeBeritaPakar militer: Israel gunakan amunisi radioaktif untuk strategi pengosongan Gaza

Pakar militer: Israel gunakan amunisi radioaktif untuk strategi pengosongan Gaza

Serangan militer Israel ke Jalur Gaza diduga melibatkan penggunaan amunisi canggih yang mengandung bahan radioaktif, dalam kerangka strategi penghancuran dan pemindahan paksa berskala luas.

Hal ini disampaikan oleh pakar militer dan strategi asal Irak, Dr. Ahmad al-Sharifi, yang menyoroti penggunaan peluru-peluru berdaya rusak tinggi yang dipasok dari Amerika Serikat.

Menurut al-Sharifi, peluru-peluru ini menggabungkan teknologi tank Merkava milik Israel dan Abrams buatan Amerika, dengan daya tembus luar biasa terhadap baja dan beton bertulang.

Setiap proyektil memiliki kekuatan setara dua juta satuan pelindung baja dan mampu melaju sejauh lima kilometer dengan kecepatan 1.600 meter per detik.

Lebih mengkhawatirkan lagi, proyektil-proyektil ini mengandung campuran aluminium, berilium, dan kemungkinan uranium terdeplesi (depleted uranium), yang memancarkan radiasi panas hingga suhu ekstrem, cukup untuk melelehkan material pelindung.

Al-Sharifi menjelaskan bahwa daya radiasinya setara dengan 60 persen efisiensi uranium yang telah diperkaya, menjadikannya efektif dalam menghancurkan lapisan pelindung dan struktur bawah tanah.

Serangan-serangan ini, kata dia, tak berdiri sendiri. Israel menjalankan strategi 2 tahap.

Yaitu, penghancuran dengan peluru mutakhir, diikuti oleh penggusuran massal menggunakan buldoser dan alat berat untuk meratakan sisa bangunan.

Laporan Haaretz pada Minggu (14/7) mengonfirmasi bahwa ratusan alat berat Israel secara sistematis menghancurkan rumah-rumah di Gaza, dengan alasan “operasional”.

Namun, skema kompensasi untuk operator alat berat menunjukkan bahwa penghancuran dilakukan secara lebih luas dan terencana.

“Tujuan jangka panjangnya adalah menjadikan Gaza tak layak huni selama bertahun-tahun,” kata editorial Haaretz.

Penggusuran itu, menurut al-Sharifi, juga bertujuan membuka jalur gerak bebas bagi pasukan darat serta membongkar jaringan terowongan yang tak dapat dijangkau intelijen udara.

Alur penghancuran yang sistematis ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa targetnya bukan hanya menghancurkan bangunan, melainkan pula menghapus seluruh keberadaan manusia dan infrastruktur dari wilayah itu.

“Ini bukan sekadar pembakaran tanah, tapi pembasmian menyeluruh terhadap manusia dan tempat tinggal mereka,” ujarnya.

Proyek strategis pengusiran

Di tingkat kawasan, al-Sharifi menegaskan bahwa serangan ke Gaza merupakan bagian dari proyek strategis lebih luas yang bertujuan memaksakan pengusiran paksa penduduk ke wilayah Sinai, Mesir.

Ia menilai bahwa perlawanan Palestina tidak sedang menghadapi perang biasa, melainkan upaya sistematis untuk mengubah peta geopolitik regional.

Menurutnya, proyek ini berupaya menggabungkan kendali atas Gaza, Al-Arish (Mesir), dan Sderot (Israel), dalam rangka membentuk realitas keamanan baru di kawasan.

Bahkan, proyek ini disebut mencakup wilayah-wilayah di Suriah selatan seperti Quneitra, Daraa, dan Suwayda sebagai bagian dari perluasan ruang strategis keamanan nasional Israel.

Al-Sharifi menambahkan, serangan udara ke wilayah-wilayah tersebut dimaksudkan menciptakan kondisi yang mendorong munculnya pemerintahan alternatif.

Wilayah-wilayah itu dianggap sebagai bagian dari kedalaman strategis yang vital bagi Israel.

Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa proyek ini merupakan ancaman langsung bagi Mesir.

Pengusiran penduduk Gaza ke Sinai, jika berhasil dipaksakan, akan mengguncang stabilitas nasional Mesir dan membahayakan keamanan regional Arab secara keseluruhan.

Menurutnya, proyek ini juga terkait dengan strategi global yang lebih luas, yang diinisiasi Amerika Serikat, untuk menandingi dominasi ekonomi Tiongkok.

“Melalui aliansi teknologi Eropa, dana Amerika, dan tenaga kerja Timur Tengah, AS berupaya menciptakan alternatif ekonomi baru di kawasan,” kata dia.

Al-Sharifi menegaskan, Mesir kini menjadi garis depan utama dalam menghadapi proyek ini.

“Ini bukan hanya soal kedaulatan Mesir, tetapi menyangkut keamanan seluruh dunia Arab, termasuk negara-negara Teluk,” ujarnya.

Ia pun menyerukan perlunya posisi bersama dari negara-negara kawasan.

“Tanpa solidaritas kawasan, Mesir bisa jadi harus berjuang sendirian—bukan demi dirinya semata, tapi demi mempertahankan Timur Tengah dari proyek penghapusan identitas dan penduduk ini,” pungkasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular