Suara jeritan tiba-tiba membangunkan Mahmoud Nasir, pasien yang sedang terbaring di ruang bedah Rumah Sakit Al-Ma’madani di Gaza, Minggu dini hari (14/4/2025).
Suasana mendadak berubah menjadi kacau, suara langkah kaki terdengar tergesa, dan orang-orang berteriak panik.
Beberapa menit kemudian, ia diberi tahu bahwa militer Israel telah memperingatkan akan melakukan serangan udara ke rumah sakit itu, dan hanya tinggal hitungan menit sebelum serangan terjadi.
Nasir, yang mengalami kelumpuhan pada bagian bawah tubuh akibat luka parah di punggung, hanya bisa mendengar dan menyaksikan semua kekacauan itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya tidak bisa bergerak, dan lehernya pun hanya bisa digerakkan sedikit.
Situasi di sekelilingnya berubah menjadi seperti pusaran ketakutan. Pasien lain dievakuasi dari ruangan mereka, para pendamping membawa anak-anak mereka, para korban luka ditarik dengan tergesa.
Namun Nasir tetap tinggal, bukan karena keberanian, tapi karena tubuhnya tak mampu membantunya melarikan diri.
Ledakan akhirnya terdengar. Dinding rumah sakit berguncang hebat, kaca pecah beterbangan, dan debu menyelimuti ruangan seperti badai. Nasir terbatuk-batuk, sulit bernapas, dan mengira itu adalah akhir hidupnya.
“Kalau saya bisa bergerak, saya pasti sudah lari secepat mungkin,” katanya kepada Al Jazeera.
“Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Banyak orang melarikan diri dan berlindung di jalan-jalan sekitar rumah sakit,” imbuhnya.
Nasir terluka 3 pekan sebelumnya akibat serangan udara Israel di lingkungan tempat tinggalnya di Zeitoun.
Anak-anak dan malam teror
Cerita Nasir bukan satu-satunya kisah kepanikan di malam itu. Zuhri Al-Saudi juga sedang berada di ruang bedah, menemani 2 putranya yang terluka: Muhammad (13) dan Ahmad (10), yang sebelumnya menjadi korban serangan udara di sebuah sekolah di Gaza timur.
Saat malam mulai tenang, Ahmad membangunkan ayahnya dengan suara gemetar.
“Ayah, mereka bilang Israel mau bombardir Rumah Sakit Al-Ma’madani,” rintihnya.
Zuhri awalnya mengira anaknya bermimpi, namun situasi berubah menjadi mimpi buruk nyata. Rumah sakit mendadak berubah menjadi arena kekacauan. Semua orang panik. Pasien memohon untuk dievakuasi.
“Kami ingin keluar, tapi takut terkena pecahan bom di luar,” katanya.
Sang istri, Rania Al-Saudi, melanjutkan cerita dengan suara masih diliputi ketegangan.
“Kami tidak tahu bagian mana dari rumah sakit yang akan diserang. Muhammad, anak kami, sampai demam dan tubuhnya menggigil karena ketakutan,” katanya.
Ia bercerita bahwa pada malam itu banyak pasien yang panik dan berteriak kebingungan.
“Pasien berteriak, ‘Keluarkan kami… keluarkan kami’. Tapi kami tak tahu ke mana harus pergi. Bahaya ada di semua arah. Kami hanya bisa bertahan. Alhamdulillah, kami selamat,” kisahnya.
Seperti menunggu hukuman mati
Di halaman rumah sakit, Muhammad Abu Nasir terbaring di ranjang besi. Ia juga merupakan korban serangan udara Israel pada Mei tahun lalu, dan tengah menjalani perawatan karena luka di kedua kakinya.
Tidak punya pendamping, Abu Nasir terpaksa tetap berada di ruang bedah saat serangan terjadi.
“Saya seperti menunggu eksekusi mati. Ketika ledakan terjadi, bangunan berguncang keras, debu masuk memenuhi ruangan, saya tak bisa bernapas. Saya pikir itu akhir dari hidup saya,” ujarnya.
