Akademisi sekaligus analis militer dan strategis, Dr. Ahmad Al-Sharifi, menilai bahwa kerugian besar yang dialami militer Israel telah menggagalkan upaya menyelesaikan operasi darat di Jalur Gaza.
Menurut Al-Sharifi, karena tidak mampu mencapai tujuan operasinya melalui jalur darat, militer Israel kini mengalihkan serangannya menjadi operasi udara.
Perubahan ini, katanya, menjadi strategi untuk menyiasati kegagalan operasi darat, dengan mengandalkan serangan udara masif yang menggunakan pesawat tempur dan bombardemen berat.
“Peralihan ini merupakan indikator jelas atas ketidakmampuan Israel dalam menghadapi medan dan taktik perlawanan yang digunakan kelompok-kelompok di Gaza, seperti serangan mendadak, penyergapan, serta pemanfaatan optimal terhadap kondisi geografis,” ujar Al-Sharifi.
Sejak Mei lalu, militer Israel mengumumkan dimulainya operasi darat skala besar di wilayah utara dan selatan Gaza, yang mereka namakan “Kereta Gideon”, dengan tujuan menciptakan kemenangan militer dan politik yang menentukan.
Namun di lapangan, kelompok-kelompok perlawanan Palestina justru meningkatkan intensitas serangan dan penyergapan terhadap pasukan Israel.
Strategi ini terbukti efektif sebagai bentuk perang asimetris yang terus menguras kekuatan dan logistik militer Israel.
Salah satu insiden penting terjadi pada awal pekan ini di Beit Hanoun, Gaza utara, ketika sayap militer Hamas, Brigade Izzuddin Al-Qassam, melancarkan operasi gabungan yang menewaskan lima tentara Israel dan melukai sedikitnya 14 lainnya.
Menanggapi hal tersebut, juru bicara Al-Qassam, Abu Ubaidah, menyatakan bahwa peti mati dan jenazah tentara Israel akan menjadi pemandangan yang terus berulang selama agresi terhadap Gaza berlanjut.
Keterbatasan persenjataan
Dalam pandangan Al-Sharifi, selain kehilangan personel dan peralatan, militer Israel juga menghadapi keterbatasan dalam hal logistik dan persenjataan.
Hal ini, menurutnya, tercermin dalam kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—yang saat ini tengah menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional—ke Washington.
“Israel sedang mencari tambahan dukungan persenjataan baru dari sekutunya, setelah kemampuan militernya mulai terkuras akibat perang panjang di Gaza,” ungkap Al-Sharifi.
Sementara itu, di tengah perang yang telah berlangsung selama lebih dari 21 bulan, Israel terus melanjutkan serangan udara intensif di berbagai wilayah Gaza.
Wartawan Al Jazeera melaporkan bahwa gempuran roket asap dan peluru artileri menghantam wilayah tengah dan timur Kota Khan Younis di bagian selatan Jalur Gaza.
Hingga kini, agresi militer Israel telah menyebabkan lebih dari 194.000 warga Palestina menjadi korban jiwa dan luka-luka.
Mayoritas korban adalah anak-anak dan perempuan. Selain itu, lebih dari 10.000 orang dilaporkan hilang, ratusan ribu warga mengungsi, dan kelaparan parah menewaskan banyak orang—termasuk puluhan anak-anak.