Thursday, August 28, 2025
HomeBeritaSuara frustasi tentara Israel: Kami hanya jadi bahan bakar perang

Suara frustasi tentara Israel: Kami hanya jadi bahan bakar perang

Di tengah persiapan militer Israel untuk melancarkan operasi besar di Kota Gaza, muncul suara-suara sumbang dari barisan tentaranya sendiri.

Laporan harian Haaretz mengungkapkan adanya “krisis sunyi” di tubuh pasukan darat Israel.

Para prajurit mengeluhkan kekurangan peralatan tempur, kerusakan berulang pada perlengkapan militer, serta ancaman serius terhadap keselamatan mereka akibat keterbatasan anggaran.

Ironisnya, di saat pemerintah tetap menggelontorkan miliaran dolar untuk kebutuhan lain.

Hagai Amit, jurnalis Haaretz, menuliskan bahwa salah satu taktik yang digunakan di Gaza adalah apa yang disebut prajurit sebagai “panser bunuh diri”.

Kendaraan pengangkut pasukan lama jenis M113 diubah menjadi alat kendali jarak jauh, dipenuhi bahan peledak, lalu diarahkan ke bangunan target.

Tujuannya, meledakkan jebakan dan membuka jalan bagi infanteri.

Namun, taktik ini jauh dari kata sempurna. Amit menuturkan sebuah insiden sebelum gencatan senjata terakhir: ketika sebuah panser bunuh diri melaju ke arah bangunan, sistem peledaknya justru macet.

Situasi itu membuat para prajurit berada dalam bahaya. Komandan unit meminta bantuan drone untuk meledakkan kendaraan dari udara, tetapi jawaban yang diterima sangat mengecewakan: “tidak ada anggaran.”

Akhirnya, tentara dipaksa maju dan mencoba memperbaiki alat pemicu secara manual—tindakan nekat yang nyaris merenggut nyawa mereka.

“Sekadar bahan bakar meriam”

Menurut Amit, kasus tersebut bukan satu-satunya. Ada beberapa kejadian lain ketika prajurit terjebak dalam kondisi “mustahil dan berbahaya” karena kebijakan penghematan.

Seorang perwira senior yang bertugas di Gaza sejak perang dimulai menuturkan kepada Haaretz:

“Tidak ada anggaran untuk melakukan sesuatu dengan benar. Kami melihatnya setiap hari—dari perangkat kendali jarak jauh yang rusak di malam hari, hingga truk tua yang harus kami tarik karena mogok. Bandingkan dengan operasi melawan Iran, di mana semuanya direncanakan dengan sempurna. Di sini, kami hanya bahan bakar Meriam,” katanya.

Kritik tidak hanya datang dari pasukan infanteri. Korps lapis baja Israel pun menghadapi tekanan serupa.

Seorang perwira tank bercerita bahwa meskipun ia bertugas di batalion yang masuk prioritas tinggi, mereka tetap diperintahkan menahan penggunaan amunisi.

“Diberitahu, jangan menembakkan peluru tank kecuali itu satu-satunya solusi. Suku cadang dalam kondisi terburuk yang pernah saya lihat. Kami bahkan kekurangan baut dan rantai—bagian paling dasar agar tank bisa berjalan,” ujarnya.

Ia menambahkan, sejak perang dimulai, mesin tank tidak lagi mendapat perawatan sesuai jam operasi standar.

Alasannya sederhana: tidak ada kemampuan logistik untuk memenuhi kebutuhan itu.

Laporan Haaretz sebelumnya juga menyinggung bahwa embargo Jerman atas pasokan suku cadang ikut memperburuk krisis ini.

Seruan dari medan tempur

Hampir dua tahun perang berlangsung, keluhan serupa kini bertebaran di media sosial.

Sejumlah tentara Israel menulis pesan berisi kelangkaan perlengkapan, bahkan meminta bantuan langsung dari masyarakat.

Sebuah pesan dari unit komunikasi pada batalion lapis baja berbunyi:

“Kami pasukan cadangan yang menerima peralatan usang, membahayakan nyawa kami. Kami berulang kali dikerahkan ke Gaza, namun menghadapi kekurangan perlengkapan operasional paling mendasar. Karena itu, kami meluncurkan kampanye penggalangan dana.”