Seperti pasien lainnya, Abu Nasir bertanya dengan cemas, “Sekarang kami harus ke mana? Kami yang terluka tidak tahu harus pergi ke mana.”
Keluar dari layanan
Di antara puing-puing kehancuran, Dr. Fadel Naeem, Direktur Rumah Sakit Al-Ma’madani, berdiri meninjau kerusakan.
“Sebelum serangan pun, kami sudah bekerja dalam kondisi sistem kesehatan yang nyaris lumpuh. Sekarang, kondisinya jauh lebih buruk,” katanya.
Ia menyebutkan bagian-bagian rumah sakit yang hancur: unit gawat darurat, ruang laboratorium, apotek, hingga ruang radiologi.
“Bagian-bagian ini adalah jantung rumah sakit. Tanpa mereka, kami tak bisa melayani pasien,” katanya.
Manajemen akhirnya memutuskan untuk menghentikan seluruh layanan di Al-Ma’madani karena kerusakan parah yang diperkirakan butuh waktu berbulan-bulan untuk diperbaiki.
“Ini keputusan yang sangat menyakitkan, tapi tak ada pilihan. Rumah sakit ini satu-satunya fasilitas medis lengkap di Gaza utara. Bahkan hanya di sinilah kami punya alat CT scan,” tambahnya.
Rumah sakit pengganti juga taksiap
Dengan keluarnya Al-Ma’madani dari layanan, Kementerian Kesehatan Gaza kini dihadapkan pada tantangan serius mencari pengganti.
“Kami akan memindahkan pasien ke Rumah Sakit Al-Shifa dan berusaha menjadikannya sebagai alternatif utama,” ujar Dr. Munir Al-Barsh, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza.
Namun, menurut Al-Barsh, Rumah Sakit Al-Shifa juga dalam kondisi buruk.
“Saat ini hanya beroperasi sebagian sebagai rumah sakit lapangan. Kami sedang memperbaiki beberapa unit, dan akan fokus pada rumah sakit ini ke depannya,” terangnya.
Al-Shifa sebelumnya sudah dua kali dihancurkan oleh Israel, yakni pada Oktober 2023 dan Maret 2024.
Al-Barsh juga mengungkapkan krisis yang dihadapi sistem kesehatan Gaza akibat blokade berkepanjangan.
“Sejak Maret lalu, bantuan medis sama sekali tak bisa masuk. Sekitar 60 persen obat-obatan dasar habis, dan 40 persen perlengkapan medis tidak tersedia. Layanan penting seperti kateterisasi jantung dan operasi jantung terbuka pun terhenti,” ujarnya.
Meski demikian, ia menegaskan pihaknya tak akan menyerah.
“Kami akan terus melayani dengan kapasitas yang ada. Para dokter kami tak akan pernah meninggalkan tugas mereka, apapun keadaannya,” tegasnya.
Bukan sekadar tempat pengobatan
Menurut Ismail Al-Thawabta, Direktur Kantor Informasi Pemerintah Gaza, serangan terhadap rumah sakit bukan hanya pelanggaran hukum, tapi bagian dari strategi penghancuran total.
“Rumah sakit di Gaza kini tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan, tapi juga menjadi tempat perlindungan terakhir bagi ribuan pengungsi,” katanya.
Menurutnya, Israel tahu betul arti harapan itu.
“Karena itu mereka menargetkannya secara sistematis. Ini adalah upaya sadar untuk menjadikan Gaza tidak layak dihuni,” tambahnya.
Sejak awal perang, Israel disebut telah menyerang 36 rumah sakit, baik melalui pemboman langsung, pembakaran, maupun penghancuran fasilitas.
Beberapa di antaranya termasuk Rumah Sakit Al-Shifa, Al-Quds, Rantisi untuk anak-anak, Nasser Medical Complex, Abu Yousef Al-Najjar, RS Indonesia, dan Kamal Adwan.