Setelah delapan bulan negosiasi dan bentrokan sporadis, pemerintah Suriah berhasil mengembalikan kendali atas wilayah Sweida yang mayoritas dihuni komunitas Druze. Konflik yang awalnya dipicu oleh sengketa penyelundupan antara suku Bedouin dan milisi Druze, kini membuka jalan bagi Damaskus untuk memperluas pengaruhnya di wilayah selatan Suriah.
Sejak kejatuhan rezim Bashar al-Assad pada akhir 2024, pemerintah pusat kesulitan mengendalikan provinsi Sweida. Di wilayah ini, komunitas Druze terpecah dalam dua kubu.
Satu kubu yang dipimpin tokoh agama seperti Syekh Hannavi dan Syekh Jarbuwa, serta komandan militer Laith al-Balous, menyambut baik kehadiran institusi negara di Sweida. Namun, mereka menuntut agar komunitas Druze tetap memiliki peran dalam keamanan lokal. Tuntutan ini disepakati oleh pemerintahan transisi Suriah.
Di sisi lain, kubu yang dipimpin Syekh Hikmat al-Hajari dan Dewan Militer Sweida menolak kehadiran institusi negara dan menuntut bentuk desentralisasi bagi komunitas Druze. Israel secara terbuka mendukung sikap politik kelompok ini. Syekh Hajari bahkan tidak menutupi komunikasi aktifnya dengan Israel, sementara Dewan Militer Sweida diduga menerima dana dan peralatan dari Tel Aviv.
Kesepakatan terhambat
Sejak Mei 2025, Damaskus dan kubu pro-pemerintah berusaha menerapkan kesepakatan yang ditandatangani bersama. Dalam perjanjian tersebut, milisi Druze seperti Rijal al-Qaramah, Liwa al-Jabal, dan Rijal al-Syaikh al-Qaramah akan diintegrasikan ke dalam Kementerian Dalam Negeri dan bertugas sebagai kekuatan keamanan lokal di Sweida.
Namun, upaya ini berulang kali terhambat oleh Dewan Militer Sweida yang menolak implementasi kesepakatan. Pemerintah Suriah pun berada dalam dilema antara menjaga monopoli kekuasaan atas penggunaan senjata dan menghadapi lemahnya kontrol di lapangan oleh para tokoh Druze.
Rencana intervensi militer sempat tertunda karena ancaman serangan balasan dari Israel, yang menentang kembalinya kendali pemerintah Suriah di wilayah tersebut.
Dukungan AS dan perubahan dinamika
Situasi berubah pada 11 Juli 2025, ketika utusan khusus Amerika Serikat untuk Suriah, Thomas Barrack, menyatakan bahwa tidak akan ada entitas pemerintahan terpisah untuk kelompok Druze, Alawi, atau Kurdi di Suriah. Pernyataan ini dianggap sebagai sinyal bahwa Washington mendukung kedaulatan penuh pemerintah Suriah dan menolak fragmentasi wilayah.
Sementara itu, Israel dan Suriah tengah menjalin komunikasi diplomatik yang dinilai cukup konstruktif. Di sisi lain, Yordania juga mendukung kembalinya kontrol pemerintah di Sweida untuk menghentikan jalur penyelundupan yang mengganggu keamanan di perbatasan.
Momentum konflik
Ketika bentrokan meletus antara kelompok Bedouin dan milisi Druze, pemerintah Suriah memanfaatkan situasi tersebut untuk masuk ke Sweida dengan dalih menjaga keamanan dan mencegah kekerasan sektarian. Meski Dewan Militer Sweida dan pendukungnya sempat melawan, sebagian milisi Druze lainnya justru berkoordinasi dengan Damaskus.
Pasukan loyalis Hajari gagal menghadang kehadiran militer pemerintah, sementara serangan udara Israel bersifat simbolis dan tidak memberikan dampak signifikan.
Kini, pasukan pemerintah Suriah dilaporkan berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan dan memperluas kendali atas Sweida—sebuah perkembangan yang menandai kembalinya pengaruh Damaskus di wilayah selatan negara itu.