Menurut Hagai Amit, bukan hanya satu dua unit yang menyuarakan hal itu. Beberapa seruan lain muncul, meminta sumbangan berupa perlengkapan dasar seperti helm, rompi antipeluru, hingga tandu medis.

Tender senjata yang mengundang tanda tanya

Di sisi lain, tanda-tanda keterbatasan anggaran justru bersanding dengan langkah pemerintah yang memunculkan pertanyaan.

Pekan lalu, Kementerian Pertahanan Israel mengumumkan tiga tender besar pembelian senjata.

Pertama, sebuah komite pemerintah menyetujui rencana mempercepat produksi tank Merkava serta kendaraan tempur lapis baja Namer dan Eitan, dengan nilai lebih dari 5 miliar shekel.

Kedua, Israel bersiap menandatangani kontrak dengan Amerika Serikat untuk membeli dua pesawat pengisi bahan bakar udara tambahan tipe Boeing KC-46, senilai 500 juta dolar AS.

Pesawat ini akan menggantikan armada lama yang seharusnya sudah dipensiunkan sejak lama.

Ketiga, Kementerian Pertahanan mengumumkan pembelian drone dari perusahaan Israel, XTEND, dengan nilai puluhan juta shekel.

Harga setiap unit ditetapkan sekitar 3.500 shekel, dengan pesanan awal 5.000 unit dan opsi diperluas hingga 15.000 unit dalam tender berikutnya.

Namun, harga tersebut menimbulkan keheranan di kalangan pengamat industri pertahanan.

Meskipun dirakit di Israel, perusahaan XTEND kini berada di bawah kendali sebuah perusahaan Eropa yang telah tiga tahun memasok drone murah ke Ukraina, sehingga dianggap mampu memperoleh komponen dengan biaya rendah.

Membeli yang paling murah

Namun, jurnalis Hagai Amit menilai kesepakatan pembelian drone itu tak lebih dari pilihan pragmatis untuk “membeli yang paling murah.”

Menurut sumber industri yang mengetahui detail kontrak—yang tak bersedia disebutkan namanya—produk yang dibeli hanyalah drone dasar, dirakit dari komponen sederhana tanpa kecerdasan buatan atau komputasi canggih.

“Semua bergantung pada operator manusia. Tidak ada fitur otonom seperti yang dimiliki drone militer modern,” ujarnya.

Sementara itu, tentara Amerika Serikat mampu membiayai pesawat nirawak berteknologi tinggi yang bisa terbang dan beroperasi secara mandiri, militer Israel justru memilih produk dengan kemampuan terbatas karena pertimbangan harga.

Gaza adalah rawa yang dalam

Menurut Haaretz, ketiga tender besar tersebut diumumkan di tengah meningkatnya ketidakpuasan antara pasukan darat—dengan seragam hijaunya—dan angkatan udara dengan seragam biru.

Ketegangan makin terasa usai operasi militer terhadap Iran yang didominasi angkatan udara.

Gaza, sebaliknya, dipandang sebagai “rawa tanpa dasar” yang menelan banyak sumber daya dan tenaga, dengan beban utama dipikul pasukan darat.

Data keuangan pertahanan Israel tahun 2024 yang dipublikasikan pada Maret lalu memperlihatkan ketimpangan itu.

Dari serangkaian kontrak persenjataan bernilai besar, sekitar 75 persen di antaranya dialokasikan untuk angkatan udara.

Meski anggaran pertahanan tahun 2025 dipatok sebesar 140 miliar shekel—lebih kecil dari 160 miliar shekel pada 2024—jumlah itu tetap dianggap tidak mencukupi untuk kebutuhan perang berkepanjangan.

Amit menyimpulkan, kebijakan penghematan ini pada akhirnya hanya berarti satu hal.

Yaitu, bertambahnya risiko bagi tentara di garis depan, terutama dalam operasi besar yang sedang dipersiapkan untuk menguasai Kota Gaza.

Seorang perwira merangkum kondisi itu dengan getir:

“Jika tujuannya merebut Gaza dan meruntuhkan gedung-gedung tinggi, maka harus ada pendekatan baru di mana angkatan udara berperan utama. Kalau tidak, saya tidak tahu bagaimana hal itu bisa tercapai.”

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular